Six Knights - 13

1194 Words
Padahal aku sudah terlanjur bahagia saat Kapten Martin bilang bahwa dia akan menerimaku sebagai penyihir resmi tanpa mengikuti berbagai tes yang lainnya dalam rangka permohonan maafnya padaku mengenai sikap buruk Kapten Alvin dan Kapten Nino, tapi sayangnya Kapten Samuel mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap pendapat Kapten Martin agar jangan meloloskanku begitu saja. Dan pada akhirnya, kegembiraanku lenyap dengan sangat cepat. "Mengapa kau tidak setuju, Samuel?" tanya Kapten Martin, dengan mengangkat kaca matanya yang sedikit ke bawah. "Anu... Aku rasa, itu tidak adil jika kita menerimanya begitu saja hanya karena sebuah keributan semata, sedangkan para pendaftar lainnya harus berusaha setengah mati untuk bisa diterima sebagai penyihir resmi. Anu... Kalian pasti tahu, kan? Kalau aku ini... Membenci hal-hal yang tidak adil." Jawaban dari Kapten Samuel, si kesatria pelupa itu langsung membuat seisi ruangan jadi sunyi seketika, hingga akhirnya Kapten Martin kembali meresponnya. "Tapi, ini tidak ada kaitannya dengan adil dan tidak adil! Kita sudah melakukan hal yang memalukan dan juga melukai hati Biola Margareth! Bagiku, bertanggung jawab atas kesalahan yang kita perbuat merupakan keadilan itu sendiri!" Dan balasan dari Kapten Martin pun cukup membuatku terkagum dalam diam, sementara para kesatria lainnya, terutama Samuel, hanya bisa mematung mendengarnya. Aku sebenarnya tidak masalah jika mereka menolak untuk meloloskanku dengan mudah, karena aku pikir, itu memang terdengar tidak adil, tapi, mendengar apa yang Kapten Martin katakan barusan, telah membuatku berubah pikiran. "Hey! Samuel!" Kapten Paul Crowder, kesatria berkulit gelap itu memanggil nama rekannya yang sedang terdiam. "Aku tidak mengerti mengapa kau bisa-bisanya tidak setuju pada yang dilakukan Martin!? Tapi menurutku, kau telah salah paham!" "Hah... Apa itu benar? Aku... Salah paham?" tanya Kapten Samuel dengan meremas wadah plastik keripik kentangnya yang sudah habis. "Ma-Maaf! Bolehkah aku berbicara??" Karena jengah dengan segala pertikaian yang terjadi diantara para kesatria di hadapanku, aku mencoba berinisiatif untuk bersuara agar perhatian mereka bisa kembali tertuju padaku, jujur saja, aku tidak tidak suka momen ketika para kesatria yang kuidolakan, bertengkar. "Mau apa lagi, kau?" tanya Kapten Alvin, kesatria pirang yang jahat itu, dengan mata yang mendelik padaku, disertai raut muka jengkel. "Begini... Aku tidak masalah jika aku ditertawakan oleh Kapten Alvin atau kapten-kapten lainnya, karena aku tidak terlalu mempedulikannya, tapi, aku sedih jika kalian, para kapten, bertengkar, jadi kumohon, bisakah kita lupakan yang barusan terjadi dan kembali ke sesi pertanyaan?" Mendengar apa yang kuucapkan, sontak, membuat mereka berenam terkejut, terutama Kapten Alvin yang sepertinya kesal mendengarku bicara begitu, sementara kapten-kapten lainnya, secara serentak, menganggukkan kepala mereka. Menandakkan kalau mereka setuju pada ucapanku untuk melupakan apa yang terjadi barusan dan kembali ke dalam sesi pertanyaan yang tertunda. "Ap-Apa maksudnya itu!? Ke-Kenapa kalian seenaknya menganggukkan kepala tanpa bilang apa pun padaku!?" pekik Kapten Alvin yang tersentak melihat rekan-rekannya mengangguk secara bersamaan kepadaku. "Bukankah sudah jelas, Alvin?" Kini, yang merespon pertanyaan kaget dari Kapten Alvin adalah sang kesatria yang paling kukagumi, yaitu Kapten Mark Corona, si rambut merah. "Kita akan melanjutkan pertanyaan yang tertunda dengan melupakan kejadian memalukan yang telah kau buat." Sungguh, wajah Kapten Alvin setelah mendengar perkataan dari Kapten Mark langsung memucat, matanya melotot saking kagetnya, dan bibirnya tertutup rapat dengan giginya bergeremetak kesal. Lalu, Kapten Mark melanjutkan, "Kalau begitu, kita lanjut ke pertanyaan yang kedua, mungkin ini akan terdengar sedikit kasar, tapi siapkah kau mendengarnya, Biola Margareth?" Meneguk ludah dengan gugup, aku segera menjawab secara lantang, "Siap, Kapten!" Mark Corona tersenyum kemudian mulai kembali bersuara, "Mengingat jawabanmu pada pertanyaan pertama, aku merasakan adanya aroma kebohongan yang terpaksa di dalam suaramu waktu itu, jadi, pertanyaanku sekarang adalah, apakah kau benar-benar telah berbohong saat menjawab pertanyaanku yang pertama? Jika itu benar, apa alasannya kau membohongi kami?" Ya Tuhan! Pertanyaan kali ini terdengar tidak ramah untukku, karena bagiku, itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan tudingan! Aku harus tenang saat menjawabnya, agar aroma kebohonganku tidak terbongkar lagi, tapi, ya ampun! Aku tidak tahu kalau Kapten Mark bisa melacak sebuah kebohongan di dalam suara manusia, bukankah dia penyihir tipe api? Mengapa dia bisa melakukan itu? Atau jangan-jangan, dia juga bisa menggunakan sihir-sihir kecil seperti itu? Bodohnya aku yang telah meremehkan kekuatan seorang kesatria sihir! Tentu saja, bagi seorang kesatria sihir, untuk menebak sebuah kebohongan pasti sangat mudah! Dan aku, dengan santainya berbohong pada mereka. Bodoh sekali aku ini. Aku berkeringat dingin karena pusing harus menjawab apa, apalagi semua mata enam kesatria itu kini sedang memperhatikanku dengan serius, mereka sepertinya penasaran pada hal ini. Apa aku jujur saja, ya? Soalnya keadaan saat ini telah mendesakku untuk berkata jujur! "Sebelumnya, aku minta maaf, sebenarnya, aku memang telah membohongi kalian. Aku mengatakan itu agar aku bisa menyembunyikan tempat asalku yang sesungguhnya, karena aku yakin kalian pasti akan kaget jika aku menjelaskannya, tapi, karena saat ini kebohonganku sudah diketahui oleh Kapten Mark, apa boleh buat... Sepertinya aku harus mengatakan yang sejujurnya." "Wow!? Tak kusangka kau telah berbohong pada kami, Biola!?" pekik Kapten Paul, si kesatria berkulit cokelat, dengan nada yang histeris. "Tapi pasti ada alasannya kan, kau berbohong pada kami!? Iya, kan!? Ayo jawab, Biola!?" "I-Iya! Ada alasan mengapa aku harus berbohong pada kalian, jadi, sebenarnya, aku ini bukan berasa dari dunia ini." Tiba-tiba suasana jadi sangat hening. "Anu... 'bukan berasal dari dunia ini' maksudnya apa, ya? Aku ... Tidak mengerti." tanya Kapten Samuel, dengan membuang wadah keripik kentangnya yang sudah habis dan mengambil kembali plastik keripik kentang yang baru, dan dia mengunyah makanan itu di mejanya dengan santai. "Seperti yang kubilang, aku ini bukan berasal dari dunia ini, melainkan berasal dari dunia lain. Lebih tepatnya, aku berasal dari dimensi yang berbeda dari kalian, di duniaku, tidak ada kekuatan sihir, sebagai gantinya, di sana banyak teknologi-teknologi canggih yang dapat digunakan seperti halnya sihir." "Emm... Jadi maksudnya, kau itu orang asing?" Kini, Kapten Nino, si kesatria berwajah imut bersuara, dengan alis mengkerut kebingungan. "Betul sekali, Kapten. Singkatnya, aku ini orang asing." "Pffftt!" Kapten Alvin Garavito, si kesatria berambut pirang, menahan tawanya yang tak tertahan, dia sepertinya ingin sekali tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penjelasanku, namun dia terpaksa menahannya karena khawatir terjadi keributan lagi seperti sebelumnya, jadi begitulah. Aku lumayan marah, sih, melihat ekspresi dari Kapten Alvin, tapi ya sudahlah, mungkin dia memang memiliki karakter seperti itu. "Dugaanku ternyata tepat juga, ya." Kapten Mark Corona, si kesatria berambut merah, menyunggingkan senyuman senang padaku. "Aku sering mendengar ada orang dari dunia lain yang masuk ke dalam dunia ini, tapi kupikir itu hanyalah rumor belaka, dan tak kusangka, akhirnya, aku sendiri lah yang bertemu dengan orang semacam itu. Cukup mengejutkan." Kemudian Kapten Martin, si kesatria rambut hijau yang berkaca mata, menimpali kata-kata Kapten Mark Corona dengan cepat, "Berdasarkan pasal yang terdapat di dalam 'Buku Pengaturan Dunia', ada sebuah ayat yang tertulis bahwa 'barang siapa yang bertemu dengan makhluk dari dunia lain, maka diwajibkan untuk membawa makhluk tersebut ke Pengadilan Dunia, jika seseorang melanggar hal itu, maka hukuman penjara seratus tahun akan menimpanya, serta hukuman cambukan badan lima puluh kali akan menjadi kegiatan rutinnya setiap pagi," Astaga, aku terkejut mendengarnya. "Begitulah kira-kira yang kuingat di dalam ayat tersebut, jadi, bagaimana? Apakah kita harus membawa Biola Margareth ke Pengadilan Dunia?" Pertanyaan Kapten Martin sontak membuat bibir Kapten Mark Corona melengkung membentuk senyuman, pikiran Kapten Paul Crowder menjadi kosong, mata Kapten Nino Palpatine jadi terpejam sesaat, kelopak mata Kapten Samuel Wilkes mengerjap beberapa kali dan Kapten Alvin Garavito semakin tak tahan ingin memuntahkan suara tawanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD