Aku menganga karena terkejut. Sepertinya yang lebih pantas mendapatkan gamparan di pagi hari adalah Indra, bukan aku.
“Lo kayaknya beneran gila deh,” ucapku pasrah.
Indra hanya diam menatapku.
“Oke. Makasih sebelumnya ya, Indra. Gue udah dengerin lo dan sorry banget. Gue nggak berniat untuk nikah. Apalagi sama stranger. Jadi sekarang tolong kembaliin HP gue.”
“Lo nolak ajakan nikah gue?”
Pertanyaan dari Indra itu membuatku jadi sedikit merinding.
“Iya. Gue pengen nikah karena cinta. Bukan kontrak-kontrakan gitu.”
Sejak tadi ekspresi Indra begitu-begitu saja dan baru kali ini aku lihat sudut bibirnya terangkat. Dia tersenyum tapi lebih terlihat seperti senyum sinis bagiku.
“Nikah pake cinta aja nggak cukup,” ujar Indra.
Lelaki itu akhirnya memberikan ponselku. Juga memberikan kartu nama.
“Lo bisa kontak gue kalo berubah pikiran.”
Lelaki itu kelihatannya percaya diri sekali.
Aku pun hanya memberikan senyuman. Aku ambil ponselku beserta kartu namanya.
“Oke. Thank you, Indra. Untuk pertolongan dan tawarannya. Oh iya biaya check in hotelnya juga makasih ya. Sekalian ya tolong bayarin minuman gue, Terima kasih.”
Tadinya aku ingin pakai uangku sendiri. Hanya saja aku berubah pikiran. Biar Indra saja yang bayar. Menolong kan tidak boleh tanggung-tanggung. Lagi pula lelaki itu sudah menawarkan kartunya tadi. Jadi ku anggap Indra memang bersedia membayarkan.
“Lo pulang naik apa emangnya?” tanya Indra kemudian.
“Naik ojol lah,” sahutku percaya diri.
Sayangnya begitu sadar ponselku lowbat, itu langsung menghempaskan kepercayaan diri setinggi langit yang baru beberapa detik lalu membuatku begitu angkuh dalam menjawab pertanyaan Indra.
Indra pun kemudian hanya mengangguk. Lelaki itu bangkit dari duduknya sambil menggendong tas. Aku kira dia akan menawarkan tumpangan atau menawarkan bantuan. Harusnya Indra tahu dong kalau ponselku lobwat?
Lelaki itu membayar tagihan ke kasir. Sementara aku, dengan rasa gengsi yang menjulang tinggi. Aku lebih memilih minta tolong pada resepsionis hotel untuk memesan ojek online.
***
Selesai mandi aku langsung menyalakan ponselku. Saat itu juga diriku berniat untuk langsung membuat utas tentang kelakuan Ilham dan Meri. Akan tetapi fokusku teralih karena rentetan pesan masuk dan informasi panggilan tidak terjawab dari Anjas. Juga ada beberapa pesan dari Ilham.
Melihat nama kontak ‘Sayangku’ itu rasanya ingin memekik marah.
Aku langsung saja menelpon Anjas, adikku tercinta. Dari rentetan pesannya sepertinya aku menelpon Anjas kemarin saat mabuk. Juga mengirimkan pesan tidak jelas yang membuat Anjas jadi khawatir.
Telepon itu langsung diangkat dengan cepat.
“Anjas!” pekikku.
Akan aku adukan kelakuan si Ilham ini.
“Anjas! Kamu harus tangkep orang karena udah mengganggu ketentraman rakyat Indonesia.”
Bahkan aku belum mendengar suara adikku itu tapi aku langsung to the point mengutarakan maksudku. Adikku itu tentara. Jadi siapa tahu kan Anjas bisa membantuku untuk memberi pelajaran pada Ilham. Rakyat Indonesia yang aku maksud adalah diriku.
“Mbak jangan ngomong sembarangan deh. Ada apa? Aku telponin dari semalem nggak bisa. Aku khawatir.”
“Ilham selingkuh! Selingkuh sama Meri tau. Tega banget mereka!”
Aku ingin menangis supaya sesi pelaporan kepada Anjas ini menjadi lebih dramatis. Sayangnya bahkan meski hatiku terasa sakit sekali pun, tidak ada air mata yang menetes. Mungkin air mataku tahu mana yang pantas ditangisi, jadi dia tidak mau keluar kalau pembahasan tentang Ilham.
“Tapi Mbak baik-baik aja kan?”
“Mana ada orang baik-baik aja setelah diselingkuhin, Anjas?”
“Soalnya semalem mbak kayak orang mabuk. Takutnya kenapa-napa gitu.”
“Aman,” ucapku berbohong.
Pertemuan dengan Indra itu biar jadi rahasiaku saja.
“Aku udah rekam mereka kemaren. Abis ini mau aku viralin biar tau rasa!”
“Mbak. Nggak perlu viralin gitu juga. Biarin aja.”
“Aduh Anjas ya ampun. Kamu tuh jangan polos jadi orang. Kemarin aku ngga ngapa-ngapain mereka. Harusnya minimal jambak rambut si Meri atau minimal tending burungnya si Ilham. Tapi nggak aku lakuin karena aku mau langsung diem-diem viralin aja. Biar tau rasa mereka.”
Hanya terdengar helaan napas dari Anjas.
“Mereka itu harus viral biar orang-orang tahu kelakuan j*****m mereka. Biar jadi pelajaran juga buat orang-orang tau.”
“Terserah Mbak Vira aja deh. Yang penting hati-hati jangan sampe kena UU ITE.”
***
Selesai bicara dengan Anjas, aku membuka pesan yang dikirim oleh Ilham. Si pecundang itu mengajakku bertemu untuk membahas hal yang serius. Aku jadi penasaran dia ingin bahas apa.
Sontak niatku untuk mengunggah thread dan video itu pun ku tunda. Aku ingin tahu dulu pembicaraan dengan Ilham nanti akan jadi seperti apa. Semakin menyebalkan dia nanti, maka akan semakin sadis aku buat thread tentangnya dengan Meri. Mungkin aku harus spill kelakuan mereka yang menyebalkan lainnya.
***
“Halo, Sayang.”
Ilham datang dan langsung merangkulku, juga mengecup pipiku. Rasanya menjijikkan dan ingin mendorongnya menjauh namun aku harus tetap jaga sikap dulu.
“Udah pesen?” tanyanya seraya duduk.
Matanya itu buta apa bagaimana? Jelas-jelas di atas mejaku ada minuman.
“Udah. To the point aja mau ngomong apa?” tanyaku.
Aku sepertinya tidak akan bisa menahan diri terlalu lama. Sekarang saja rasanya ingin segera menjambak rambut lelaki itu dan menamparnya.
“Aku pesen dulu ya.”
Ilham bangkit untuk memesan minuman. Sungguh aku benar-benar penasaran apa yang mau dia bicarakan sampai meminta agar kami bertemu di kafe ini.
Tidak lama kemudian Ilham duduk kembali. Ia membawa minumannya.
“Jadi mau ngomongin apa?” tanyaku berusaha bersikap manis.
Ilham nampak mengambil napas.
“Maaf, Vira. Aku mau kita putus.”
PUTUS?
Lelaki itu selingkuh dan mau minta putus? Beraninya si Ilham! Yang seharusnya minta putus itu aku, bukan dia.
“Kamu pasti sangat kaget. Tapi aku udah nggak bisa membohongi diri lagi. Aku sebenarnya nggak cinta sama kamu.”
Rasanya seperti mendengar gemuruh guntur dan petir bersambar di telingaku saat Ilham mengatakannya.
“Aku cintanya sama Meri.”
Tanganku langsung mengepal. Mendengar Ilham bicara seperti itu rasanya seperti mengoyak lukaku kemarin.
Kalau dia cintanya sama Meri, kenapa tidak pacaran dengan Meri saja dari awal!
“Aku minta maaf, Vira. Tapi aku bener-bener udah nggak bisa ngelanjutin hubungan kita.”
“Maksud kamu ngomong gitu apa ya? Kita pacaran empat tahun loh! Dan kamu bisa-bisanya bilang nggak cinta sama aku?”
Belum sempat Ilham bicara, aku langsung lebih dulu mengatakannya.
“Dan kamu selingkuh sama Meri!” pekikku. Sudah tidak bisa lagi menahan emosi.
“Baguslah kalau kamu tahu. Jadi aku nggak perlu repot menjelaskan.”
Mulutku menganga lebar. Masih tidak menyangka kalau lelaki di hadapanku ini adalah lelaki yang selama ini aku cintai. Lelaki yang aku banggakan. Lelaki yang bahkan selalu aku sebut dalam doa untuk menjadi masa depanku. Benar-benar menjijikkan!
Ilham dengan tidak tahu malunya bicara begitu.
“Yang jelas aku nggak bisa lagi menjalani hubungan ini sama kamu. Meri jauh lebih baik dari kamu, Vira.”
Lebih baik? Namanya pelakor dari mananya lebih baik?
Harga diriku seolah merosot ke bawah tanah karena ucapan itu. Rasanya benar-benar diinjak-injak.
“Dan juga soal pekerjaan kita.”
Ilham mengeluarkan amplop dan meletakkannya di atas meja. Aku mengangkat satu alis. Hampir lupa kalau aku, Meri, dan Ilham bekerja dalam sebuah agensi marketing.
“Aku dan Meri sudah memutuskan kalau kamu tidak bisa bekerja dalam tim lagi.”
Sedetik, dua detik. Aku kemudian tertawa. Menertawakan nasibku sendiri. Mungkin aku harus segera ikut lomba stand up comedy untuk menceritakan lelucon ini. Diselingkuhi, Ilham yang memutuskan hubungan, lalu dia memecatku dari pekerjaan.
Aku menghentikan tawa dan membuka amplop itu, isinya surat pemberitahuan.
“Uang pesangon akan segera ditransfer ke rekening kamu.”
Aku langsung meremas surat itu. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Padahal aku yang merintis agensi itu dan sekarang malah aku yang didepak keluar begitu saja.
Aku berdiri dari dudukku dan kemudian mendekat hanya untuk menamparnya. Seharusnya aku belajar teknik menampar dulu tadi sebelum kesini. Semoga saja tamparan ku itu sekeras tamparan istri sah tadi pagi di restoran hotel.
Selesai menampar Ilham, aku langsung mengangkat gelas minumanku. Isinya es cokelat. Seharusnya juga tadi aku pesan cokelat panas saja. Aku langsung menyiram itu pada Ilham. Dia langsung berdiri dari duduknya.
“Dasar cowok nggak tau malu,” ucapku kemudian melenggang pergi.
Begitu keluar dari kafe itu aku langsung mengeluarkan kartu nama Indra dari dalam tasku. Sambil melangkah, aku menyalin nomor yang tertera disana. Aku langsung menelponnya dan seraya menunggu telepon itu diangkat, aku menoleh ke belakang. Memastikan Ilham tidak mengikutiku.
Air mataku pun mulai menetes saat aku melangkah. Yang Ilham lakukan tadi benar-benar membuatku sakit hati.
Teleponku akhirnya diangkat.
“Halo.”
“Ini gue Vira,” ucapku sambil menyeka air mata yang keluar.
“Belum 1x24 jam. Udah berubah pikiran?”
Nada suara Indra terdengar datar tapi jelas dia sedang meledekku sekarang. Sepertinya dia tahu tujuanku menghubunginya untuk apa. Jadi dia bisa bicara begitu. Sangat percaya diri tapi untungnya memang yang Indra ucapkan benar. Aku berubah pikiran.
“Ayo nikah,” ajak Vira agresif.
“Lo udah posting soal Ilham Meri belum?”
“Belum. Habis ini.”
“Jangan diposting."
Keningku mengernyit.
“Jangan?” tanyaku bingung.
“Kalo lo mau nikah sama gue. Jangan posting apapun soal Ilham dan Meri. Itu syarat pertama.”