Six Knights - 12

1260 Words
Setelah mengetahui nama-nama para kesatria tampan yang duduk berjejer di belakang meja panjang di depanku, aku diperintahkan oleh Mark Corona, sang kesatria berambut merah, untuk mempersiapkan diri, karena aku akan diberikan berbagai pertanyaan seputar identitasku dari mereka, para kesatria. Entah apa yang akan mereka tanya, aku tidak peduli, karena bertemu dengan mereka saja, aku sudah bahagia sekali. Yah, walau ada beberapa dari mereka yang membuatku jengkel, tapi aku tidak memusingkannya, karena aku yakin, itu karena 'dia' belum mengenalku, mungkin kalau sudah mengenal diriku secara penuh, mungkin penilaiannya padaku akan berubah. Terutama untuk Alvin Garavito, sang kesatria berambut pirang, yang sepertinya dari pertama kali bertemu denganku, dia menunjukkan rasa ketidaksukaannya padaku secara terang-terangan, bahkan di hadapan kesatria-kesatria yang lain, tanpa rasa malu sedikit pun. "Baiklah, aku akan memberimu pertanyaan pertama, tentunya berdasarkan apa yang ada di kertas formulir pendaftaran yang kupegang ini," ucap Mark Corona, si kapten dari Lions Roar itu, yang memiliki wajah tegas dan dingin, ditambah dengan rambut merahnya yang terang, membuatku hampir tak fokus pada ucapannya karena terlalu memperhatikan penampilannya yang super keren. Nada Kapten Mark Corona ketika bersuara pun terdengar seperti seorang penguasa yang sangat berwibawa, benar-benar mengagumkan. Aku menelan salivaku dengan pelan dan menganggukkan kepala, menunjukkan bahwa aku siap untuk diberikan pertanyaan olehnya. "Silahkan, Kapten." "Dari mana asalmu, Biola Margareth?" Pertanyaan pertama yang kudengar dari Kapten Corona adalah tentang tempat asalku. Ini lumayan membingungkan, mengingat kalau sebenarnya diriku bukan penduduk asli dunia dongeng, terbersit di pikiranku untuk mengatakan kebohongan agar dapat melewati pertanyaan tersebut, tapi masalahnya, walau aku berbohong pun, bagaimana caranya? Maksudku, aku tidak bisa seenaknya menyebutkan kalau aku berasal dari kota A, sedangkan aku tidak tahu kalau di dunia ini mungkin saja keberadaan dari kota yang kusebutkan tidak pernah ada. Makanya, aku sekarang harus menyusun kata-kata yang tepat agar tidak mengucapkan sesuatu yang bisa mengundang keributan di ruangan ini, jujur saja, jika aku berkata jujur pada mereka bahwa aku berasal dari dunia yang berbeda, pasti mereka akan terkejut, dan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain dari mereka yang bisa membuatku pingsan. Kutarik napas dalam-dalam sampai diriku siap untuk menjawabnya. "Sebenarnya aku ini gadis rumahan, yang bahkan aku tidak tahu nama desa yang kutinggali," Mereka serentak menatapku dengan heran. "tapi yang kutahu, aku ini tinggal bersama sahabatku yang merupakan seorang penyihir liar, hanya itu saja, yang kuketahui." Seketika, tempat ini diselimuti oleh keheningan yang cukup lama hingga akhirnya, Alvin Garavito, kesatria berambut pirang, tertawa terbahak-bahak dari kursinya. "Hahahahaha! Lelucon apa lagi ini?" kata Alvin disela-sela tawanya. "Hahahaha! Aku yakin, dia itu termasuk orang yang langka di dunia ini, karena jujur saja! Hahaha! Aku baru pertama kali mendengar ada orang yang tidak tahu nama kampung halamannya sendiri!? Hahaha! Yang benar saja? Astaga! Hahaha!" Kapten Alvin terus-terusan menertawaiku seperti biasanya, karena jika soal saling ejek-mengejek, dialah juaranya. Aku menggigit bibir bawahku, kesal melihat Kapten Alvin Garavito menertawakanku, aku jadi malu pada kapten-kapten lain yang mendengar ejekannya si kesatria pirang tersebut padaku. "Berisik! b******n! Kau mengganggu ketenangan kami! Jika kau ingin tertawa bebas, pergi keluar sana! k*****t!" Dan seperti biasanya, Kapten Paul Crowder, si kesatria berkulit cokelat, membentak Alvin dengan suara yang nyaring dan dibumbui oleh kata-k********r, sementara pihak yang dibentaknya tidak mempedulikan omongannya dan terus tertawa. "Hahahaha! Ayolah, Paul! Kau juga harusnya tertawa mendengar penjelasan dari gadis itu? Hahaha! Mana ada, kan? Orang yang tak tahu nama kampung halamannya sendiri? Konyol sekali! Hahaha!" Tiba-tiba, saat suasana masih ribut seperti itu, Nino Palpatine, kesatria imut berambut biru, berdiri dari kursinya, dan menoleh pada Alvin yang sedang tertawa terbahak-bahak di bangkunya. "Hey, Alvin," ucap Nino Palpatine dengan nada yang cukup lembut, namun setelah kulihat ekspresi wajahnya, astaga, sangat mengerikan, sepertinya dia sedang dalam mode 'mengamuk'. "Selama ini aku selalu diam mendengarmu merendahkannya, menghinanya, menertawakannya, menghujatnya, merisaknya... tapi sekarang, sepertinya kau sudah tak bisa kutoleransi lagi. Kau sudah keterlaluan." Dan Nino mengangkat kedua tangannya lalu membentuk sesuatu seperti pistol dijemarinya dan mengarahkannya pada Alvin, merasa dirinya sedang diancam oleh seorang bocah pendek, kesatria berambut pirang itu ikut-ikutan berdiri, menghadap pada kapten imut tersebut dengan memasang senyuman iblis. "Woah, apa ini? Kau menantangku? Tapi, apa kau yakin? Maksudku, kau hanyalah seorang pemula di sini, dan kau berani juga, ya, mengancam seniormu dengan menunjukkan muka seperti itu, itu membuatku 'ketakutan', lho, Tuan Palpatine, Hehehehe." Alvin dan Nino saling bertatapan dalam api amarah yang bergejolak di dalam diri mereka. Astaga, bagaimana ini? Aku tidak tahu harus bagaimana! Aku tak menyangka kalau Kapten Nino bisa marah besar begitu pada Kapten Alvin, walau aku senang, sih, si pirang diancam oleh rekannya, tapi tetap saja, suasana di sini jadi lebih panas dari sebelumnya. "Woy!? Kalian membuat Biola ketakutan! Sudah hentikan, Nino! Urusan Alvin, itu bagianku! Kau lebih baik melamun saja seperti biasanya, oke!?" Paul Crowder ikut berdiri, berusaha melerai pertikaian yang terjadi antara Nino dengan Alvin, yang sepertinya jarang terjadi. "Cukup," suara Mark Corona, kesatria rambut merah, akhirnya terdengar setelah dia terlihat diam mengamati keadaan, matanya mengerling ke arah Alvin dan Nino yang masih sedang saling memandang dengan marah. "Jika kalian berdua memang ingin bertarung, maka kusarankan untuk melakukannya di luar ruangan, karena di sini, kami sedang sibuk mengurusi para pendaftar, itu pun jika kalian memang tak tahu malu pada gelar kalian sendiri yang merupakan seorang kesatria serta kapten squad." Ucapan dari Mark Corona benar-benar tegas dan tepat sasaran sekali! Kata-katanya bahkan membuatku tertegun. Setelah mendengar perintah dari Mark Corona, secara perlahan, Nino menurunkan kedua lengannya yang akan menembak Alvin dengan 'tangan pistolnya', sementara kesatria pirang yang suka menertawakanku hanya tersenyum tipis dan kembali duduk di kursinya, mengabaikan ekspresi Nino yang masih terlihat kesal. Pada akhirnya, mereka semua kembali duduk di kursinya masing-masing, berusaha melupakan kejadian memalukan barusan, dan aku sendiri yang hanya seorang pendaftar di sini, masih terkaget melihat pertengkaran tadi. Bayangkan saja! Mereka berdua hampir mau bertarung, beruntungnya Kapten Mark Corona berhasil menghentikkan mereka. Jika pertarungan itu terjadi, aku adalah orang pertama yang dapat menyaksikan pertarungan antar kesatria di kerajaan ini! Walau itu terdengar keren, tapi aku tidak mau itu terjadi! Dan entah kenapa, tiba-tiba saja, Martin Sweeney, kapten berambut hijau yang berkacamata, berdiri dari kursinya dan membungkukkan badannya padaku, sama seperti yang dia lakukan saat memohon maaf padaku mengenai tingkah si kesatria pelupa. "AKU SEBAGAI PERWAKILAN DARI REKAN-REKANKU! MEMOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA ATAS SIKAP KURANG AJAR ALVIN GARAVITO PADAMU, BIOLA MARGARETH! DAN JUGA SIKAP TAK SOPAN DARI NINO PALPATINE!" Seketika, kelima kesatria yang lain sama terkejutnya denganku melihat apa yang dilakukan Kapten Martin Sweeney padaku. Dia pasti akan seperti itu ketika teman-temannya melakukan kesalahan padaku, seolah-olah itu adalah tanggung jawabnya untuk memohon maaf padaku. "E-Eh? A-Anda tak perlu membungkuk seperti itu padaku, Kap-Kapten Martin!" "Tidak! Aku yakin, hatimu terluka melihat pertengkaran yang baru saja terjadi di depanmu, maafkan kami! Bahkan jika kau menginginkannya, kami bersedia langsung menerimamu sebagai penyihir resmi untuk menebus kesalahan kami!" Dan ucapan terakhir yang dikatakan Kapten Martin Sweeney membuatku menganga kaget, tak percaya mendengar sebuah kalimat yang dapat membuatku gembira tak tertahankan! Apa kalian juga mendengar apa yang dikatakan Kapten Martin barusan? Dia bilang! Sebagai permohonan maafnya padaku, mereka bersedia langsung menerimaku sebagai penyihir resmi! Tanpa melalui tes-tes sulit lainnya! Sontak saja, aku tersenyum senang mendengarnya, kemudian aku merespon, "Be-Benarkah? Aku sangat senang mendenga--" "Maaf," Seketika, ucapanku dipotong oleh Kapten Samuel Wilkes, si kesatria berambut ungu jabrik yang pelupa itu. "Tapi... Anu... Sepertinya... Aku tidak setuju." Mendengar perkataan Kapten Samuel langsung membuat kegembiraanku lenyap dalam sekejap, aku terkejut pada sanggahannya. Apa alasannya kesatria pelupa itu bisa keberatan pada apa yang dikatakan Kapten Martin!? Kira-kira apa yang dipikirkan oleh Kapten Samuel, si lelaki pelupa dan pemakan keripik kentang, itu? Hingga tidak setuju pada yang diucapkan Kapten Martin!? Ugh! Aku jadi kecewa sekali!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD