"Apakah Me Nik sudah menghubungi tukang yang akan memperbaiki rumahku?" celetuk Fay, di pagi hari, di sela-sela kesibukannya membantu Loisa untuk mempersiapkan sarapan pagi.
Loisa tidak langsung menanggapinya, melainkan justru menyerahkan dua gelas berisi jus jeruk pada sang keponakan. "Rencananya Me Nik baru akan melakukannya hari ini, Gek. Kenapa? Kau tidak buru-buru ingin pindah ke sana, 'kan?"
"Maunya sih begitu, Me Nik," sahut Fay sepintas lalu, sambil melewati Loisa yang tampak sedang asik mengeluarkan ayam bakar dari dalam oven. "Kan aku tidak enak kalo terlalu lama tinggal di sini, takutnya Fred sungkan lagi jika mau menginap di sini."
"Dia bukan orang seperti itu, Gek. Ada atau tidak ada kau di rumah ini, Bibi-lah yang sebenarnya tidak memperbolehkannya terlalu sering menginap di sini. Jadi kau tidak perlu mencemaskan Fred, mengerti?" satu piring besar berisi potongan daging ayam bakar—Loisa bawa ke arah meja makan, menyusul Fay yang tengah menata meja.
Dua piring kentang tumbuk telah siap beserta salad segar sebagai pelengkapnya. Di kanan kedua piring itu, Fay meletakkan kedua gelas jus jeruk yang baru saja dibawa oleh keponakannya itu beberapa saat yang lalu.
"Bukan begitu maksudku, Me Nik. Aku toh juga harus sadar diri." Sesaat kemudian Fay menjerit karena sang Bibi memukul lengannya. Membuat garpu yang sedang ia pegang jatuh terpental ke atas meja. "Me Nik! Sakit tahu," sungutnya sebal.
Bibir Loisa berkedut, kata-kata ocehan bahkan hampir terlepas dari bibirnya jika saja ia tidak melihat kelopak mata Fay yang tampak sedikit bengkak.
"Semalam kau pasti menangis lagi ya, Gek?" tudingnya sambil menunjuk ke mata sang keponakan.
"Apa sih?" Fay langsung menghindar dengan menundukkan wajahnya, demi menutupi bengkak pada kelopak matanya.
Semalam, yah semalam. Ia memang kembali menangis ketika ia sedang berada di toilet setelah buang air kecil dan membersihkan area intimnya. Entah mengapa, bagian tersebut masih juga terasa nyeri, berbeda dengan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa sakit berhubungan itu hanya dirasakan oleh wanita perawan ketika mereka kehilangan mahkotanya. Nyatanya, tidak begitu dengan dirinya. Sialnya lagi, ia sama sekali tidak ingat dengan adegan yang terjadi pada malam di mana kehormatannya telah sengaja diberikan pada seseorang dan ia sama sekali tidak bisa melawan orang tersebut.
Misalnya, sebesar apa lawan mainnya? Atau, seberapa kasar pria itu telah memperlakukan dirinya. Mungkin, hari ini ia bisa melihat pisik pria itu dengan mata kepalanya sendiri. Itu jika pria itu benar-benar menepati janjinya untuk menemuinya di sini, di Bali.
Akan tetapi, yang membuatnya kembali menangis semalam bukanlah karena rasa sakit pada area intimnya itu datang lagi. Melainkan karena mengingat bahwa rasa sakit itu ia dapatkan gara-gara ulah Rey. Gara-gara ia menurut saja dengan patuh di saat mantan suaminya itu tiba-tiba ingin membawanya ke pesta, padahal selama ini Rey tidak pernah ingin bepergian bersama dirinya.
"Gek?!" tegur Loisa. Membuat sang keponakan reflek mengangkat wajahnya. "Sudah berapa kali Me Nik katakan kalau kau tidak perlu ...."
"Aku tahu, Me Nik!" potong Fay cepat, kemudian menghela napas lelah setelahnya. Jika saja, Bibinya ini tahu kalau ia bukanlah menangisi Rey tetapi menangisi nasibnya yang malang selama tiga tahun ini, ia pasti akan kembali mendapatkan ceramah dari sang Bibi.
Baik, ia mengerti bahwa semua orang yang memiliki darah Bali, apalagi keturunan kasta Brahma—pantang mengeluarkan air mata dan terkenal sangat tangguh. Tapi ia juga, 'kan seorang manusia yang memiliki hati nurani? Yang bisa merasakan sakitnya jika dikhianati secara berlebihan?
Jadi maaf saja, ia bukan Wonder Woman seperti Bibinya. Ataupun Iron Man yang hatinya terbuat dari besi. "Ini baru dua hari, Me Nik. Kumohon Me Nik juga mau mengerti," bisik Fay lirih.
Loisa tercenung, kelopak matanya meredup seiring rasa sakit memenuhi hatinya, merasa jika dirinya telah gagal melindungi Fay seperti janjinya pada kakaknya dan juga saudara iparnya.
Loisa tahu, Fay bukanlah seorang wanita yang cengeng. Jadi jika keponakannya ini terus tenggelam dalam kesedihannya selama dua hari ini, itu artinya yang telah dilalui oleh Fay tidaklah ringan. Tiga tahun! Mungkin tidak terlalu terasa untuknya yang terbiasa hidup bebas tanpa mau dikekang oleh siapapun. Tapi tiga tahun untuk seorang wanita berusia 19 tahun hingga usianya 22 tahun—merupakan masa-masa untuk merasakan indahnya cinta pertama. Yang naasnya, pengalaman itu kemungkinan tidak didapatkan oleh keponakannya ini.
"Lebih baik kau menyibukkan dirimu, Gek. Dengan begitu kau tidak akan memiliki waktu untuk berpikir," pungkasnya, sambil menatap sang keponakan dengan mata sayu. "Hari ini Me Nik akan memanggil tukang untuk menghitung berapa biaya perbaikan dan apa saja yang harus dibeli untuk memperbaiki rumahmu." Loisa lalu merangkul lengan Fay, mengajak keponakannya untuk sarapan pagi bersamanya.
***
Jakarta pukul 9 pagi, kesibukan tampak di lantai tiga sebuah Perusahaan. Di salah satu ruangan, Rey terlihat sedang berbicara dengan Yuni.
"Apa hari ini Asisten Mr. Lucas sudah menghubungimu?" tanya pria itu pada sang kekasih plus sekretarisnya itu.
Yuni menggelengkan kepalanya, "Rey, aku pikir ada yang aneh tentang Mr. Lucas."
Rey mendongak, dari kursi kerjanya—menatap ke arah sang kekasih yang sedang berdiri di seberang mejanya. "Apa maksudmu? Apa kau pikir pria itu akan menolak proposal kita?" keningnya mengernyit, kedua ujung bibirnya sedikit meruncing seakan tidak senang atas pendapat Yuni tadi.
Dengan takut-takut, Yuni mengangguk, cemas jika Rey akan mempertanyakan tentang kinerjanya sebab ia-lah yang telah membuat proposal penawaran yang telah diajukan pada Lucas La Treimoille, ia juga yang sudah mengatur wanita mana untuk menyenangkan pria itu. Namun, sejak malam itu, Mariska yang telah diutus untuk melayani Lucas—sama sekali tidak bisa dihubungi. Setiap teleponnya selalu terhubung ke kotak suara.
"Aku bisa merasakannya, Rey. Kalau Mr. Lucas sepertinya tidak suka padaku ataupun padamu," celetuk Yuni mengemukakan pendapatnya.
Rey memutar kedua bola matanya dengan sebal, "Kecemasanmu itu terlalu berlebihan!" timpalnya.
"Tapi, Rey ...."
Rey mengangkat tangan untuk menginterupsi sang kekasih, "Sudahlah, sebaiknya kita membahas hal ini nanti saja. Di luar jam kantor. Dan jika Asisten Mr. Lucas belum menghubungimu, mungkin saja karena mereka masih memiliki kesibukan lain. Bukankah kau sudah tahu sendiri jika kedatangannya ke Jakarta awalnya tidak ada hubungannya dengan kita? Kita hanya beruntung pria itu mau meluangkan waktunya untuk berbicara dengan kita."
"Lalu bagaimana dengan Mariska?" Yuni reflek menggigit bibir, menyesalkan pertanyaannya yang terlanjur terlepas dari bibirnya itu.
"Ada apa dengan wanita itu?"
Inilah yang Yuni takutkan. Dan apabila ia sampai menceritakan pada kekasihnya kalau hingga saat ini Mariska belum bisa ia hubungi, maka bisa dipastikan kredibilitasnya akan hancur. Kelak, bahkan Rey bisa saja menyalahkannya jika kerjasama yang kekasihnya ini harapkan terjalin dengan Lucas La Treimoille, ternyata tidak berhasil.
"Tidak jadi, tadinya dia menghubungiku dan ingin berbicara dengan kita berdua. Tapi nanti akan kutemui sendiri saja." Yuni kemudian berpamitan pada sang kekasih untuk kembali melakukan pekerjaannya.
Baru saja ia menyentuh handle pintu ruangan Rey, kekasihnya itu tiba-tiba kembali berbicara padanya.
"Jika besok Asisten Mr. Lucas belum menghubungimu, cobalah untuk berinisiatif menghubunginya. Lakukan apapun untuk menyenangkan pria itu agar mereka bersedia bekerja sama dengan kita, oke?"
Tercekat, Yuni tanpa sadar mengangguk pelan, meskipun ia belum memiliki rencana lain untuk menarik perhatian Lucas La Treimoille. "Bagaimana ini?" bisiknya resah, seiring ia meninggalkan ruangan sang kekasih.