Aku sudah di Bangka, tapi Raihan masih terasa seperti benalu. Dia itu, kenapa sok akrab dengan Mama? Cari muka? Percuma, itu belum cukup untuk buat aku bahagia, atau buatku bisa menerima pernikahan ini. Kulihat sosoknya muncul di balik pintu. Dia mendekat lalu berbaring di tempat tidurku, “Nikmatilah. Aku membawamu ke sini supaya kamu bisa lebih santai menikmati hidup.” Aku tidak menjawab, masih terasa berapi-api semangatku untuk marah kepadanya. “Ganti baju, baru temui Salwa. Lebih baik lagi kalau kamu makan lebih dulu, atau bisa juga makan bersamanya.” Dia iba-tiba saja baik. Sungguh, entah apa yang membuatnya berkata dengan kalimat lembut seperti itu. Aku ganti baju membelakanginya, dan saat akan beranjak dari kamar kusadari satu hal : Raihan tidur. Mungkin karena terlalu mengantuk

