Transaksi.

993 Words
Lana seolah ditembus lesatan peluru yang melubangi otaknya. Karena, apa-apaan pertanyaan barusan itu— "Kamu nggak salah dengar. Saya perlu tahu sebelum kita lebih jauh." Lana meremati ujung kuku, bimbang untuk menjawab. "Ya." "Ya apa?" "I am a virgin." Lana menghembuskan napas. "Saya baru di hal-hal seperti ini. Kalau bukan karena kegagalan proker BEM, saya mustahil berani mengiyakan tawaran anda." Althaf melihat keteguhan gadis itu dalam bertutur. "Tapi itu sudah resiko yang siap saya tanggung. Dan untuk malam ini, saya akan berusaha mengikuti instruksi anda sepenuhnya." Mata mereka bertemu. Ketakutan di mata Lana bergulir menjadi kepasrahan. Mendengar itu, Althaf bangkit mendekat. Tubuhnya berhenti di hadapan gadis itu. "Tetapi, seandainya saya lakukan ini," jemari Althaf mengangkat ujung dagu Lana. "Bagaimana perasaan kamu?" Tubuh Lana hampir terjengat, ia beringsut tanpa sadar. "M-maaf." cepat-cepat dia berucap. Saya cuma refleks, maafkan saya, katanya. Lelaki berbahu kokoh itu berbalik, tersenyum karena reaksi lugu mahasiswanya. Althaf kembali usai merogoh amplop coklat dari tas kerja. Amplop itu cukup tebal dan disodorkan ke depan muka Lana sambil berucap, "Lima belas juta, cash." … "Take it!" kembali ia menegaskan. Namun tak kunjung mendapat respon. "Saya tahu kamu membutuhkan ini." Ketegangan menguap begitu Lana melihat amplop itu. Ia menatap Althaf, kemudian melihat amplop itu, kemudian menatap Althaf lagi untuk memastikan. "Terimakasih. Tapi, saya harus melakukan apa malam ini?" ia meraih amplop tebal itu. "Tidak ada." Lana mengerjapkan mata, "Maaf?" "Saya tahu tingkat kesiapan kamu. Tidak perlu memaksa." tukas sang pria. "T-tapi—" "Berapa usia kamu?" Pertanyaan Althaf berbelok sangat cepat. Namun Lana segera menjawab, "Duapuluh." Duapuluh, hm? Sang pria manggut-manggut, ia membasahi bibir lalu tersenyum kecil. "Good. Karena saya tidak tidur dengan wanita di bawah duapuluh satu tahun." Statement itu meninggalkan keheningan sekejap. "Tapi…, mengapa?" "Kebanyakan dari mereka belum siap secara psikis." "Benarkah itu alasannya?" "Buktinya kamu tadi menghindar, kan?" Althaf menyerikan kecil. "Tapi kamu tidak perlu buru-buru melunasi uang itu—saya nggak nuntut. Tapi, kamu tetap harus membayar saya kembali." Ucapan Althaf segera diangguki. "Saya pasti segera melunasi, Pak. Saya akan bekerja setelah ini untuk membayar anda kembali." "Siapa bilang uang itu harus dikembalikan dalam bentuk uang?" Untuk kesekian kalinya Lana terperanjat. "Lalu?" Sang dosen tak segera menjawab. Ia justru mengulas senyum di bibirnya yang merekah itu. "Saya tunggu sampai kamu duapuluh satu." *** Tepat keesokannya, Lana melihat wajah-wajah asing saat tiba di markas BEM. Ada argumen tegang antara Brian dengan dua pria jangkung. Suara Brian—sang ketua, bahkan sampai meninggi pada mereka. "Saya nggak tahu di mana Annette. Kami lost contact beberapa hari, dia menghilang." ucapnya. "Kami sendiri gagal nyari Annette, bahkan orangtuanya juga nggak tahu." Lana yang curi-curi dengar langsung paham—para pria itu datang dari pinjol. Meski kenyataannya benar Annette menghilang, mereka menolak percaya. Annette memang kabur usai konser itu, dan rupanya ia menuliskan nama Brian sebagai penjaminnya. Sang ketua menghela napas dengan geram, lelah dengan segala teror mereka. Kami tunggu itikad baiknya, si pria jangkung pergi usai memberi peringatan. "Kok mereka bisa masuk, sih? Nggak diperiksa security kampus?" Lana menyeletuk. Brian mengangkat bahunya kesal. "Nggak tahu gue. Preman sialan." Lana memijit pangkal hidungnya pelan. Kemudian masuk ke sekre BEM alias markas keperluan organisasi. Brian mengeluarkan vapornya dari dalam saku, tanpa segan mengembuskan asap berbau manis itu ke penjuru ruangan. "Nih," sebuah amplop tersodor dari tangan Lana. Brian menatap dengan ekspresi, apa ini? "Buat lunasin pinjol lah, apalagi?" Dibukalah amplop itu olehnya, menghitung perlahan dengan alis yang tiba-tiba menukik. "Banyak banget?" Lana tahu, ia sendiri terkejut saat nominalnya melebihi ekspektasi. Althaf memberikan beberapa juta tambahan di luar kesepakatan mereka. "Bagus, dong?" Brian menatap Lana sekilas, tak curiga meski gadis itu menyembunyikan grogi. "Iya sih, thanks, ya. Tapi masalahnya bukan itu alasan gue minta lo kesini." Terus apa? "Ada beberapa orang dari sewa panggung sama sound yang belum dibayar." "Maksud lo?" suara Lana meninggi. "Annette belum lunasin semuanya?" Brian mengangguk dengan muka kecut. "Kalau kita kalkulasi lagi, sebenernya masih kurang iuran segini. Ada beberapa panitia kabur, jadi kita yang harus tanggung. Belum lagi bunga pinjamannya makin naik." Lana mengusap rambutnya yang terurai. Gurat-gurat kelelahan mulai tampak. "Gue minta pendapat lo sebagai sekretaris gue, karena wakil gue sendiripun udah kabur entah kemana." Posisi Lana dalam BEM memang krusial. Brian lebih sering berdiskusi dengannya dalam banyak hal. Karena Jonas—sang wakil ketua telah lepas tanggungjawab. Brian kesulitan menahkodai organisasi ini sendirian. "Ada solusi?" Masa' gue mau minjem pak Althaf lagi? Batin Lana bermonolog. Ia memandang lelaki di depannya sambil menggeleng ragu. "Mau nggak mau, kita harus minta tolong kampus. Bikin permohonan dana." "Gue pasti udah ngajuin dari kemarin kalau Pak Dekan nggak mencak-mencak. Tahu sendiri beliau gimana." "Coba minta pembina kita buat ngomong ke beliau." "Maksudnya Bu Pramesti? Ck, meskipun jabatannya pembina, tapi Bu Pram nggak bisa diandelin. Buktinya waktu konser ricuh kemarin, dia malah pulang." Lana tak langsung surut semangat. "Kalo lo pesimis, mending cari g***n aja sono. Banyak tuh g***n yang doyan cowok." Amit-amit, Brian bergidik ngeri. Daripada mati dikejar deadline pembayaran, ia pilih mengikuti saran sekretarisnya. Keduanya bergegas ke rudos (ruang dosen) selepas kelas. Celingak-celinguk mencari sosok pembina BEM—Bu Pramesti, di ruang yang telah sepi itu. Namun, suara familiar yang justru menyapa mereka. "Cari siapa, Brian?" itu suara Althaf. Tengah duduk di balik meja. "Pak Althaf? Mohon maaf, kami sedang mencari Bu Pram." Brian melangkah masuk. "Beliau sedang tidak di tempat?" "Beliau lagi nguji sidang skripsi. Ada perlu sesuatu?" Althaf menatap mahasiswanya, sesekali melirik Lana. "Oh. Sebetulnya, kami ingin berdiskusi dengan beliau, Pak." "Tentang?" "Tentang permohonan dana." Alis kiri sang dosen terangkat. Jemarinya melorotkan kacamata dari batang hidung. "Kami ingin mengajukan permohonan dana agar kampus membantu kami, pak." "Kalian ingin kampus melunasi hutang kalian?" Dua mahasiswa itu terkesiap. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan mereka. Namun, Lana cepat-cepat menimpali, "Tidak sepenuhnya, pak. Kami ada kesalahan dalam kalkulasi, jadi mustahil kalau hanya mengandalkan iuran." Althaf menutup layar notebook. Kemudian mengangkat pandangan pada wajah gusar gadis itu. Bibirnya melengkung membentuk seringai puas. "Jadi…dana itu masih kurang, Lana?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD