Bab 4. Takdir Ingin Kita Jadi Dekat

1626 Words
Axel terus saja melangkah dengan tenang. Sementara jantung Sekar mulai berdebar kencang. Dia mulai menyiapkan diri untuk berjaga-jaga. Jangan sampai kejadian tadi terulang. Bosnya itu tidak boleh mendekat atau menyentuhnya lagi. “Stop! Jangan mendekat! Kalau pak Axel ingin saya tetap bekerja di dalam ruangan ini, mulai sekarang kita harus menjaga jarak. Anda tidak boleh mendekat kurang dari dua meter! Batas jarak terdekat kita dua meter!” tegas sekar sambil menunjuk bosnya. Axel langsung berhenti. “Mana bisa seperti itu? Bagaimana kalau kita harus diskusi di meja kerjaku? Mana mungkin kursi itu harus ditarik dua meter dari meja kerjaku? Banyak dokumen yang harus kamu tunjukkan padaku atau sebaliknya. Bagaimana caranya kalau jarak kita saja cukup jauh?” “Saya tidak akan pernah lagi duduk di kursi depan meja kerja Anda, pak Axel. Sekarang tempat kerja saya di sofa itu.” Sekar menunjuk sofa dan meja di tengah ruangan itu. “Anda tenang saja. Ada banyak cara untuk melihat atau memeriksa dokumen seperti yang biasa kita lakukan. Bisa dengan laptop atau HP juga bisa. Gampang, ‘kan,” ucap Sekar, kali ini dia yang akan mengatur bukan diatur oleh bosnya. “Kamu ini mau kerja atau bersantai. Tidak! Aku tidak setuju,” tolak Axel bergegas mendekat. “Stop! Stop! Stop!” seru Sekar cukup keras, tentu saja membuat Axel berhenti dengan gusar. “Kalau Bapak tetap mendekat saya tidak akan segan-segan untuk berteriak!” tegasnya kemudian. Axel mau tak mau benar-benar menghentikan langkahnya menuruti Sekar. Untuk beberapa saat keduanya hanya saling tatap dengan penuh emosi. Mereka saling mempertahankan ego masing-masing. Tapi saat ini Axel benar-benar dibuat tidak berkutik. Dia tidak tahu caranya agar bisa mencairkan suasana hati Sekar seperti dulu lagi. “Dengarkan aku Sekar. Kamu sadar nggak takdir ingin kita lebih dekat lagi? Tadi kamu seharusnya bekerja di depan ruanganku seperti biasanya tapi sekarang kita malah bekerja dalam satu ruangan,” ucap Axel, mencoba melunakkan hati Sekar. Sekar yang sudah melangkah menuju sofa dan setelah sampai dia meletakkan laptopnya di meja lalu menegakkan badan melipat tangan tersenyum sinis pada Axel. Pria itu berusaha membawa situasi mereka ke jalur romantis dengan mengait-ngaitkan kejadian yang baru mereka alami dengan takdir hanya untuk meluluhkan hatinya. “Apa Anda sudah pikun? Saya di sini karena paksaan Anda, pak Axel!” tegas Sekar, cukup kasar. “Jadi kamu nggak percaya ini takdir? Jalan kita sepertinya memang sudah diatur agar semakin dekat apapun awal mula masalahnya,” ucap Axel sangat yakin. “Sudahlah, Pak. Kalau Anda ingin saya tetap bekerja di JM, tolong patuhi peraturan saya. Mari kita fokus kerja. Dan jangan pernah mencoba mendekati saya lagi. Saya sudah tegaskan pada Anda tadi. Saya tidak mau masuk ke dalam permainan cinta yang salah dengan Anda. Malam itu adalah kesalahan yang sampai saat ini bahkan belum bisa saya maafkan. Saya tidak mau mengulanginya lagi. Selain itu, Anda juga sudah bertunangan dengan mbak Felisa. Apa yang anda cari dari saya? Kepuasan? Kesenangan? Saya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan dia yang sangat sempurna dan punya segalanya. Kalau Anda ingin saya tetap bekerja di sini tolong jauhi saya,” tegas Sekar kemudian duduk di sofa dan mulai membuka laptopnya agar tidak terus diganggu lagi oleh bosnya. Rasanya sangat capek terus saja berdebat dan tidak ada ujungnya. Axel terdiam tak membalas ucapan Sekar. Rahangnya mengeras hingga tulangnya terlihat menonjol. Dia sedang berusaha mengendalikan emosinya. Apa yang dikatakan Sekar memang ada benarnya. Meskipun dia masih ingin membujuk dan meyakinkannya tapi untuk saat ini sepertinya dia akan berhasil. Axel tak mau Sekar justru semakin muak padanya. Untuk sementara mereka memang harus saling memberi ruang masing-masing. Axel memilih berjalan kembali ke meja kerjanya dengan agak terpincang. Apalagi dilihatnya Sekar sudah mulai serius bekerja. Suasana di ruangan itu terasa hening. Sekar dan Axel sudah fokus bekerja. Kadang ada bunyi notifikasi dari telepon genggam milik Sekar dan Axel. Kadang juga terdengar suara keyboard laptop dari ketikan jari-jemari keduanya. Sebenarnya Sekar tidak menginginkan ini. Dia ingin lari dan pergi jauh melupakan semua yang dia alami malam itu. Namun kenyataannya dia dipaksa harus bertahan di JM Group. Sekar tahu ancaman Axel Amarta tidak main-main. Bosnya pasti akan membuktikan ucapannya untuk tidak membiarkan dia bekerja dengan nyaman di tempat lain selain JM Group. Karena itulah Sekar memilih berdamai dengan keadaan. Perlahan dia akan mencoba dan berusaha menyembuhkan lukanya sendiri. *** Sekar tidak menyadari, ada sepasang mata yang selalu memperhatikan gerak-geriknya saat bekerja. Sepasang mata nakal dan liar menatapnya seolah dia adalah pemandangan yang indah. Diam-diam Axel mengambil fotonya dari berbagai sudut dari kursinya sekarang. Walau hanya dengan kamera ponsel hal itu cukup menghibur Axel, yang masih merasa penasaran dengan sekretarisnya itu. Memperhatikan Sekar yang sedang fokus bekerja seperti itu ternyata sangat mengasyikkan. “Kamu tetap terlihat cantik meskipun rambutmu telah berubah jadi sependek ini,” batin Axel, mengamati foto Sekar penuh kekaguman. Lalu iseng mengirim hasil jepretannya pada sekretarisnya itu. “Aku suka ini, mmuah.” Sekar mengetahui pesan masuk dari bosnya melalui laptop yang sudah terhubung dengan aplikasi chat di ponselnya. Sekar membuka pesan itu dan langsung meradang begitu melihat fotonya yang diambil dari sisi belakang agak menyamping dan telah diedit. Tepat dibagian leher dia beri emoticon bibir. “Menjijikkan!” bisiknya kesal. Langsung dia balas pesan itu. “Jangan macam-macam dengan foto saya, Pak. Ini namanya pelecehan. Saya bisa menyeret Anda ke jalur hukum.” “Jangan terlalu serius begitu. Aku hanya ingin mengatakan kalau lehermu terlihat sangat indah. Aku beruntung pernah merasakan kelembutannya,” balas Axel nakal. Sekar menoleh dan melihat ekspresi wajah bosnya dengan sorot mata tajam. Namun Axel justru menyeringai lalu tertawa melihat ekspresi Sekar. “Saya akan membuat mata Anda tidak akan melihatnya lagi,” balas Sekar segera bertindak. “Oh ya? Bagaimana caranya? Kamu ingin mencongkel mataku? Kemarilah! Dengan senang hati aku menunggumu, Canduku,” balas Axel nakal. Sekar mendesis kesal. Setelah membaca pesan itu dia segera mengambil saputangan di tasnya untuk menutupi leher. Tapi tak lama kemudian dia mendengar Axel malah tertawa terbahak-bahak. Menurutnya tingkah Sekar sangat lucu dan membuatnya semakin gemas. *** Saatnya makan siang. Sekar ingin keluar untuk mencari makan. Dulu biasanya dia akan bertanya pada bosnya itu, mau makan apa? Tapi sekarang rasanya malas sekali untuk menanyakan hal itu. Makanya dia putuskan untuk tidak bertanya saja. Biar dia cari makan sendiri atau menyuruh Elma. Sekar menutup laptopnya. Dia ambil ponsel dan bangkit dari sofa. Dilihatnya Axel masih sibuk memeriksa dokumen. Tiba-tiba pintu diketuk. Sekar terkejut dan melihat ke pintu. “Bukalah. Itu pasti Elma mengantar makan siang kita,” ucap Axel, melihat ke arah Sekar. Sekar terkejut ternyata bosnya lebih dulu pesan makanan untuk mereka berdua. Tanpa membalas perintah itu, Sekar berjalan ke pintu dan membuka kuncinya. Benar saja Elma sedang berdiri membawa dua kantung kertas. “Tolong kamu bawa masuk dan letakkan makanan itu di meja bos, ya,” perintah Sekar pada Elma. “Tidak! Terima makanan itu dan bawa kemari. Tugas Elma hanya sampai batas pintu saja,” sahut Axel masih fokus memeriksa dokumen tanpa menatap Sekar. Sekar tak mau membantah bosnya di depan Elma. Dia terima dua kantung makanan itu dengan perasaan geram. Karena bosnya selalu punya seribu cara agar dia datang mendekatinya. “Terima kasih, El,” ucap Sekar tanpa mendapat balasan dari Elma. Temannya itu pergi begitu saja kembali ke tempat duduknya. Setelah menutup pintu dia bawa makanan itu ke sebuah nakas di dekat dinding dan menaruh di atasnya. “Tunggu! Kamu tidak dengar? Tadi aku minta kamu bawa makanan itu kemari! Mengapa kamu malah taruh di situ?” tanya Axel terlihat kesal karena perintahnya dilawan. “Apa Bapak juga tidak dengar? Saya tidak bisa mendekati Anda kurang dari dua meter?” sahut Sekar sambil berjalan kembali ke sofa dengan santai. “Mengapa kamu tidak ambil makananmu?” tanya Axel yang justru memperhatikan Sekar yang tidak mengambil jatah makan yang dia belikan. “Saya tidak lapar. Bapak makan sendiri saja,” sahut Sekar tanpa menoleh kemudian membuka laptopnya lagi. Sekar baru menyalakan laptopnya saat dia tak sengaja melirik Axel berjalan terpincang tanpa sepatu untuk mengambil makanannya. “Tadi saat ke pintu bisa berjalan dengan baik. Mengapa sekarang terpincang?” bisik Sekar sinis sambil geleng-geleng memperhatikan bosnya yang dia pikir sedang bersandiwara. “Ambil makananmu! Aku sudah mengambil makananku,” perintah Axel saat balik ke mejanya dan masih terpincang menahan sakit. Sekar tidak membalas sepatah kata pun. Tapi tadi dia hanya memperhatikan kaki bosnya yang cidera. Bagian jari tengah dan ujung punggung memang terlihat mulai membengkak. Bisa jadi saat ini kakinya memang benar-benar cidera. Dan seiring waktu semakin meradang. “Sepertinya dia benar-benar cidera. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Sekar, merasa cemas juga. Tidak tahu kenapa tiba-tiba hati timbul rasa bersalah dan merasa kasihan pada pria itu. “Tidak! Mengapa aku jadi begini? Itu akibat dari ulahnya sendiri,” batin Sekar coba menghilangkan rasa bersalah yang mulai muncul di hatinya. Sekar tidak menyadari kalau Axel membawa makanan untuknya. Dia terkejut saat pria itu tiba-tiba meletakkan makanannya di meja. Spontan dia berdiri dan sedikit mundur menjauhi bosnya. “Makanlah! Nanti kamu bisa sakit. Aku perhatikan bobotmu sepertinya turun cukup banyak,” ucap Axel dengan suara tenang. “Bapak tidak perlu repot-repot begini. Saya benar-benar belum lapar,” ucap Sekar. Axel tidak bicara lagi. Dengan terpincang dia memutar tubuhnya berniat meninggalkan tempat itu tapi tak sengaja kakinya yang cidera justru menyenggol kaki sofa cukup keras. “Aaargh!” seru Axel, kesakitan. “Astaga pak Axel!” sebut Sekar terkejut. Wajah Axel merah padam. Sekar segera mendekat dan berusaha memapahnya seolah tidak ada lagi permasalahan diantara mereka. “Mari, Pak. Duduk di sini saja dulu.” Axel menurut saja. Meskipun rasanya dia tidak percaya dengan sikap Sekar yang berubah tiba-tiba seperti cuaca saat ini. “Tunggu sebentar, Pak. Saya akan coba mengobati kaki Bapak,” ucapnya kemudian mengambil ponsel untuk menelpon OB agar mengantar es batu ke ruang kantor ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD