Bab 2. Pertahanan Oh Pertahanan

1777 Words
Axel terus mendesak dan menuntut Sekar untuk membalas ciumannya. Axel yang awalnya dipenuhi emosi kini berubah jadi hasrat penuh gejolak membara. Tapi Sekar masih berusaha mempertahankan diri meskipun dia juga ingin memaki dirinya sendiri yang sudah mulai goyah. Sekar merasa dirinya mulai terbelah jadi dua. Satu sisi dia berusaha keras ingin mempertahankan diri namun di sisi lain, dia mulai menyukai dan menikmati ciuman serta sentuhan bosnya Sekar tidak punya pilihan lain. Dia tidak lagi punya cukup tenaga untuk melawan buaian hasrat Axel. Kini dia biarkan dirinya hanyut dalam permainan panas bosnya. Sekar membalas ciuman Axel hingga membuat pria itu terkejut dan semakin b*******h. Axel semakin berani dan menyentuh bagian sensitif di tubuh Sekar. Axel terengah melepaskan ciumannya dan menyeringai liar. Rasa puas mulai menyelimuti hatinya karena Sekar benar-benar sudah dalam penguasaannya. Wanita itu telah dikuasai kabut hasrat yang semakin tebal seolah menunggu untuk dipuaskan. “Walau kamu ubah penampilanmu ribuan kali agar terlihat tidak menarik di mataku tapi perasaan dan hasratku padamu tidak akan pernah berubah, Sekar. Di mataku kamu tetap menarik Sekar Savana,” bisik Axel dan sangat mengejutkan Sekar. Bosnya seakan tahu tujuan dia merubah penampilannya sekarang. Sekar tersenyum lembut dengan mata sayu berkabut menatap Axel. Tangannya mengusap lembut rahang Axel yang mulai ditumbuhi rambut tipis dan tatapan romantis. “Sepertinya ucapan itu perlu pembuktiannya, pak Axel,” ujar Sekar menyeringai dan menatap Axel liar. Sekar mendekatkan bibirnya melumat bibir seksi bos mudanya itu. Sangat pelan, lembut dan menggoda. Namun tiba-tiba Axel berusaha menjauhkan diri dari Sekar. “Aaaaarrrgh!” teriak Axel kesakitan setelah Sekar dengan sengaja menginjak salah satu sepatunya sekuat tenaga. “Upps, maaf! Saya memang sengaja melakukannya,” ucap Sekar nakal, setelah menjauhkan kakinya dengan menunjukkan wajah tak berdosa menatap Axel. “Bagaimana rasanya nikmat bukan?” tanyanya lagi. Bersamaan dengan itu, telepon genggam milik Axel di atas meja berbunyi. Muka pria itu masih merah padam menahan sakit. Sekar mundur beberapa langkah memperhatikan Axel dengan senyuman puas. “Jangan pikir kamu bisa lepas dariku! Tetap di situ dan jangan pergi dari ruangan ini!” ucap Axel terpincang menuju meja sambil menunjuk ke arah Sekar. Sementara Sekar sedang sibuk merapikan diri. Sambil diam-diam mendengarkan percakapan telepon bosnya. Sekar menyempatkan melirik bosnya sinis. Tangannya dengan cepat mengancingkan blazer. Lega rasanya bisa lepas dari perdaya Axel dan bisa memberinya pelajaran. Untung dia masih diberi kesadaran untuk melawan bosnya di detik-detik terakhir. Jika tidak, dia akan mengulangi kesalahan yang sama seperti malam itu. Ternyata ada panggilan video call dari Felisa. Axel buru-buru merapikan rambut dan bajunya yang sedikit berantakan dan memposisikan diri duduk di kursi kerjanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Hai, Fel?” tanya Axel yang masih merasakan kesakitan luar biasa di kakinya. Napasnya juga masih agak terengah. “Lama sekali kamu sedang apa?” protes wanita yang biasa dipanggil Feli oleh Axel. Yang tak lain tunangannya. Seorang ratu kecantikan bergelar Miss Oceania dan sekarang bertugas di Thailand. “Aaargh!” teriak Axel saat mencoba menapakkan salah satu kakinya, membuat Sekar dan Felisa terkejut. “Ada apa?” tanya Felisa cemas. “Tidak! Tadi aku tersandung kaki meja kerjaku ini,” jawab Axel. “Bagaimana keadaannya? Cepatlah bawa ke klinik! Atau minta tolong Sekar menelponnya dokter di klinik JM agar segera datang ke ruangan kamu,” saran Feli terdengar panik. “Iya, jangan cemas. Aku akan suruh dokter ke sini secepatnya,” balas Axel. “Sayang sekali aku belum bisa cepat pulang. Saat ini aku sibuk sekali. Tapi aku akan coba minta izin. Bila ada waktu aku akan menjengukmu,” ungkap Felisa. “Tidak perlu, Feli. Kamu selesaikan saja tugasmu. Jangan cemaskan diriku. Aku baik-baik saja. Ini hanya cedera kecil,” ujar Axel, bersikap bijaksana. Padahal tentu dia lebih senang bila tunangannya tidak datang. Dia masih ingin mengurus Sekar. Axel tidak ingin kehilangan sekretarisnya itu. Kehadiran Felisa di Jakarta pasti hanya akan mengganggu usahanya mendekati Sekar secara intens. Bahkan dia bisa curiga dan menjauhkan Sekar darinya. “Terima kasih atas pengertianmu, Sayang. Tolong kabari aku setelah kakimu diperiksa, ya!” ucap Felisa manja. “Tentu Sayang, aku segera beri kabar kamu secepatnya,” balas Axel, menenangkan perasaan Feli. Tepat setelah VC itu berakhir, pintu ruangan diketuk. Tak lama kemudian pintu langsung terbuka. Sekar dan Axel dikejutkan satu sosok pria tampan dengan setelan jas warna biru tua, masuk ke dalam melihat ke arah Axel yang sedang duduk di kursi kerjanya. “Nino!” sebut Axel begitu sepupunya itu muncul. Sekar menatap pria itu lalu mengangguk sebentar. “Selamat siang pak Nino! Apa kabar?” sapa Sekar tanpa senyum. Nino tertegun dan menghentikan langkahnya saat melihat penampilan baru Sekar. Sementara wajahnya terlihat pucat dengan gurat kesedihan terpancar di wajah dan kedua matanya. Nino segera menghampirinya. “Sekar, apa yang terjadi?” tanya Nino menangkup wajah Sekar dengan kedua tangannya, merasa cemas. “Mengapa kamu jadi seperti ini?” tanyanya lagi. “Saya baik-baik, pak Nino,” jawab Sekar gugup lalu menjauhkan tangan pria itu dari wajahnya. “Maaf, aku hanya mencemaskan kamu. Seminggu ini kamu menghilang dan tak memberi kabar apa pun. Apa ini ada kaitannya dengan kedua orang tuaku atau keluargaku yang lain?” tanya Nino penuh selidik. “Mereka tidak menyakitimu, kan?” tanya Nino lagi. “Tidak, Pak. Saya hanya ingin menenangkan diri saja. Tidak ada yang menculik atau menyembunyikan saya. Saya pergi atas kemauan saya,” jawab Sekar, serius. “Sungguh? Kamu jangan takut untuk jujur dan mengungkapkan semuanya. Aku akan jamin keselamatanmu,” desak Nino, tidak yakin dengan jawaban Sekar. “Hemm! Hemm!” Axel berdehem seolah memberitahu Nino kalau di ruangan itu juga ada orang lain selain Nino dan Sekar. Sekar dan Nino menoleh pada Axel. “Axel, maaf aku sangat mencemaskan sekretarismu ini,” ucap Nino, menyadari teguran halus saudara sepupunya itu. “Aku ingin bicara dengan Sekar. Izinkan aku mengajaknya keluar sebentar,” ucapnya lagi, Nino tanpa sadar menggandeng pergelangan tangan wanita itu dan otomatis langsung mengundang rasa cemburu di hati Axel. “Sekar baru saja datang. Banyak pekerjaan yang tertunda karena ketidak hadirannya seminggu ini. Bicarakan masalah pribadi kalian di luar jam kerja,” jawab Axel serius. “Tapi Axel. Ini hanya sebentar saja. Tolonglah,” bujuk Nino. “ “Tidak. Maafkan aku Nino. Pekerjaan kami banyak yang harus segera diselesaikan,” jawab Axel, yang sebenarnya takut Sekar melarikan diri dan tidak kembali. ”Saya juga ingin bicara dengan pak Nino sekarang, pak Axel. Biarkan kami pergi,” sahut Sekar, entah kenapa dia belum ingin mengungkapkan pengunduran dirinya pada Nino. “Nah, kamu dengar itu,” sahut Nino merasa di atas angin. “Di mana tanggung jawabmu sebagai sekertarisku Sekar. Dalam kondisi kakiku yang seperti ini, kamu masih ingin meninggalkan aku bekerja di kantor sendirian,” protes Axel, mendesis kesakitan menunjukkan kakinya yang cidera. “Ada apa dengan kakimu?” tanya Nino langsung bergegas mengecek kaki Axel. “Tadi tersandung kaki meja ini,” jawab Axel, sengaja berbohong. “Iya, ini sepertinya cukup parah. Kamu harus segera periksa ke klinik JM atau aku pikir langsung ke rumah sakit saja,” saran Nino lalu berdiri. Pria itu membuang napas agak keras lalu mengalihkan pandangannya pada Sekar. “Bagaimana Sekar? Kamu setuju, kan?” “Tapi menurutku, lebih baik langsung ke rumah sakit untuk diperiksa. Bagaimana kalau kita antar dia?” ucap Nino lagi. “Terserah pak Axel saja, Pak,” jawab Sekar, tidak mau terlihat perhatian. “Kamu tidak perlu repot mengurusku, Nino. Ini hanya cidera kecil. Biarkan Sekar yang mengurusku,” tolak Axel cepat. “Pekerjaan kami masih banyak yang tertunda,” ujarnya lagi. “Kamu yakin?” tanya Nino yang sebenarnya masih mencemaskan Axel. “Tentu saja, ini hanya cedera kecil,” ucap Axel terlihat kesal Nino terus saja bertanya dan tidak segera pergi. “Baiklah, aku akan pergi sekarang,” ujar Nino dengan sedikit perasaan kecewa. Tapi dia sadar kesehatan Axel lebih utama. “Sekar, kamu urus Axel dulu. Nanti setelah pulang kantor, kita bisa bicara lagi,” tandasnya pada Sekar. Sekar hanya mengangguk saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah Nino pergi dan menutup pintu dia bergegas berjalan ke salah satu kabinet yang terletak di sudut ruangan untuk mengambil kotak obat yang disimpan di salah satu laci kemudian membawa kotak itu ke meja Axel. “Mengapa tadi tidak mengatakan pada Nino kalau kamu ingin meninggalkan JM?” tanya Axel sinis. Dia yakin sebenarnya Sekar tidak benar-benar ingin meninggalkan JM Group. Keputusannya itu hanya emosi sesaat saja. Setelah membuka kotak obat dan mengambil salep. Sekar mengambil salep untuk luka memar dan terkilir. “Keinginan saya masih tidak berubah,” ucap Sekar dingin. Lalu dia berjongkok di dekat kaki Axel. “Tolong dekatkan kaki kiri Bapak, saya akan obati kaki Anda yang terluka,” ucapnya lagi. “Tidak perlu. Kamu yang membuatku seperti ini. Aku tahu kamu tidak ikhlas. Aku yakin tidak akan sembuh,” tolak Axel menjauhkan kakinya ke bawah meja lagi. Sekar kembali berdiri dan menaruh salepnya di atas meja. “Baiklah kalau begitu saya pergi sekarang.” Brak! Axel menggebrak meja cukup keras. Sekar cukup kaget. “Ancamanku tidak main-main. Aku menolak pengunduran dirimu. Kamu masih sekretaris JM dan wajib mengikuti perintahku,” tegas Axel lalu berdiri seolah tidak merasakan kesakitan pada kaki kirinya mendekati Sekar. “Kalau Bapak berbuat menjijikkan seperti tadi saya akan berteriak,” ancam Sekar mulai waspada kembali. Sekar menelan saliva dan memalingkan muka ke samping. Bukan tak berani menatap bosnya tapi dia masih muak dengan pria itu. Sekar dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bertahan atau pergi dari JM Group sama-sama tidak mudah. Dia tahu betapa keras kepalanya Axel. Pria itu pasti akan membuktikan ancamanya. Nyali Sekar menjadi ciut juga. “Mengapa diam saja? Cepat ambil keputusan sekarang!” perintah Axel dengan nada rendah namun terdengar mendesak. Dia tahu ancamannya mulai mempengaruhi Sekar. Sekar menatap Axel tajam. “Baiklah. Tapi saya punya syarat. Pindah saya ke divisi lain atau jangan sekali-kali mendekat apalagi menyentuh saya seperti tadi. Saya tidak mau masuk ke dalam permainan licik Anda, pak Axel. Cukup malam itu saya berbuat bodoh. Saya tidak akan sudi jadi pemuas hasrat liar Anda!” “Terus terang ini sangat berat. Karena malam itu bagiku adalah permulaan. Tapi aku akan berusaha memenuhi permintaanmu. Tetaplah bekerja di kantor CEO ini bersamaku,” jawab Axel setuju. “Baiklah. Saya akan bertahan di JM. Tapi Anda harus ingat! Yang Anda pikirkan tadi salah pak Axel. Kejadian malam itu murni kesalahan. Bukan permulaan yang ada kelanjutannya. Saya pastikan itu tidak akan terjadi lagi! Dan ingat, Anda sudah punya tunangan! Sebentar lagi kalian akan menikah! Jangan coba-coba mendekati saya!" tegas Sekar ketus. Lalu dia bergegas meninggalkan Axel tanpa ucapan permisi seperti dulu. Rasa hormatnya telah hilang sejak peristiwa itu. Malam itu, menurutnya Axel yang bersalah. Jika pria itu tidak mulai menyentuhnya, dia tidak akan tergoda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD