Kejutan luar biasa bagi Sashi saat bertemu dengan sosok wanita paruh baya di depannya itu. Arsyila--sosok wanita kakak kandung mendiang sang papa ada di depan Sashi saat ini. Sudah sangat lama mereka tidak bertemu meski dalam kota yang sama.
"Ta-Tante? Eh? Itu Mas Adit dadakan demam tinggi dan lemas." Sashi gugup menjelaskan pada kakak kandung mendiang sang papa.
"Ck! Alasan aja dia. Jangan sampai pura-pura sakit untuk mengelabuhi kamu. Kalo umpama sakit, semoga sakitnya parah. Jadi, biar sesuai dengan kebohongannya," kata Arsyila yang saat ini menjanda.
Sashi mengerutkan dahi karena heran dengan ucapan sang tante yang sangat ketus. Seingatnya, mereka tidak pernah ada masalah sama sekali sebelumnya. Jangankan ada masalah, mereka bahkan hampir tidak pernah bertemu. Entah sedang ada masalah apa saat ini dengan wanita yang kini menggunakan gamis berwarna ungu itu.
"Nyonya Sashi Aditya," panggil perawat untuk yang kedua kalinya.
Sashi pun langsung meninggalkan Arsyila. Ia belum sempat bertanya siapa yang sakit saat ini. Arsyila sudah beberapa waktu yang lalu bercerai dari Agung. Hubungan mereka dikabarkan memburuk saat ini.
"Saya, Sus, gimana keadaan suami saya?" tanya Sashi yang tampak biasa saja.
"Suami, Anda hanya kelelahan biasa saja. Tidak ada tanda-tanda sakit berbahaya seperti gejala typus atau demam berdarah. Sore nanti jika sudah membaik bisa pulang," kata perawat tersebut menjelaskan dengan cepat pada Sashi.
"Terima kasih, Sus," kata Sashi tidak bertanya lebih lanjut lagi saat ini.
Sashi segera mengurus semua biaya Aditya. Nanti semua bukti pembayaran akan diberikan pada sang suami. Perlu digaris bawahi, Santika juga harus tahu tentang biaya itu. Agar wanita paruh baya itu tidak seenaknya mengatakan Sashi adalah istri yang boros.
Tiga juta empat ratus lima puluh ribu rupiah, nominal yang harus dibayarkan oleh Sashi pada salah satu rumah sakit swasta ini. Nominal yang sangat kecil dan biasa saja buat Sashi saat ini. Akan tetapi, ia akan berpura-pura jika uang itu nilainya sangat besar. Butuh drama yang apik untuk meyakinkan sang suami dan Santika.
"Sash, aku kapan boleh pulang?" tanya Aditya yang tidak betah berada di ruang rawat inap kelas satu ini.
"Kata Dokter kalo keadaan Mas Adit membaik, sore ini sudah boleh pulang kok. Makanya obat dan makanannya dimakan agar punya tenaga." Sashi membaca beberapa obat dan vitamin milik sang suami. "Obat ini nggak murah. Total biaya kamu di sini hampir tiga setengah juta rupiah," kata Sashi sengaja mengatakan nominal itu.
"Ck! Pakai uang kamu dululah," kata Aditya enteng seolah menjadi donatur tetap untuk Sashi.
"Uangku? Uang dari mana emamg? Uang belanja? Nggak ada. Udah menipis hanya tinggal seratus lima puluh ribu rupiah. Aku mau minta ke Mama kamu nanti," kata Sashi yang tidak mau kalah dengan sang suami.
"Emang ini uang siapa yang kamu pakai? Nggak usah bohong kamu!" Aditya menaikkan satu oktaf nada bicaranya pada sang istri.
"Tante Arsyila. Beliau ada di sini," kata Sashi tanpa wajah dosa sama sekali.
Wajah Aditya seketika pucat pasi. Ia seperti baru saja melihat hantu. Astaga! Sashi langsung tersenyum lebar. Sejak dahulu, Santika dan ketiga anaknya tidak berkutik di depan Arsyila Subianto.
"Nggak percaya aku." Aditya mengingkari kebenaran agar hatinya tenang.
"Apa yang membuat kamu tidak percaya?" Arsyila berada di depan pintu ruang rawat inap Aditya saat ini. "Bagaimana, masih mual dan muntah? Ck! Kenapa nggak sakit parah saja sih kamu?" sindir Arsyila yang saat ini berdiri di samping kanan Aditya.
Suasana mendadak hening, Sashi tidak paham dengan ucapan sang tante. Arsyila seperti sedang menyindir Aditya saat ini. Hanya saja Sashi tidak paham. Saudara kembar Arusha tidak bisa menangkap kode-kode yang diberikan oleh orang-orang terdekat.
"Atau kamu sedang ngidam?" Ucapan Arsyila semakin membuat Aditya diam dan tidak berani berkutik sama sekali.
"Ngidam? Aku nggak lagi hamil. Tapi, siapa tahu itu doa dari Tante," kata Sashi yang justru sangat sumringah.
Arsyila mengembuskan napas kasar. Ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada anak mendiang adiknya itu. Waktu dan suasananya sangat tidak mendukung. Arsyila bukan wanita bodoh, mantan suami yang bisa menyembunyikan perselingkuhan saja bisa ditemukan bukti dengan lengkap dan detail.
"Sash, ada baiknya jangan terlalu polos. Lihatlah sekitarmu. Tidak semua yang kamu anggap baik itu baik-baik saja. Bisa jadi mereka itu adalah penjahat paling jahat di dunia ini. Sash, jangan pernah memaafkan sebuah perselingkuhan." Arsyila langsung keluar setelah mengatakan hal itu pada Sashi.
Arsyila tahu banyak tentang kebusukan Aditya dan keluarganya. Hanya saja, kala itu Amelia seolah menutup telinga dan mata tentang Santika merupakan sahabat baik Amelia. Sangat sulit menunjukkan keburukan wanita itu. Tidak ada obrolan antara pasangan suami dan istri itu setelah Arsyila keluar dari ruang rawat inap milik Aditya.
Sashi tampak diam dan memikirkan banyak hal. Salah satunya ucapan Arsyila tadi. Rasanya tidak mungkin jika tidak ada apa-apa mendadak sang tante menatap penuh kebencian pada Aditya. Sashi mengembuskan napas kasar lalu memutuskan duduk sedikit lebih jauh dari brankar milik Aditya.
Tekanan dari Arsyila, membuat kondisi Aditya mendadak drop. Terpaksa ia harus menginap di rumah sakit ini. Sashi tidak mempermasalahkan tentang ini. Ia justru bisa dengan leluasa mengerjakan pekerjaannya. Ponsel lawasnya terpasang aplikasi design untuk gambar.
"Kamu sejak tadi sibuk main ponsel aja. Nggak prihatin lihat aku kaya gini?" Aditya kesal melihat tingkah sang istri saat ini seolah tidak sedih saat sang suami sakit.
"Lalu aku harus apa? Bukankah orang sakit harus istirahat. Nggak mungkin rasanya aku ajak lari malam-malam atau semacamnya," jawab Sashi malas menanggapi ucapan sang suami.
"Minimal duduk di dekat aku," kata Aditya dengan ketus dan membuat Sashi mengembuskan napas kasar.
Mau tidak mau Sashi mendekat ke arah sang suami. Ia duduk di tepi brankar sempit itu. Aditya mengembuskan napas kasar saat melihat raut wajah muram sang istri. Sashi memang tidak nyaman ketika berada di dekat Aditya saat sedang mengerjakan pekerjaannya itu. Berulangkali Sashi mengembuskan napas kasar.
"Kamu nggak ikhlas temani aku di sini?" Aditya menyindir sang istri yang tampak muram. "Kalo hanya masalah uang pembayaran rumah sakit ini, besok biar aku ganti. Aku nggak akan sudi pakai uang wanita itu. Nggak ada masalah besar, tapi suka sekali membuat orang lain tampak bersalah," lanjut Aditya merasa bisa meluapkan emosinya tentang Arsyila.
"Aku nggak bela siapa pun. Lagian, kalo nggak ada kesalahan atau masalah apapun dengan Tante Sila, beliau nggak akan seperti itu." Ucapan Sashi seolah menjadi bumerang untuk Aditya.
Aditya cemas bukan main. Ia takut sang istri mengetahui sesuatu. Sashi memasang wajah datar seolah sedang menahan amarah saat ini. Tentu saja membuat Aditya semakin tidak tenang.
"Sash ... kamu percaya sama omongan Tante Arsyila?" Aditya berusaha memecahkan keheningan mereka berdua di ruangan ini. "Apa pun yang kamu dengar nantinya, jangan percaya, aku nggak seperti itu," lanjut Aditya mencoba membela diri.
Sashi tidak menjawab dan abai dengan ucapan sang suami. Ia tidak peduli sama sekali dengan ucapan siapa pun. Sejak perlakuan Santika buruk terhadapnya beberapa waktu lalu, Sashi memilih menyibukkan diri dengan kegiatan yang lebih bermanfaat. Waktu memang cepat berlalu, mereka sudah dua tahun menjalani pernikahan ini.
"Tergantung." Sashi tidak mau menanggapi ucapan sang suami saat ini.
Sashi malas berdebat dengan Aditya. Perdebatan karena masalah sepele hanya akan membuat mereka bertengkar hebat. Sashi lelah dengan masalah yang selalu tercipta dan mendadak datang. Ucapan Aditya memang sering memancing datangnya masalah.
"Tergantung? Artinya kamu percaya dong sama omongan Tante Sila?" Bukan pertanyaan dari Aditya melainkan ajakan untuk bertengkar.
"Sudahlah, Mas. Aku capek, bahasan ini lama-lama akan ngelantur ke masalah yang lain. Aku capek harus berdebat denganmu." Sashi menolak menanggapi ucapan Aditya.
Sashi memilih kembali ke sofa panjang yang ada di rumah sakit ini. Udara lumayan dingin dan Sashi hanya membawa jaket saja. Ia malas tidur satu ranjang dengan sang suami. Aditya tampak mengembuskan napas kasar.
'Aku harus lebih hati-hati lagi sekarang. Bisa habis nyawaku jika keluarga besar Sashi tahu semua. Aku masih butuh kucuran dana dari Sultan Anggara yang sombong itu,' gumam Aditya dalam hati.
Malam semakin larut dan Sashi bisa memejamkan mata dengan sempurna. Sesekali tidak memikirkan apa pun masalah yang ada di rumah. Santika sering membuat masalah ketika rumah dalam keadaan tenang. Sebuah kesialan untuk Sashi yang memilih tetap tinggal di rumah itu.
Sementara itu, Santika terpaksa menunggui Tami yang saat ini harus dirawat di rumah sakit. Adik kandung Aditya itu terkena infeksi saluran cerna akut. Entah apa yang dimakan Tami selama ini sehingga membuatnya masuk rumah sakit. Santika berulangkali mengembuskan napas kasar.
"Kalo udah sembuh, kamu tinggal di rumah saja. Biar bisa dikontrol makan apa aja kamu. Sakit itu nggak enak. Badan nggak enak, juga bayar ongkos rumah sakit juga nggak enak. Kakak kamu, Aditya juga masuk rumah sakit." Santika tampak kesal melihat sang putri saat ini.
Tami tidak punya tenaga untuk menjawab ocehan sang mama saat ini. Memang salah siapa kalau mendadak sakit? Tidak ada orang yang ingin sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
"Pokoknya Mama nggak mau tahu, kamu rawat jalan aja. Mama lagi susah keuangan, kamu malah kaya gini. Nggak mungkin minta uang sama Aditya karena dia juga lagi sakit." Santika masih saja mengomel padahal tubuh Tami rasanya tidak enak.
Tami demam lebih dari empat puluh derajat. Saat ini belum sepenuhnya turun. Sakit kepala juga mendera dan menyiksa, ditambah lagi rasa mual dan perih pada perutnya. Seharusnya Santika bisa mengendalikan emosinya saat ini. Air mata Tami menetes begitu saja setiap kali mendengar omelan sang mama.
"Semoga disegarakan, ya." Ucapan dingin dari seseorang membuat Santika menoleh dan terkejut.