Bab 3. Dikucilkan

1818 Words
Persis seperti dugaan Sekar, saat keluar dari ruangan Axel, dia lihat Windy dan Cintya sedang duduk di meja kerjanya. Sedangkan Elma duduk di kursi kerjanya. Windy dan Cintya terlihat sedang asyik mengikir kuku tangannya. Sekar tahu mereka semua sedang berusaha mengintimidasinya. Namun dia tidak takut dan melangkah dengan tenang lalu meletakkan tasnya di meja. “Lihat! Sekretaris kesayangan Bos sudah keluar!” ujar Windy menoleh ke arah Sekar, memberi tahu teman-temannya. “Kalian sedang tidak ada kerjaan?” tanya Sekar hanya melihat mereka sekilas saja. Lalu dia membungkuk memeriksa laptopnya yang sudah menyala. “Elma ada agenda apa hari ini?” tanyanya pada satu-satunya teman sekretaris di kantor CEO ini. Windy turun dari meja kemudian memberi isyarat pada Cintya untuk mengikutinya. “Elma cepat pindah, tempat dudukmu diambil pemiliknya,” perintah Cintya, ketus. “Iya, di sini aku hanya ban serep jadi tidak berhak duduk di kursi ini,” sahut Elma lalu berdiri lalu mengambil ponsel dan tasnya. “Elma kamu mau ke mana? Mengapa kamu bicara begitu?” tanya Sekar, terkejut dengan sikap Elma. “Aku tidak masalah kamu di kursi itu,” ujarnya kemudian. “Mulai sekarang aku mau pindah ke kantor wakil CEO. Mbak Sekar silakan cari asisten sekretaris lain saja,” jawab Elma ketus. “Apa? Mengapa tiba-tiba begini?” tanya Sekar terkejut. Walau sebenarnya dia bisa menebak kepindahan Elma saat ini masih ada hubungan dengan penolakannya pada Nino Hardino. “Dan siapa yang menyebutmu asisten? Aku tidak pernah menyebutmu asisten. Kamu sekretaris JM Group,” tegas Sekar lagi. “Mbak Sekar memang tidak pernah memanggilku asisten. Tapi tugasku dan sikapmu menunjukkan kalau aku ini hanya asisten kamu, Mbak,” sahut Elma sinis. “Oh ya? Sikapku yang mana?” tanya Sekar bingung. “Mungkin kamu memang tidak pernah menyadarinya, Mbak. Yang jelas aku sudah tidak betah kerja sama mbak Sekar. Seminggu lalu aku sebenarnya sudah ingin pindah. Tapi karena mbak Sekar tidak masuk aku menunggu sampai mbak Sekar masuk kantor lagi,” jawab Elma kemudian menghampiri Windy dan Cintya. “Tapi di kantor wakil CEO sudah ada dua sekretaris. Itu sudah cukup. Di kantor CEO pekerjaan lebih banyak. Mengapa kamu malah tinggalkan dengan tiba-tiba begini? Cobalah mengerti situasiku. Aku juga baru masuk hari ini,” keluh Sekar, mencoba memberi pengertian pada Elma agar tetap bertahan di kantor CEO namun dia tidak sadar hal justru menyulut kemarahan Windy. “Oh jadi yang banyak kerjaan itu hanya kantor CEO saja. Kantor wakil CEO itu cuma ongkang-ongkang kaki doang, begitu?” tanya Windy tidak terima. “Tidak. Bukan begitu. Aku hanya memberi perbandingan saja,” jawab Sekar tegas. “Alaah, jangan banyak alasan deh! Memang itu yang ingin kamu katakan,” sahut Windy kesal. “Sudahlah! Ayo kita pergi ke meja kita sekarang. Percuma kita debat sama dia. Nggak bakal bisa ngertiin kita,” ucap Cintya, melangkah cepat, diikuti Windy dan Elma. “Tunggu, Elma! Setidaknya, pamit dulu dengan pak Axel dan minta persetujuan dia,” cegah Sekar, coba memberi pengertian pada Elma. Ketiga perempuan seksi itu sudah tidak menghiraukan ucapan Sekar lagi. Mereka terus saja melangkah dengan centil menuju meja sekretaris di depan ruangan wakil CEO yang berjarak sekitar delapan meter dari tempat Sekar sekarang “Ada apa ribut-ribut?” tanya Axel, yang baru saja membuka pintu. “Elma tiba-tiba ingin pindah tugas di ruang kantor wakil CEO. Saya tidak bisa menghentikan dia, Pak!” jawab Sekar, dingin tidak menoleh atau menatap ke arah bosnya. “Elma, berhenti!” seru Axel, membuat Elma dan kedua temannya seketika menghentikan langkah. Elma memutar badannya pelan. Sekan dia sudah tahu apa yang akan dia hadapi. “Bapak memanggil saya?” “Apa-apaan ini? Mau pindah tempat kerja tanpa minta izin lebih dulu seenak seenaknya sendiri. Memang ini perusahaan Papamu?” tanya Axel dengan berkacak pinggang menatap Elma. “Sebenarnya saya ingin pindah sejak minggu lalu, Pak. Tapi karena mbak Sekar tidak masuk kerja selama seminggu, jadi baru hari ini saya bisa menyampaikan ke dia,” ujar Elma, tanpa merasa bersalah. “Oh ya? Lalu mengapa kamu tidak minta izin padaku? Kamu lupa sedang bertugas di kantor CEO JM Group dan aku juga pemimpin tertinggi di sini?” tanya Axel, mengingatkan posisinya pada Elma. “Maaf, Pak. Saya pikir pimpinan saya adalah mbak Sekar yang merupakan ketua sekretaris di JM ini yang akan menyampaikan kepindahan saya kepada Anda,” jawab Elma, coba cari selamat dan berusaha mengkambinghitamkan Sekar. “Kalau begitu mengapa kamu tidak mendengarkan dia memberimu izin atau tidak untuk pindah ke kantor wakil CEO?” tanya Axel, ingin memberi tahu di mana letak kesalahan Elma. Elma terdiam dan hanya menunduk. Sementara Axel hanya menatapnya sebentar lalu fokusnya berpindah pada dua wanita di belakang Elma. “Windy! Cintya! Kalian juga ke sini!” panggil Axel, serius. Dia yakin dua orang ini sumber masalah yang dihadapi Sekar sekarang. Windy dan Cintya saling berpandangan sebentar lalu melangkah menyusul Elma tanpa bicara. Sementara Axel masih memasang muka serius menatap ketiganya. Menurutnya Windy dan Cintyalah yang harus diberi peringatan keras. Kalau tidak masalah Sekar akan terus berlarut-larut. Dua wanita itu terus saja menghasut para karyawan untuk mengucilkan Sekar demi membela sepupunya yang memang dikenal sangat dekat dengan karyawan JM Group. Untung Axel sudah tahu permasalahan ini dari Sekar sejak seminggu lalu sebelum keduanya menghabiskan malam bersama. Waktu itu dia adalah tamu terakhir yang datang ke pesta ulang tahunnya yang ke tiga puluh lima dan menemukan sekretarisnya itu dalam keadaan menyedihkan. Basah kuyup dengan pakaian dan rambut berantakan karena baru saja diguyur minuman oleh teman-temannya sendiri. Mereka, merasa kecewa karena Sekar menolak lamaran Nino Hardino. “Windy! Cintya! Berhentilah menghasut yang lain untuk membenci Sekar! Setelah lamaran itu, hubungan wakil CEO dan Sekar baik-baik saja. Masalah lamaran itu sudah selesai. Sampai kapan pun Sekar tidak akan pernah punya hubungan dengan wakil CEO. Sedangkan Sekar, masih ingin sendiri sampai sekarang,” ujar Axel, membuat Sekar terkejut dan langsung menoleh pada Axel. Menurutnya bosnya sudah asal bicara. “Saya tidak menghasut siapa pun, Pak. Anda tanya saja pada Elma. Apa alasan dia ingin pindah ke divisi kami?” jawab Windy, coba membela diri. “Windy tidak pernah menghasut saya Pak. Sudah lama saya merasa kurang nyaman bekerja dengan mbak Sekar,” jawab Elma, tentu saja membela Windy. “Lalu apa yang membuatmu tidak nyaman? Cepat katakan!” desak Axel, mulai kehilangan kesabarannya karena Elma dan windy kompak saling melindungi. “Hanya merasa tidak nyaman saja, Pak. Menurut saya mbak Sekar tidak profesional lagi seperti dulu. Dia kurang bertanggungjawab. Seminggu ini dia pergi tanpa izin dan membiarkan saya kerja sendirian. Hanya itu saja, Pak,” ungkap Elma. “Oh ya? Padahal kamu tahu betul mengapa seminggu ini dia tidak masuk. Kalian baru saja memperlakukan dia dengan kasar dan tidak berperikemanusiaan. Kalau dia mau kalian bisa masuk penjara. Sekar merasa syok atas perbuatan kalian. Dia hanya butuh waktu untuk menenangkan diri. Memang kalian pikir dia siapa? Robot yang tidak punya hati dan bisa kalian perlakukan dengan sesuka hati?” tanya Axel, terang-terangan membela Sekar. “Maafkan saya. Mungkin saya yang salah menilai mbak Sekar. Tapi tolong izinkan saya pindah ke kantor wakil CEO,” ucap Elma ternyata masih ingin pindah dan tidak punya rasa empati atau pengertian sedikit pun atas penjelasan bosnya. “Biarkan dia pindah, Pak. Saya akan cari sekretaris baru saja,” ujar Sekar, yang tidak ingin memaksa Elma terus bersamanya. “Diamlah, Sekar! Aku yang memutuskan bukan dirimu!” sahut Axel, tak mau didikte siapa pun meski itu adalah Sekar. “Tolong dengarkan saya, Pak. Kerja dia tidak akan maksimal kalau dia merasa terpaksa bekerja dengan saya,” ucap Sekar, yakin Axel akan mengambil keputusan supaya Elma tetap bekerja bersamanya. “Kalau merasa terpaksa mengundurkan diri saja. Bila sudah memutuskan bekerja di JM harus siap ditempatkan di mana pun. Dan aku memutuskan kamu tetap bertugas di kantor CEO, Elma,” tegas Axel. “Tapi, Pak-------- “ “Kalau tidak setuju, tulis saja surat pengunduran dirimu sekarang juga. Dengan senang hati aku akan menerimanya,” sahut Axel, tegas memotong ucapan Elma. Nyali Elma langsung ciut. Tentu dia pilih bertahan di kantor CEO. Bekerja di JM adalah impiannya sejak masih duduk di bangku SMA. Dia tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba keluar dari sini. “Baik, Pak. Saya akan tetap bekerja di kantor CEO. Maaf bila telah menyusahkan Anda,” ucap Elma agak membungkukkan badannya kemudian berjalan menuju ke meja dan kursinya lagi. “Bagus. Kamu sudah membuat pilihan yang benar Elma. Dan agar kinerja kamu menjadi nyaman untuk sementara Sekar akan pindah ke ruanganku saja,” ujar Axel membuat Sekar terkejut bukan alang-kepalang. “Apa? Tidak! Saya akan bekerja di sini saja. Saya janji akan berusaha membuat Elma nyaman,” tolak Sekar. Dia sama sekali tidak menduga Axel mengambil keputusan ini. “Kamu atau aku pimpinan di JM ini? Sekarang kemasi barangmu dan segera masuk!” titah Axel dengan nada tinggi. Melihat itu Windy dan Cintya tersenyum menahan tawa. “Apa yang kalian tertawakan?” tanya Axel pada mereka. Windy dan Cintya terkejut. “Tidak ada, Pak," jawan mereka kompak. "Sekali lagi aku peringatkan kamu, Windy. Jangan hasut karyawan di JM lagi untuk membenci Sekar. Kalau itu masih kamu lakukan maka aku tidak segan memecatmu. Bahkan Nino tidak akan bisa menolongmu!,” tegas Axel menunjuk kedua wanita itu dengan sorot tajam. Windy dan Cintya terlihat takut namun keduanya memilih menunduk. “Sekar, ada banyak hal yang harus kita bahas, cepat masuk ke dalam,” ujar Axel sebelum dia memutar badan dan masuk ke dalam. Sementara Sekar masih enggan meninggalkan kursinya. Tadi sebenarnya dia berharap, Axel melontarkan ancaman pemecatan juga pada dirinya seperti yang dilakukan pada Elma. Sayang sekali ancaman itu berlaku pada Elma saja. Sekar tahu, sudah pasti bosnya tidak melakukannya karena bila itu terjadi dia akan langsung setuju. Tapi di sisi lain, diam-diam dia mulai kagum dengan kepekaan bosnya yang bisa memahami situasinya di kantor ini. Axel sangat tegas memperingatkan teman-temannya di kantor ini yang masih saja mempersulitnya. “Pakailah kursi ini, Elma. Aku harap kamu lebih nyaman setelah aku tidak di sini lagi,” ucap Sekar sebelum dia meninggalkan mejanya. Elma hanya melirik Sekar dengan ekor matanya sambil melempar senyum sinis. “Ya. Tentu saja aku akan sangat nyaman di sini tanpa mbak Sekar lagi. Tapi aku rasa tetap lebih nyaman mbak Sekar yang bekerja di dalam sana. Berada di ruangan mewah dan bersama bos yang sangat perhatian. Tapi mbak Sekar jangan GR dulu.” “Apa kamu ingin menggantikan aku di sana? Dengan senang hati akan aku sampaikan ini pada pak Axel,” tawar Sekar menyeringai kesal menanggapi sindiran Elma. “Tidak. Aku lebih senang di sini,” sahut Elma cepat, kemudian kembali fokus bekerja. Sekar segera meninggalkan Elma dan bergegas masuk ke dalam. Dia tidak menyangka akan kembali lagi masuk ke ruangan ini. Baru saja dia menutup pintu dan berjalan empat langkah, terdengar suara pintu yang dikunci. Dia menoleh ke belakang dan melihat Axel berdiri di dekat pintu. “Untuk apa pintu itu dikunci, Pak?” tanya Sekar. Firasatnya sudah tidak enak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD