Bab 5. Kedatangan Felisa

2228 Words
Office Boy datang membawa es batu. Sekar segera memasukkan es batu itu ke dalam kantung kompres lalu menaruhnya di atas kaki Axel yang cidera. Sekar meminta Axel berbaring dan menaruh kaki itu di atas bantal yang ditumpuk sehingga lebih tinggi dari dadanya. “Saya sudah menghubungi dokter klinik JM untuk memeriksa kaki Bapak. Anda istirahat saja sekarang,” ucap Sekar setelah selesai memberi pertolongan pertama pada cidera kaki bosnya. “Ini hanya cidera ringan. Untuk apa harus memanggil dokter?” tanya Axel. “Saya tidak mau disalahkan mbak Felisa. Anda lupa? Tadi dia meminta saya mengantar Anda ke dokter,” jawab Axel. Axel menyeringai sinis. “Kamu salah tadi dia memintaku ke dokter dan menyuruhku mengajakmu.” “Apa bedanya?” sahut Sekar yang melangkah meninggalkan Axel menuju sofa di seberang meja. “Ya bedalah! Itu artinya dia tidak menyuruhmu,” tegas Axel. “Tapi dia mengingatkan Anda untuk mengajak saya. Itu artinya mbak Feli ingin saya mengantar, mengurus, merawat atau menemani Anda ke dokter? Anda yang sakit. Bukan saya!” tegas Sekar tidak mau kalah. Setelah itu dia duduk dan kembali bersiap bekerja lagi. “Jarak kita terlalu dekat. Tidak ada dua meter. Bekerjalah di meja kerjaku,” perintah Axel yang masih mengingat peraturan yang tadi diterapkan sekretarisnya. Dia juga merasa kasihan Sekar bekerja denga posisi tidak nyaman. “Tidak perlu. Terima kasih,” sahut Sekar dingin, menoleh ke arah bosnya walau hanya sekilas. “Kamu tidak takut aku menerkammu lagi?” goda Axel dengan seringai nakal melirik ke arah Sekar. Sekar tidak membalas pertanyaan itu. Dia tidak mau terjebak dan ada kesan mereka kembali dekat atau berbaikan lagi. Dia tidak mau masuk ke dalam jebakan Axel. “Ya Tuhan!” sebut Sekar terkejut. Axel yang baru saja memejamkan mata. Dia perhatikan Sekar sedang menatap layar laptopnya dengan raut panik. “Ada apa?” “Seminggu ini apa yang Anda kerjakan di kantor? Bagaimana banyak proyek yang lepas dari incaran kita? Anda tahu? Kita telah kehilangan lima proyek dan kerjasama bisnis bernilai sangat besar!” ungkap Sekar dengan raut menahan emosi. “Alaaah… Cuma lima saja. Itu hanya proyek kecil,” ujar Axel meremehkan sambil mengibaskan tangan. “Apa? Bapak bilang itu proyek dan bisnis kecil?” tanya Sekar tak percaya menatap bosnya yang terlihat santai. “Pak Axel tahu! Proyek dan kerjasama bisnis yang lepas itu bernilai lebih dari dua ratus triliun, Pak! Lebih dari dua ratus triliun, Pak!” ungkap Sekar, mengulang nilai fantastis uang proyek dan bisnis yang disia-siakan Axel karena geram. “Iya, aku dengar. Kamu nggak perlu mengulang ucapanmu,” protes Axel, kesal. Seolah pimpinan JM. “Kalau Bapak tidak sanggup menangani tender itu, Anda bisa minta bantuan pak Nino. Saya yakin kalau dia membantu Anda kita nggak akan sampai kehilangan proyek dan kerjasama bisnis itu,” ucap Sekar yakin. “Setidaknya kita masih bisa dapat dua atau tiga proyek,” lanjut Sekar “Apa? Nino katamu?” tanya Axel langsung bangun karena dia tidak suka Sekar membawa-bawa sepupunya itu. Seolah Nino pasti bisa membantunya mendapatkan proyek-proyek yang sudah lepas itu. “Iya, pak Nino. Memangnya ada apa? Mengapa Anda jadi kesal seperti itu?” tanya Sekar bingung. “Benar dugaanku. Kamu ini memang manusia tidak punya hati. Kamu tidak pernah membayangkan bagaimana keadaan Nino setelah kamu tolak kemarin? Dia memang masuk kantor. Tapi hanya badannya saja! Nyawa Nino seperti sudah tidak tersangkut di badannya. Dia jadi terlihat linglung dan kehilangan semangat. Bagaimana bisa orang seperti itu aku ajak bekerja?” tanya Axel balik, tidak mau disalahkan. “Lalu Bapak? Bapak sendiri melakukan apa? Bahkan nggak ada satu pun kerjasama yang Anda tangani berhasil Anda dapatkan!” ujar Sekar, masih penuh emosi seolah dialah bosnya. “Aku? A--- A--- Aku bekerja seperti biasanya. Kamu pikir aku cuma duduk ongkang-ongkang kaki saja?” tanya Axel gugup, merasa terpojok. “Kalau dilihat dari proposal yang sudah kita rancang minggu lalu proyek-proyek itu sangat mungkin kita dapatkan. Tapi mengapa satu pun tidak ada yang berhasil kita dapat?” tanya Sekar masih saja menyesalkan kegagalan yang seminggu lalu sudah dia siapkan bersama Axel. “Sekar! Ingat posisimu!” teriak Axel naik pitam. Karena seakan-akan dialah penyebab proyek dan kerjasama bisnis itu gagal didapatkan. Namun sungguh di luar dugaan, tiba-tiba saja perut Axel berbunyi. Ketegangan di antara mereka berdua yang sempat meninggi jadi sedikit turun. Axel terlihat malu dan salah tingkah. “Tadi aku memang belum sempat makan makananku,” ungkap pria itu sambil memegang perutnya kemudian menoleh ke meja kerjanya di mana makanan itu berada. Sekar hanya melihatnya dengan wajah datar. Tidak ada reaksi dan ekspresi wajah yang menunjukkan sikap terkejut atau tertawa dengan bunyi perut tadi. Tapi dia segera meninggalkan laptopnya menuju ke meja kerja bosnya mengambil makanan itu. “Ini Pak, silakan makan sekarang. Turuti perintah perut Anda tadi,” ucap Sekar menaruh makanan itu di atas pangkuan Axel begitu saja. “Kamu mau kemana?” tanya Axel menatap Sekar yang sudah bergerak memutar tubuh. Dia berharap Sekar akan membuka makanannya lalu di tepian sofa dan menyuapinya. “Tentu saja kembali bekerja,” jawab Sekar. “Ada yang perlu saya bantu?” tanya Sekar kemudian. “Tidak. Aku belum ingin makan. Taruh saja makanan ini di meja,” perintah Axel menoleh pada meja di sampingnya. “Tadi Bapak dengar, ‘kan? Perut Anda baru saja keroncongan minta diisi. Makanlah dulu walau hanya sedikit,” bujuk Sekar terdengar lebih sabar. Axel diam saja dan justru kembali merebahkan diri. Sekar masih berdiri memperhatikan bosnya yang terbaring memejamkan mata. Dia tidak mengerti mengapa mood-nya berubah begitu cepat? Dia lirik kaki pria itu yang tampak membengkak dan merah kebiruan. Rasanya pasti sakit sekali. Sekar pernah tersandung dan cidera seperti itu rasanya sakit sekali. Dan bagaimana kalau jarinya patah atau retak? Tadi dia memang menekan kaki Axel sangat kuat. Perlahan Sekar duduk di tepian sofa. “Apa Anda mau saya suapi?” “Tidak perlu,” jawab Axel dingin. Masih memejamkan mata dan menaruh lengan kirinya di kening. Axel berharap Sekar membujuknya lagi. Dia ingin tahu sampai di mana kepedulian sekretarisnya yang berubah jadi wanita dingin. Sudah kembali hangat atau masih membeku hatinya. Sebaliknya. Sekar justru tidak mau bermain drama membujuk bosnya lagi. Menurutnya buang-buang waktu saja. Dia malah bangkit mengambil makanan itu lalu menaruhnya di meja. Sekar melangkah lagi ke sofa dan saat yang hampir bersamaan pintu ruangan itu dibuka dari luar. “Tadaaaa! Surprise!” Seorang wanita dengan dress ketat warna hitam panjang di atas lutut dan bagian atas terbuka merentangkan kedua tangannya ceria. “Mbak Feli!” sebut Sekar lirih dengan raut wajah terkejut menatap tunangan Axel itu seolah tidak percaya. Tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar dan lemas. Dia teringat adegan panas yang terjadi antara dirinya dan Axel sekitar dua jam yang lalu. Andai saja, Felisa datang di jam itu dengan cara tiba-tiba seperti ini, Sekar tidak dapat membayangkan bencana yang akan dia hadapi bersama Axel. Begitu pun dengan Axel. Pria itu langsung bangun dan duduk menatap kekasihnya yang bergegas melangkah ke arahnya. “Feli? Bukankah tadi kamu masih di Thailand? Mengapa sekarang ada di Jakarta?” tanya Axel yang juga tak kalah terkejut melihat sosok Felisa tiba-tiba sudah berada di hadapannya itu. “Ouh Sayang, kamu baik-baik saja, ‘kan? Mana kakimu yang cidera tadi?” tanya Felisa setelah memeluk Axel langsung memeriksa kaki tunangannya. “Ya, Tuhan! Ternyata separah ini? Sudah diperiksa dokter apa belum?” usutnya dengan penuh perhatian. Ratu kecantikan bertubuh seksi itu meraba ujung kaki kiri Axel yang bengkak seperti bakpao merah kebiruan. “Belum. Tapi Sekar sudah menelpon dokter di klinik JM,” jawab Axel pada calon istri pilihan mamanya itu. “Apa? Jadi sejak tadi kamu belum diperiksa dokter atau dibawa ke rumah sakit?” tanya Felisa terkejut. “Sekar! Kamu ini bagaimana? Kamu tahu ini bukan cidera biasa. Mengapa baru memanggil dokter?” tanya Felisa menyalahkan Sekar. “Saya---- “ Sekar tidak melanjutkan ucapannya. “Tadi aku yang melarang dia memanggil dokter. Aku pikir tidak akan separah ini,” sahut Axel memotong ucapan Sekar untuk melindunginya. “Tapi setelah kakiku membengkak dia langsung menghubungi dokter di klinik JM agar datang kemari. Kamu tenang saja. Ini hanya bengkak biasa. Nanti kalau sudah diobati pasti segera sembuh,” tutur Axel lagi untuk menenangkan Felisa. Sementara Sekar merasa tidak nyaman berada di antara Axel dan Felisa. Dia mulai mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas ingin segera izin keluar lebih dulu. “Sekarang jelaskan padaku. Mengapa kamu tiba-tiba sudah berada di Jakarta?” tanya Axel yang sebenarnya juga merasa terkejut dan dilanda kecemasan yang sama dengan yang dirasakan Sekar. Dia membayangkan andai saja tunangannya itu tiba-tiba muncul di saat mereka berciuman seperti tadi pasti akan ada masalah besar menimpanya dan Sekar. “Tadi itu aku sengaja bohong sama kamu. Sebenarnya aku sudah di Jakarta sejak semalam. Tapi karena tadi pagi aku ada jadwal pemotretan jadi tidak bisa langsung temui kamu. Sekalian saja aku bikin kejutan,” jawab Felisa ceria tanpa merasa berdosa. “Bagaimana kejutanku berhasil, ‘kan?” tanyanya kemudian. “Lain kali jangan bikin kejutan seperti itu. Kamu tahu aku tidak suka kejutan,” ucap Axel, serius. “Maaf, Sayang. Tapi sekali-sekali nggak apa-apa, ‘kan!” ujar Felisa bersungut manja merangkul Axel lalu menempelkan pipinya di wajah Axel. “Feli, jangan seperti ini. Kita sedang di kantor,” tolak Axel, mendorong tubuh Felisa pelan. Tidak tahu kenapa dia merasa tidak nyaman dilihat Sekar. Felisa tahu penyebabnya. Dia menoleh pada Sekar yang sudah selesai mengemasi barang-barangnya. “Sekar kamu bisa keluar dulu. Aku saja yang temani Axel,” ucap Felisa, tentu merasa kurang nyaman dengan keberadaan Sekar di situ. “Iya, mbak Feli. Saya juga sudah bersiap,” ucap Sekar, menunjukkan tasnya. “Tidak. Kamu tidak boleh pulang sekarang. Ini belum waktunya pulang kantor. Tetap saja bekerja di sini. Sekarang ruangan ini juga ruanganmu,” tolak Axel, membuat Felisa terkejut “Apa maksudnya ruangan ini juga ruangan Sekar? Bukankah selama ini tempat kerja dia di depan sana bersama Elma?” tanya Felisa, menatap Axel dan Sekar dengan raut agak bingung. Sebelum menjawab pertanyaan Felisa, Axel lebih dulu melihat Sekar yang terlihat tegang. “Tidak apa-apa. Hanya masalah kecil saja. Nanti akau akan ceritakan.” “Masalah? Masalah apa?” tanya Felisa semakin penasaran memperhatikan Axel dan Sekar bergantian. “Saya akan lanjut bekerja di kantin saja, Pak. Kebetulan saya juga sudah lapar,” ucap Sekar menyela. Axel terlihat berpikir sejenak. Sekar punya alasan tepat untuk meninggalkan tempat ini. “Baiklah. Kalau begitu pergilah ke kantin.” Sekar tak menyiakan kesempatan. Dia segera berpamitan meniggalkan tempat itu. “Tunggu! Sekar!” ucap Felisa Sekar berhenti dengan perasaan cemas. “Ada apa mbak Feli?” Felisa bangkit dari pangkuan Axel menghampiri Sekar. Dia perhatikan Sekar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tadi dia kurang begitu memperhatikan penampilan baru Sekar karena fokus memperhatikan cidera kaki Axel. Tapi sekarang dia benar-benar dibuat terkejut. “Sekar apakah benar ini kamu?” tanya Felisa seolah tak percaya melihat penampilan Sekar yang baru saat ini. Sekar tersenyum pada Felisa. “Iya mbak Feli. Ini saya.” “Ada apa? Mengapa kamu potong rambut kamu sependek ini?” interogasi Felisa sambil mengamati wajah Sekar. “Nggak ada apa-apa, Mbak. Hanya ingin coba tampil beda saja,” sahut Sekar, berusaha terlihat tenang. “Kamu bohong!” sahut Felisa. “Penampilanmu memang beda. Tapi auramu seperti orang patah hati. Apa kamu baru saja putus cinta?” tanya Felisa. “Felisa! Kamu sudah terlalu jauh. Jangan suka mengurusi penampilan orang,” ujar Axel mengingatkan. “Sekar bukan orang lain, Sayang. Aku hanya mencemaskan dia,” jawab Felisa. “Cukup! Biarkan Sekar pergi!” perintah Axel, kurang suka dengan sikap tunangannya pada Sekar seperti seorang detektif saja. “Nggak apa-apa, Pak. Saya tau maksud mbak Feli baik,” sahut Sekar membela Felisa. “Saya tidak sedang patah hati, mbak Feli. Memang hanya ingin tampil beda saja. Saya tidak bohong,” tegas Sekar. “Kamu dengar itu? Biarkan dia pergi sekarang,” sahut Axel, mulai terdengar lebih keras. “Tapi ini bukan gaya kamu. Kamu tidak cocok dengan model rambut ini,” ungkap Felisa. “Feli! Kamu tidak mau mendengarkan aku?” Suara Axel makin meninggi dan tanda-tanda kesabarannya sudah menipis. “Ya sudah. Pergilah sekarang,” ucap Felisa menuruti perintah Axel. Untuk sementara dia memilih mengubur rasa penasarannya takut Axel akan marah. “Terima kasih, Mbak. Permisi,” pamit Sekar kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Sekar tidak menyangka Felisa cukup penasaran dengan perubahan dirinya. Ratu kecantikan laut itu, yakin perubahan ini karena telah terjadi sesuatu dengan dirinya. Tentu Sekar tidak ingin Felisa tahu apa penyebab dia begini. Dia bersyukur Axel berusaha menghentikannya. Seperti teman-temannya, dia berharap Felisa mengira ini ada sangkut pautnya dengan penolakan lamaran Nino Hardino kemarin. Seperti yang direncanakan, Sekar menyelesaikan pekerjaannya di kantin JM yang terletak di rooftop. Di tempat itulah yang paling tepat dan nyaman untuk dia tuju sekarang. Jam makan siang juga sudah lewat. Jadi tidak banyak karyawan yang berada di sana. Dengan begitu tidak banyak mata yang memperhatikan dirinya. Bibir yang berbisik sumir sambil makan membahas masalah penampilan barunya. Saat ini dia berharap semoga Windy dan teman-temannya tidak datang mengganggu ketenangannya. Sebelum duduk di mejanya, Sekar lebih dulu memesan makanan dan minum. Sambil menunggu makanannya datang, dia kembali bekerja dengan membuka laptop lagi “Ini untukmu.” Suara seseorang yang sangat dia kenal menaruh segelas es matcha latte dan semangkuk ramen di mejanya. Sekar mendongak pada orang yang mengganti minuman yang dia pesan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD