11. Terpesona

1025 Words
Untuk sesaat keduanya hanyut dalam suasana. Mintaka menatap manik mata Reswara dan berganti menatap bagian wajah lain gadis itu. Begitu juga dengan Reswara yang terlihat sangat terpesona. Hampir saja air liurnya menetes jika tidak mendengar suara ketukan pintu. "Sial! Siapa, sih, yang berani mengganggu kesenanganku?" batin Reswara kesal. Namun, kekesalannya langsung musnah melihat Mintaka tetap pada posisi tanpa mempedulikan suara ketukan pintu itu. "Astaga! Apa Pak Min begitu terpesona dengan wajahku yang cantik dan imut ini?" Gadis itu kembali membatin dengan senang. Melihat keadaan itu, Reswara tidak lagi mempedulikan suara ketukan pintu. Ia sama sekali tidak memikirkan kemungkinan terburuk siapa yang mengetuk pintu. Ia justru kembali fokus menatap wajah tampan Mintaka tanpa mengedip-ngedipkan matanya. Sepersekian detik kemudian, pintu dibuka dari luar dengan tergesa. Mungkin karena sudah tidak sabar tidak mendapat respon apa pun dari dalam. "Apa yang kalian lakukan?" tanya seseorang dengan nada dingin. Mendengar suara itu, sontak Mintaka melepaskan tangannya dan menoleh ke belakang. Reswara yang tidak siap langsung jatuh terjerambah di lantai secara mendadak. Gadis itu terlihat memekik kesakitan. "Aww! Pak Min, kenapa nggak bilang kalo mau lepas tangan? 'Kan saya jadi jatuh begini," tanya Reswara mengeluh. Ia beranjak berdiri sambil menepuk-nepuk pinggulnya yang terasa sangat sakit. Mintaka sama sekali tidak menghiraukan keluhan Reswara. Ia menatap seseorang yang sebelumnya mengejutkannya. "Ada apa? Apa kamu membuat masalah lagi?" tanya Mintaka menuduh. "Saya mau ... Saya cuma mau--" Bumi terlihat sedang memikirkan alasan. Reswara baru sadar bahwa orang yang menghancurkan kebahagiaannya adalah Bumi. "Kamu mau ngapain ke sini, Mimi? Ngapain kamu tiba-tiba datang ke sini? Jangan bilang kalo kamu ngikutin aku sampe ke sini?" Gadis itu langsung memberondong pertanyaan dengan satu kali tarikan nafas. "Apaan, sih. Sotoy banget kamu. Emangnya apa untungnya buat aku ngikutin kamu?" elak Bumi. "Terus kalo bukan, apa? Kayaknya feeling aku bener kalo kamu udah ada hati sama aku," tanya Reswara menginterogasi. "Apa? Aku? Suka sama kamu? Yang bener aja." Bumi membelalakkan matanya terkejut "Cukup!" seru Mintaka kesal. Sontak, Reswara dan Bumi langsung terdiam, "Jadi, ada urusan apa kamu ke sini? Masalah apa lagi yang telah kamu perbuat?" tanya Mintaka sambil melipat kedua tangannya di depan. Setiap hari, pria itu sudah terlalu kenyang sampai kembung karena selalu berhadapan dengan Bumi si pembuat onar. Pemuda itu tidak pernah absen membuat masalah di sekolah. Entah itu terlambat, merokok di sekolah, merundung siswa lain, dan lain sebagainya. "Pak Min? Pak Min nggak nerima cinta Res, 'kan?" Alih-alih menjawab, Bumi justru balas melempar pertanyaan. Bahkan tatapan matanya seperti seorang detektif yang sedang menginterogasi tersangka. Bukan tanpa alasan Bumi bertanya seperti itu. Melihat keintiman Reswara dan Mintaka beberapa menit yang lalu membuat pemuda itu curiga. Namun, untuk apa ia bertanya seperti itu? Kenapa tidak menyelidikinya saja? "Apa maksudmu berkata seperti itu? Saya di sini sebagai guru dan Res sebagai murid. Bukan sepasang pria dan wanita yang bisa mengutarakan dan menerima cinta." Mintaka mengerutkan keningnya heran. Bagaimana mungkin Bumi bertanya seperti itu padanya? "Sudah tidak perlu didengarkan Pak Min. Lebih baik Pak Min makan siang dulu. Bukankah perut Pak Min sudah keroncongan?" ujar Reswara karena tadi ia mendengar suara perut yang keroncongan dari arah Mintaka ketika ia hampir terjatuh. Gadis itu duduk di sofa sambil menikmati nasi gulung. Ia sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Bumi di sana. Selain karena tujuannya hanya Mintaka, ia juga sudah malas karena Bumi tidak mau diajak kerjasama sebelumnya. "Waaah enak nih." Tatapan mata Bumi berbinar menatap makanan di meja. "Stop! Jangan macem-macem kamu, Mimi. Aku bawa makanan ini buat calon mempelai priaku. Jadi, lebih baik kamu keluar sekarang," seru Reswara mengingatkan. Gadis itu benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Bumi. Diajak bekerjasama tidak mau dan bersikap seolah tidak peduli, tetapi sekarang pemuda itu justru sok dekat. "Siapa yang kami sebut mempelai pria?" tanya Mintaka dingin. "Pak Min," jawab Reswara sambil tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya. "Res!" geram Mintaka. Bumi hendak mengulurkan tangannya,tetapi ketahuan Reswara. "Eh, eh, eh," kata gadis itu menyingkirkan tangan Bumi menjauh. "Aku lapar, Res dan aku juga belum makan siang," ujar Bumi memelas sambil mengusap perutnya. "Bodo amat aku nggak peduli. Emangnya kau siapa? Kenapa aku harus berbagi makanan sama kamu?" Reswara beralih menatap Mintaka yang tidak bergerak sejak tadi, "Ayo, Pak Min! Kenapa malah bengong di situ?" Reswara tidak bisa melihat suasana hati Mintaka sangat buruk. Melipat kedua tangannya di depan sambil mengeratkan giginya. Terlihat sedang menahan emosi agar tidak meluap. "Sabar, sabar. Aku harus sabar menghadapi mereka," batin Mintaka. "Mimi!" sentak Reswara melihat Bumi mengulurkan tangannya dan mengambil nasi gulung. Ia benar-benar memanfaatkan kesempatan di mana Reswara sedang fokus menatap Mintaka. "Enak, Res. Aku minta lagi, ya?" Dengan tidak tahu malunya Bumi kembali mengulurkan tangannya dan meraih nasi gulung lagi. "Mimi!" geram Reswara. Gadis itu beranjak berdiri dan Bumi pun lekas berbalik dan berlari ke arah pintu. Ia bisa melihat dengan jelas awan kemarahan muncul di wajah Reswara. "Sini kamu, Mi!" teriak Reswara berlari mengejar Bumi. Pemuda itu keluar diikuti oleh Reswara. Pada kesempatan kali ini, Mintaka langsung melangkah cepat dan mengunci pintu. Sejak tadi ia sudah berusaha menahan emosinya dan jika lebih lama lagi, ia tidak akan sanggup menahannya. Sementara di luar, Reswara berlari sekuat tenaga mengejar Bumi. Ia berusaha bangun pagi-pagi sekali dan membuat nasi gulung itu bersama Sati, tetapi bukan Mintaka yang memakannya melainkan Bumi. Jadi, ia tidak bisa membiarkan Bumi begitu saja dan harus memberinya pelajaran. Tiba-tiba, Bumi mendengar suara pekikan dan debuman orang terjatuh. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Reswara jatuh tersungkur. Ia lekas mendekat karena tidak tega. "Kamu baik-baik aja 'kan, Res?" tanya Bumi khawatir. "Gimana bisa aku baik-baik aja. Hidung aku sakit tau," balas Reswara ketus. Gadis itu menunduk dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan merapikan rambutnya ke belakang. "Darah. Hidung kamu berdarah, Res," kata Bumi terkejut. "Da-darah? Mana?" Reswara lekas menyentuh hidungnya yang terasa basah. Kemudian, ia langsung menatap jemarinya yang terdapat noda merah. Sontak, Reswara langsung menangis histeris. "Jangan nangis, Res. Entar dikira aku apa-apain kamu. Kalo masalah nasi gulung, aku minta maaf. Nanti aku ganti yang lebih enak deh," kata Bumi sambil celingukan ke sana kemari. Bumi berusaha membujuk agar gadis itu berhenti menangis. Ia tidak berpikir alasan Reswara menangis karena kesakitan, tetapi karena dua potong nasi gulung yang ia makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD