12. Merasa Cukup Bersalah

1054 Words
"Darah, Mimi. Hidung aku sakit banget," balas Reswara di tengah tangisnya. "Emangnya sakit banget?" tanya Bumi perhatian. Pemuda itu berjongkok dan melihat Reswara menangis membuatnya tidak tega. "Iya, sakit banget," sahut Reswara mengangguk. Kebiasaan tidak bisa mengikat tali sepatunya membuat Reswara menginjak tali sepatu yang lepas dan terjatuh. Ketika terjatuh, hidungnya terlebih dahulu yang mendarat. Jadi, pasti rasanya sangat sakit. "Mau aku antar ke UKS?" tawar bumi. "Iya, mau," sahut Reswara mengangguk. "Ya udah, ayo!" Bumi membantu Reswara berdiri dan memapahnya menuju ruang kesehatan. Baru beberapa langkah, Reswara kembali menginjak tali sepatu dan hampir terjatuh. Beruntung Bumi lekas menahannya. "Kau kenapa, sih, Res? Sakit?" tanya Bumi melihat Reswara yang terlihat lemah. "Bukan. Dari tadi aku injak tali sepatu aku," balas Reswara menunduk sambil menunjuk ke kakinya. "Ya ampun, Res. Orang kalo tali sepatu lepas itu buru-buru diiket. Bukannya diem aja dan malah lari-larian. Jadi jatoh 'kan kamu," sanggah Bumi tidak habis pikir. Ia pikir, mana ada orang seperti Reswara. Tali sepatu lepas, tetapi membiarkannya begitu saja dan justru malah berlarian. "Aku ngga bisa iket tali sepatu, Mimi. Kalaupun bisa, aku ngiketnya nggak bener. Jadi, kamu bantu aku iket yang kenceng biar nggak lepas lagi," ujar Reswara serius. "Astaga, Res. Kamu udah gede begini masa nggak bisa ngiket tali sepatu, sih. Kalo mau bohong yang masuk akal sedikit dong," sanggah Bumi tidak percaya. Reswara mengerucutkan bibirnya dengan wajah muram. "Ya udah, kalo kamu ngga percaya ngga usah." Gadis itu menghempaskan tangan Bumi yang semula ada di bahunya. Kemudian, ia melangkah maju meninggalkan pemuda itu. "Res tunggu!" kata Bumi sambil mengejar. "Apa?" ketus Reswara. "Ya udah, aku percaya. Sini aku bantu ikat!" balas Bumi. Sudut bibir Reswara naik sempurna. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik. Sedangkan Bumi langsung sigap dengan berjongkok dan membantu Reswara mengikat tali sepatunya. "Kalo kamu nggak bisa iket tali sepatu, kenapa beli sepatu tali?" tanya Bumi penasaran. "Aku bosen pake sepatu model klekepan. Dari SD, SMP, dan SMA aku pake sepatu klekepan terus." Reswara menghela nafas berat, "Makanya pas pindah ke sini aku beli sepatu tali," imbuhnya. "Oh gitu. Kamu mau aku ajarin cara iket tali sepatu yang mudah nggak?" tawar Bumi sambil menengadahkan kepalanya. "Mau, tapi hidung aku sakit banget, Mimi," sahut Reswara lesu. Bumi beranjak berdiri mensejajarkan dirinya di depan Reswara. "Ya udah, kita ke UKS dulu obatin luka kamu. Nanti kapan-kapan aku ajari kamu. Gimana?" "Oke, setuju," balas Reswara mengulas senyum. Di depan pintu, Mintaka berdiri sambil membawa kotak bekal Reswara. Pria itu semula ingin memakannya, tetapi ragu-ragu. Jadi, sejak tadi hanya menatapnya dan tidak lama kemudian memutuskan untuk mengembalikannya pada Reswara. Tepat setelah merapikan kotak bekal dan keluar. Ia melihat Bumi sedang mengikat tali sepatu Reswara dan mendengar percakapan mereka. Ia merasa cukup bersalah karena sebelumnya tidak percaya dengan ucapan Reswara tentang tidak bisa mengikat tali sepatu. Ia pikir gadis itu hanya membual dan sengaja ingin membuatnya mengikat tali sepatunya. Namun setelah mendengar pengakuan gadis itu pada Bumi, akhirnya ia percaya. "Tunggu!" cegah Mintaka. Reswara dan Bumi menoleh ke belakang. Mereka berdua mengerutkan keningnya melihat Mintaka yang berjalan mendekat. "Ini bekal kamu ketinggalan," kata pria itu sambil menyodorkan tote bag milik Reswara. "Bukan, bukan ketinggalan." Reswara mengayunkan tangannya sambil menggeleng cepat, "Itu bekal buat Pak Min," imbuhnya. "Maaf, tapi saya tidak bisa menerimanya," kata Mintaka menggoyangkan tangannya agar Reswara lekas meraih tote bag miliknya. Raut wajah Reswara langsung berubah muram. Ia benar-benar kecewa dengan Mintaka. Setidaknya jika tidak suka makan bersamanya, pria itu menerima makanan darinya. "Kalau Pak Min nggak mau, ya udah buang aja. Aku nggak pernah mengambil kembali apa pun yang udah aku kasih ke orang lain." Tanpa menghiraukan sodoran Mintaka, Reswara langsung berbalik dan melangkah pergi. Ia merasa tidak perlu ada di sana terlalu lama. "Sini biar buat saya saja, Pak." Bumi mengambil alih tote bag dari tangan Mintaka. Kemudian, ia berbalik dan melangkah ke depan. Baru beberapa langkah, pemuda itu berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sontak, Mintaka mengerutkan keningnya penasaran. "Oh iya, Pak Min. Jika Bapak tidak berencana untuk menerima perasaan Res. Maka, tetaplah bersikap seperti ini untuk seterusnya," kata Bumi dengan raut serius. "Maksud kamu?" tanya Mintaka tidak mengerti dengan maksud ucapan Bumi. "Saya yakin, Pak Min tahu maksud saya. Kalau begitu, saya permisi," pamit Bumi meninggalkan teka-teki bagi Mintaka. Bumi berbalik dan melanjutkan langkahnya. Kini, langkahnya begitu terburu-buru takut membuat Reswara menunggu terlalu lama. Namun seberapa jauh ia melangkah, ia tetap tidak melihat gadis itu di sana. "Apa Res udah masuk ke ruang kesehatan?" lirih Bumi bertanya-tanya. Pemuda itu semakin mempercepat langkahnya dan masuk ke ruang kesehatan. Sampai di sana, ia melihat Reswara sedang duduk di tepi ranjang dan sedang membersihkan darah di hidungnya menggunakan kapas. "Darah kamu udah kering, jadi ngga bisa dibersihin pake kapas kering," celetuk Bumi membuat Reswara menoleh. Pemuda itu lekas mengambil kapas dan membasahinya dengan air. Ia juga mengambil cotton bud dan membasahi ujungnya. Dengan telaten, ia membersihkan darah yang mengering di hidung Reswara. Baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Melihat perlakuan Bumi yang seperti itu membuat Reswara mengerutkan keningnya. Ia jadi mempertanyakan ucapan Ester sebelumnya. Bagaimana bisa pemuda perhatian seperti Bumi dibilang berandalan dan suka pembuat onar? "Apa benar Bumi anak berandalan?" tanya Reswara dalam hati. Ia menatap wajah pemuda itu lekat. Bumi sadar ketika Reswara memperhatikannya. Apalagi jarak keduanya hanya tersisa beberapa senti saja. "Kenapa? Kamu lagi nggak terpesona sama ketampanan wajah aku, 'kan? Kasihan Pak Min kalo kamu udah berpaling hati ke aku." "Jangan ngaco deh, Mi. Aku cuman nggak nyangka aja," sergah Reswara. "Nggak nyangka apa?" tanya Bumi penasaran. "Ester bilang kamu itu berandalan dan suka bikin ulah, tapi--" "Tapi apa?" potong Bumi. Melihat tatapan tajam Bumi membuat Reswara salah tingkah. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan canggung. "Jangan mikir yang nggak-nggak. Aku emang berandalan dan suka bikin ulah. Ingat itu," lanjut Bumi sambil melanjutkan aktivitasnya membersihkan darah kering di hidung Reswara. Reswara benar-benar tidak mengerti dengan apa yang baru saja Bumi katakan. Alih-alih menyangkal, pemuda itu justru memintanya agar tetap berpikir buruk tentangnya. "Apa udah selesai?" tanya Reswara. "Udah. Apa masih sakit?" Raut wajah Bumi masih terlihat khawatir. Sikap yang ditunjukkan terlihat seperti seorang pria yang perhatikan pada kekasihnya. "Udah nggak, kok. Tadi aku cuman kaget aja pas liat darah," jelas Reswara. "Kamu phobia darah?" tanya Bumi menebak. "Nggak, Mimi." Reswara menggeleng pelan dan tiba-tiba mendengar suara perut kerongkongan, "Kamu lapar?" tanyanya kemudian. "Iya. Jadi, apa aku boleh makan bekal kamu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD