8. Tamparan

1553 Words
Entah ada urusan apa Kartika juga berada di rumah sakit ini. Santika tampak tidak suka dengan kehadiran wanita muda itu. Wanita yang dianggap buruk oleh Santika. Penyebabnya adalah, Santika selalu meminta harga di bawah pasaran saat membeli perhiasan buatan pabrik Shife. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Santika tidak suka dengan keberadaan wanita yang berdiri di depan pintu ruang rawat inap sang putri. "Nggak sengaja lihat anak kamu terbaring di sini. Mana tahu sebentar lagi terbujur kaku. Jadi, setidaknya aku pernah melihat wajahnya." Kartika mengatakannya dengan sangat enteng. "Ingat gadis kecil, tulisan kamu di media sosial tentang Shife sudah dilaporkan. Pencemaran nama baik pemilik perusahaan dan juga fitnah keji. Aku yakin kamu hanya pura-pura sakit saja untuk menghindari ditangkap pihak berwajib," kata Kartika dengan santai. Tami terkejut saat mendengar ucapan Kartika. Ia memang menuliskan hal buruk perihal Shife. Tami menuding jika pemilik Shife adalah penyuka sejenis dan membuat warga resah. Tidak, Tami tidak tahu siapa pemilik Shife yang sebenarnya. "Apa maksud kamu? Jangan bicara seenaknya," kata Santika merasa tidak terima dengan tudingan Tika. "Oh, jadi, wanita ini ibumu?" Kartika berpura-pura tidak tahu padahal data tentang Tami sudah didapatkan dengan mudah. "Baiklah, saya akan jelaskan. Utami Angraeni ini yang tak lain adalah pemilik akun bernama Putri Kalingga, telah mencemarkan nama baik pabrik kami. Dia menuliskan jika pemilik pabrik adalah seorang penyuka jenis. Mungkin tulisan Tami ini sudah dihapus, tapi jejak digital akan tetap ada. Saya selalu orang yang diamanahi mengurus masalah ini oleh pemilik Shife melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib sebagai pencemaran nama baik. Pabrik kami jelas dirugikan. Ingat, bayar denda kerugian itu tidak sedikit. Kalian hanya perlu menyiapkan uang tersebut," kata Tika dan membuat Santika mundur beberapa langkah karena terkejut. Kartika tersenyum penuh kepuasan. Kapan lagi bisa mendapatkan dana segar dari hasil membuat orang lain pusing? Hal ini tentu tidak diketahui oleh Sashi. Andai sahabat baiknya tahu, pasti Kartika diminta menghentikan kasus ini. Kartika sengaja bermain di belakang Sashi. Ia mulai mencintai uang. Ternyata sangat menyenangkan mempunyai banyak uang dengan cara mudah. Untuk mengambil uang dari pabrik sangat sulit. Sebab, Sashi selalu mengecek laporan keuangan setiap hari. "A-apa benar yang dikatakan dia?" tanya Santika pada Tami yang saat ini menangis karena ketakutan. Ada asam lambung sebagai salah satu penyebab Tami masuk rumah sakit. Gadis berambut lurus sebahu itu merasa sangat tertekan saat ada komentar yang membalas tulisannya di media sosial. Orang itu tak lain Kartika yang saat ini berdiri di depan mereka. Santika mengembuskan napas kasar saat ini. "Ingat, ganti rugi pencemaran nama baik itu tidak murah. Beberapa waktu ini, pabrik Shife mengalami penurunan penjualan karena tulisan kamu itu. Bukan tentang satu atau dua milyar yang akan kami tuntut. Bisa puluhan atau bahkan ratusan milyar. Tergantung berapa nominal kerugian yang terjadi pada Shife. Persiapkan saja uang itu agar kamu tidak dipenjara, Utami," kata Kartika sambil tersenyum penuh kelicikan. Kartika sudah membayangkan berapa keuntungan yang akan didapatkan di belakang Sashi. Tami tidak berkutik saat ini. Awalnya ia hanya iseng untuk mengurangi tekanan saat kuliah. Tes tengah semester membuatnya tertekan dan terancam gagal. "Nikmatilah masa-masa ini. Kalian sebelum panggilan pihak berwajib datang." Kartika langsung meninggalkan ruangan rawat inap Tami. Anak dan ibu itu kini terdiam, Santika jelas takut tentang ancaman wanita menyebalkan itu. Ia tidak mau anaknya masuk ke penjara hanya karena masalah sepele. Tidak, bukan masalah sepele yang dilakukan oleh Tami. Masalah itu menimbulkan banyak kegaduhan di luar sana. Media sosial memang sangat kejam. Apa pun masalahnya pasti warga negara ini akan tahu semua. Lantas bagaimana Tami menghadapi masalah ini. Jangankan uang satu milyar, Santika hanya punya uang lima juta rupiah. Sementara itu, Sashi terbangun saat tengah malam. Ia merasakan haus yang luar biasa saat ini. Sashi pun bangun lalu mengambil air mineral yang letaknya tak jauh dari brankar Aditya. Sang suami tampak tertidur dengan pulas saat ini. 'Nggak tahu kenapa, aku sedikit curiga.' Sashi hanya berkata dalam hati saja. Sudah terlalu banyak kode yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya, tetapi selalu diabaikan. Sashi memang bukan seorang yang peka, tidak sama dengan Arusha. Saudara kembarnya sangat peka hanya saja tidak bisa berbicara dengan gamblang. Masih pukul dua pagi saat ini, Sashi sama sekali tidak bisa memejamkan mata kembali. Ada banyak hal yang dipikirkan saat ini. Ia pun membuka ponsel lawasnya. Hanya sekadar iseng membuka media sosial, siapa tahu bisa kembali membuatnya mengantuk. Mata Sashi membola seketika. Ia terkejut dengan banyaknya orang yang membicarakan Shife. Sashi bahkan sama sekali tidak tahu. Perlahan, Sashi mulai membaca berita itu satu per satu. Betapa terkejutnya Sashi saat membaca jika Shife hendak menuntut sebuah akun pada media sosial. Sashi tidak paham akun itu milik siapa. Lantas, mengapa Kartika tidak membicarakannya kemarin saat mereka bertemu. Sashi kini tertarik dengan berita yang ada di media sosial itu. Satu hal yang sangat mengejutkan website resmi Shife menuntut akun media sosial yang mencemarkan pabrik milik Sashi itu dengan nominal yang luar biasa besar. Lima belas milyar rupiah harga yang harus dibayarkan oleh si akun penggunggah pencemaran nama baik. Sashi mulai membuka website resmi yang pabrik miliknya itu. Sial! Lagi dan lagi terkendala ponsel yang kurang mendukung. "Sash, kamu nggak tidur?" Sashi menjatuhkan ponsel karena terkejut mendengar panggilan sang suami. "Ada apa, Mas? Aku tidur, hanya saja terbangun karena haus. Setelah minum nggak bisa tidur lagi." Sashi berkata dengan jujur sambil memungut ponselnya yang terjatuh di lantai. "Apa kamu memeriksa ponselku?" Entah tuduhan atau pertanyaan biasa yang keluar dari mulut Aditya dan membuat Sashi tidak nyaman. Aditnya mendengkus kesal saat melihat Sashi hanya diam saja saat ini. Bagi Sashi, tidak penting mengecek atau ingin tahu isi ponsel dari sang suami. Hanya akan menambah beban pikiran saja. Sashi percaya dengan semua yang dikatakan oleh sang suami ketika sudah menikah. Sebuah doktrin salah yang pernah dikatakan oleh Amelia pada anak perempuannya itu kini seperti bumerang bagi Sashi. Sashi yang memilih diam rupanya membuat Aditya marah. Pikiran laki-laki yang kini membuka selimut yang menutup sebagian tubuhnya itu lain. Aditya mengira jika Sashi melihat semua detail isi pesan dalam ponselnya. "Kamu itu!" Aditya bangun dari tidurnya lalu perlahan berjalan mendekat pada Sashi dan menampar sang istri. Sashi terkejut saat mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami. Kadang, mereka bertengkar, tetapi tidak sampai ada kekerasan. Penerangan yang minim, membuat Sashi tidak bisa menatap jelas wajah sang suami. Entah apa yang ada dipikiran Aditya saat ini. "Apa yang kamu lakukan?!" Sashi mengeram agar suaranya tidak keluar. Sashi sangat tidak terima dengan perlakuan sang suami. Gegas, ia beranjak dari duduknya dan menyalakan lampu kamar rawat inap ini. Semua menjadi terang benderang dan wajah Aditya memerah menahan amarah. Sashi mencari keberadaan ponsel Aditya yang ada tak jauh dari bantal, alas kepalanya. "Lihat ini ponsel kamu ada di sini." Sashi langsung mengambil benda pipih itu dan melemparkan ke arah Aditya. Benda pipih itu terlempar tepat ke tangan kiri Aditya. Beruntung laki-laki yang saat ini terkajut bisa menangkap benda pipih dengan kisaran harga hampir lima belas juta itu. Aditya jelas terkejut, tidak ada pesan yang terbuka atau aplikasi lain yang terbuka. Sashi menatapnya dengan wajah memerah menahan amarah. "Kamu memang suamiku, Mas. Satu kali lagi ada kekerasan dalam rumah tangga, aku tak akan segan melaporkan pada pihak berwajib. Ingat, aku anak Sultan Anggara," kata Sashi mengancam sang suami. Sultan memang pernah berpesan pada Sashi, jika Aditya bersikap kasar, maka harus melapor agar bisa diproses. Istri bukan samsak hidup dalam rumah tangga. Masalah apa pun bisa diselesaikan dengan baik. Pukulan, tamparan, dan bentuk kekerasan lain, bukanlah solusi dalam masalah rumah tangga. Aditya tidak meminta maaf sedikit pun pada Sashi. Tidak masalah, Sashi tidak memerlukan itu. Ia hanya ingin mengingatkan tentang perjanjian mereka saat menikah dulu. Kekerasan bukan jalan yang dibenarkan untuk menyelesaikan sebuah masalah. "Kamu selesaikan sendiri urusan administrasi rumah sakit." Sashi langsung mengemas barang yang ada di kamar inap rumah sakit ini. Sashi selalu diam ketika ada masalah. Entah berapa lama ia akan mendiamkan sang suami setelah kejadian ini. Aditya menatap nanar ke arah sang istri. Sashi marah besar kali ini. "Sash ... maaf, aku tidak bermaksud melakukan kekerasan. Mungkin tadi aku mengingau." Aditya menghentikan tangan Sashi saat memasukkan semua barangnya ke dalam tas. "Benarkah?" tanya Sashi dengan nada dingin dan tidak menatap sang suami. Rasanya sangat mustahil saat Aditya mengigau saat ini. Ia bahkan tampak sangat sadar saat melakukannya. Apakah Sashi akan percaya? Tidak, ia memilih meninggalkan sang suami. "Teruskan mengigaunya, Mas. Aku pamit, apa kata orang nanti saat melihat pipiku memerah seperti ini." Sashi menunjukkan pipi kirinya yang memerah akibat tamparan Aditnya. Tenaga Aditya memang luar biasa saat marah meski sedang sakit. Pipi Sashi kali ini sudah jadi korban. Selang infus itu bahkan sampai terlepas. Lantas apakah itu benar karena mengigau. Aditya tidak mau semua rahasianya terbongkar oleh siapa pun termasuk sang istri. Sudah sejak lama ia mencurangi Sashi tanpa sepengetahuan siapa pun. Aditya sosok play boy yang gemar sekali mempermainkan perempuan. Habis manis sepah dibuang, setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Aditya akan membuang perempuan itu. "Sash! Dengarkan, tidak seperti yang kamu pikirkan. Otakku sedang kacau dan aku mengigau." Aditya berusaha menahan kepergian sang istri. Dering ponsel Aditya membuat Sashi tersenyum sinis. Ia tidak peduli siapa yang menghubungi sang suami saat baru saja menjelang Subuh. Rekan kerja? Tidak mungkin karena bukan jam kerja. "Halo ...." Suara perempuan yang terdengar saat Aditya mengangkat panggilan itu. Sashi tersenyum sinis lalu keluar dari kamar rawat inap sang suami. Bukan karena cemburu, Sashi malas mendengar ocehan sang suami. Kadang kala, ada pentingnya sebagai istri memberikan pelajaran bagi suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD