Kunjungan Ayah.

1094 Words
Kening Brian mengernyit ketika Lana hanya diam. Ia memutuskan untuk masuk ke pembicaraan, "Betul, Pak. Kami sedang defisit kas. Tapi saya tahu, kampus tidak sekejam itu membiarkan kami menanggung ini sendirian." "Tapi kampus juga nggak minta kamu bikin event merugikan." tatapan Althaf bergeser ke Brian. "Tujuan konser kamu apa sebenarnya, branding dan promosi kampus, kan? Apa sekedar gegayaan buat BEM aja?" Dua mahasiswa itu tak menjawab. Muka mereka memerah. "Sekarang gini," lanjut Althaf. "Berhubung Bu Pram masih sibuk, saya yang akan bantu kalian." Mata Brian berbinar, begitupun Lana yang tampak hampir tak percaya. "Saya akan bantu bicara dengan Dekan. Siapkan surat permohonannya, jangan lupa izin ke Bu Pramesti." Kebahagiaan merekah dari wajah pucat dua mahasiswa itu. Ucapan Althaf ibarat aliran air sejuk ke tubuh yang letih. Brian langsung menjabat tangan Althaf, yang disambut kekehan hangat sang dosen. Lana masih membatu. Meski iapun berterimakasih, tak ayal ada sejumput kegelisahan di matanya. "Berhubung Pak Dekan lusa harus ke luar kota, waktu kita tinggal besok." "Untuk surat akan segera kami susun, Pak. Tidak makan waktu lama." ucap Brian lalu menoleh ke Lana. "Lo bawa macbook, kan?" Dijawab anggukan kecil dari sekretarisnya. "Oh, kalau gitu susun di sini saja. Sekalian saya pantau," tukas Althaf sambil menggeser beberapa buku di mejanya. Ia menyisakan space bagi Lana untuk bekerja. Dengan gesit, gadis itu membuka folder persuratan di macbook-nya selepas duduk. Ia berusaha fokus kendati ada Althaf di depannya. Jemarinya mulai mengetik, mengisi nomor surat, perihal, dan segala t***k bengek. Lana tahu pikiran pria itu melayang ke pertemuan mereka semalam. Karena tak menampik, ia mengingat hal yang sama. Ada gelenyar aneh saat dirinya tengah ditatap. Meski matanya fokus ke layar—namun tatapan Althaf ibarat laser yang mengelupas kulitnya. "Oh, oke, segera." Brian berbisik ke ponselnya. "Kenapa, Bri?" Lana menoleh. Perasaannya mulai gelisah saat lelaki itu mengernyit masam. "Itu…Gue musti ke sekretariat." Nah, kan. "Pak Althaf, mohon maaf saya izin harus geser dulu." Brian bersiap pergi. Althaf mengatakan silakan dengan senyum singkat. Sementara Lana sudah mengumpat-ngumpat dalam hati karena ditinggal begitu saja. Kini hanya mereka berdua, seorang asdos di ujung ruangan, serta keheningan yang mengendapi ruang dosen. Sialan. "Udah sampai mana?" ucap Althaf sambil bangkit memutar. Timbul waspada ketika pria itu berdiri di belakangnya. Tangan kiri Althaf menumpu ke meja. "Ada kendala?" Suara pria itu menggema tepat di telinganya. Jika Lana berani mendongak sedikit saja—maka wajah mereka akan bertemu. "Mm, ini, masih… itu, pak—" otak Lana seperti mengalami malfungsi. "Narasi di paragraf kedua coba kamu persingkat. Kurang efektif." serobot Althaf sambil menunjuk ke layar. "Juga tanggalnya belum kamu ganti." Samar-samar terdengar deru napas Althaf yang begitu dekat. Lana mengusap dahinya, "Lana?" "Iya, pak?" kepala gadis itu tak sengaja mendongak. Tatapan mereka bertemu. Althaf mengamati wajah mungil di bawahnya beberapa saat. Ia melihat jemari gadis itu bergetar kecil. Senyumnya tertahan saat sang mahasiswi buru-buru menunduk. "Revisi yang ini," Althaf menggeser jarinya di atas trackpad. Mengeblok satu paragraf. Bukannya merevisi, Lana justru menoleh ke asdos yang berkutat di pojok ruangan. Takut-takut interaksinya diketahui orang itu. Aman, monolog hatinya. "Paham?" "Mengerti, Pak." tukas Lana usai tak satupun kalimat Althaf yang ia dengar. Sisi tubuhnya kini terkepung lengan si pria. Beberapa dosen masih menikmati istirahat, sebagian ada yang menguji sidang, si asdos di sudut ruanganpun telah menghilang—kini tak ada lagi penghuni ruang itu selain mereka. Lana tak paham mengapa rudos selalu sepi tiap ia menyambangi Althaf. Ia kikuk meski tubuhnya tenang. "Bu Pram mungkin kembali setelah makan siang. Sekarang kamu cetak dulu suratnya." Lana mengucap terimakasih. Gesekan kulit mereka membekas di lengannya. Diamatinya Althaf kembali ke balik meja, menekan keyboard seperti menekan tuts piano dengan lentur. Tiba-tiba Lana sadar jam makan siang makin surut. Ia telah menyita waktu pria itu. "Mohon maaf kalau saya menginterupsi waktu istirahat Bapak." "Bukan masalah." ... Lana makin merasa bersalah. "Apa perlu saya bantu sesuatu?" Ia tak tahu mengapa kalimat itu tercetus. "Tidak perlu." Althaf tersenyum singkat. "Tapi, saya akan tambahkan ini ke jumlah hutang kamu." Tengkuk Lana terasa dingin. Hatinya berdesir seusai menangkap maksud kalimat itu. "Maksud anda—" "Iya. There's no free lunch in this world, Lana." Tak ada respon. Diam-diam Althaf menikmati ekspresi mahasiswinya yang pucat kembali. Ia tergelak rendah. "Cuma lelucon. Nggak perlu dibawa serius." Althaf bergumam usai Lana pamit pergi. Tapi, seandainya seriuspun, saya tidak akan menolak. *** "Maafkan saya, pa." Di depan meja putih, Lana duduk bersimpuh sambil meremat pahanya. Gadis itu menunduk dengan kaki kesemutan. Terhitung sejak sepuluh menit lalu ia berlutut di depan papanya untuk meminta maaf. "Papa dapet apa abis maafin kamu?" Aryo membolak-balik dokumen sembari sesekali mengisap cerutu. Di sampingnya ada Bara—lelaki muda yang mengasisteninya. "Apapun. Apapun yang papa mau." "Termasuk menikah?" Skakmat. Lana benci menikah di usia muda. Ia tak mampu berkutik kalau soal perjodohan. Negosiasi antara ayah dan anak itu disaksikan Ratih, ibunda Lana yang berdiri di lantai dua. "Gimana, setuju?" "A-apapaun asal bukan itu, pap—" "Yaudah. Kalau kamu menolak, kamu boleh berkemas sekarang. Bilang mama kamu kalo papa nggak akan menyokong finansial kalian lagi." Lana menghembuskan napas kecewa. Ia mengutuk diri dan semua yang membuatnya terlahir di dunia ini. Membayangkan dirinya menikah dengan terpaksa, memiliki putra, lalu terjebak di pernikahan bisa membuatnya gila. Ia akan menderita sementara suaminya sibuk berselingkuh. Dia tak mau menjadi korban di kehidupan. Bukan, bukan itu yang Lana mau. "Kalau kamu nggak berguna buat papa, nggak usah ngaku jadi keluarga Nugroho." tukasnya sebelum bergerak ke pintu. "Kamu cuma anak simpanan ayah. Jangan sok jadi putri yang dimanja." Lana mengeratkan rahang. Sekuat mungkin tak meloloskan umpatan di depan pria itu. Meskipun Aryo Nugroho adalah ayahnya, namun hal itu hanya berlaku di atas kertas. Figurnya sebagai ayah telah lama hilang. Pria ini menomorsatukan harta dan sibuk meluaskan skala bisnisnya. Ia melakukan apapun agar hidup bermandikan uang. Prinsip Aryo adalah setiap benda berpotensi untuk diniagakan. Mereka punya nilai jual, sekalipun itu manusia. "Papa kasih waktu untuk berpikir. Lagipula kenapa menolak menikah? Kamu cuma perlu menurut dan hidup kamu akan sejahtera." Aryo sialan. Lana menyesal menyandang marga Nugroho di namanya. "Oh iya, papa udah ambil sertifikat rumah ini. Siap-siap angkat kaki kalau masih kekeuh menolak." pria itu menjinjing tas perlengkapan tenisnya. Bara mengikuti di belakang. "Menghamili ibu kamu adalah kesalahan besar. Camkan itu." Lana tenggelam dalam ucapan ayahnya. Menyaksikan sosok yang ia panggil papa melenggang tak acuh. Gadis ini tetap bersimpuh sampai pintu rumahnya tertutup. Disaksikan oleh Ratih yang masih membatu. Kaki-kakinya seolah tertusuk, ia menahan nyeri yang teramat tatkala berusaha berdiri. Lana mencubit pahanya untuk menahan air mata keluar. Namun sampai kulitnya membiru pun, ia tetap gagal. Tangisnya justru melaju berjatuhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD