Part 5: Sahabat

1090 Words
"Mr. Bastard Blind Love" Author by Natalie Ernison ~ ~ ~ Universitas XXX Semenjak pemulihan hubungan pada sore hari itu, Jeremie kini sudah berani mendekati Bianca. Bianca pun memberikan respon yang cukup baik padanya. Keduanya kembali menjalin hubungan persahabatan yang erat, seperti sedia kala. Di sebuah perpustakaan kampus. "Sepertinya ini cukup sulit, Bie.." ucap Jeremie, Bie adalah panggilan kesayangannya pada Bianca. "Kau harus perhatikan apa yang menjadi pertanyaan ini, Jeremia." Bianca membantu Jeremie memperbaiki kepenulisannya. Keduanya terlihat begitu dekat dan hangat. "Jeremie, kau tahu, aku sudah kehilangan pekerjaanku.." ucap Bianca sembari mengerjakan tugas kuliah mereka. "Bagaimana mungkin? Apakah orang-orang iri hati itu menindasmu lagi?" "Bukan seperti itu, Jeremie. Tapi, seseorang yang tidak bertanggung jawab telah menubruk kendaraanku. Hal itu menyebabkan barang yang kubawa jatuh dan hancur..—" Bianca menceritakan detail kejadian yang sebenarnya. "Apakah masih ada manusia berhati iblis seperti itu, Bie? Sungguh sangat menyebalkan!" "Sudahlah, Jeremie. Semua sudah terjadi, bukan?" "Lalu apa yang kau lakukan saat ini?" "Aku terus latihan drama musical. Karena, jadwal tampil kami cukup padat. Dari hasil itulah yang membantu biaya hidupku bersama ayah." Jeremie terdiam, ia sangat kagum dengan gadis tangguh di hadapannya saat ini. selama ini, Jeremie juga bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan milik ayahnya. Ia tak pernah mengatakan yang sebenarnya pada Bianca. Ia tak ingin status sosial menjadi penghalangnya. "Bianca, apakah kau menikmati kehidupanmu?" Jeremie meletakkan wajahnya di atas tumpukan buku, sembari menatap layar laptop yang sedang Bianca operasikan. "Tentu saja, aku sangat bersyukur atas hidupku dan semua yang telah Tuhan anugerahkan. Walaupun terkadang, aku harus menangis sendiri dengan perjuanganku. Jika dipikir-pikir lagi, masih banyak orang-orang yang jauh lebih sulit dariku." Bianca mengatakannya dengan tabah. Kesulitan hidup seakan sudah menjadi bahan bakar didalam hidupnya untuk terus bersemangat. Senyuman tulus yang menghiasi wajahnya, mampu mengobati kesedihan sesaat. "Aku sanggat yakin, kau akan berhasil dalam segala usaha kerja kerasmu, Bie." Jeremie berdiri, lalu memijat-mijat bahu milik Bianca. "Jeremie, lakukanlah dengan baik!" Ucap Bianca dengan nada terkekeh, keduanya terlihat begitu menikmati waktu bersama, dan belajar bersama. "Bie, bolehkah aku hari ini ikut denganmu?" Jeremie mendekati wajahnya pada wajah Bianca. "Kau ingin ikut denganku kemana, Jeremie?" "Ikut melihat saat kau latihan. Aku sepertinya tertarik dengan drama musical." Jeremie menatap Bianca dengan wajah tersenyum. "Jeremie, kau anak bisnis tidak seharusnya memikirkan tentang acara pergelaranku." "Tetapi dalam hal ini kita bisa melihat peluang bisnis, Bie." "Dasar pembual!" Timpal Tifhani yang baru saja tiba. "Hei ibu dokter! Apa yang ibu dokter lakukan di tempat kami!" "Jeremie, kau sangat menyebalkan! Bukankah kita satu universitas." Tifhani merangkul Bianca. "Kalian berdua sama-sama pembual!" Timpal Bianca dengan nada terkekeh. "Tifhanilah yang mengajariku, Bie.." Jeremie menarik tangan Bianca. "Jeremie, kau bisa membuat tindakan memalukan.." tukas Tifhani. "Sudahlah, sudah saatnya aku pergi ke gedung seni." Bianca mengemasi barang-barang miliknya, dan hendak bergegas pergi. "Bie, aku ikut denganmu! Bye Tifhanu!" Ejek Jeremie, lalu pergi meninggalkan Tifhani. *** Gedung Kesenian XX Jeremie benar-benar ikut ke tempat Bianca berlatih. Ia duduk manis melihat pennampilan dari sahabatnya, dan mengabadikannya di sebuah kamera ponsel. Sesekali, Bianca memandang ke arah Jeremie dan melemparkan senyuman. Sejenak, Jeremie sempat terkesima dengan senyuman manis sahabatnya itu. Ia menggeleng, menyingkirkan perasaan yang lain, ia tidak ingin merusak persahabatan mereka dengan perasaan yang mengganggu. "Kau lelah?" Jeremie memberikan sebotol air mineral pada Bianca. "Terima kasih Jeremie." Bianca terlihat kelelahan, ia sangat bekerja keras untuk kesuksesan pergelaran seni. Keduanya pun melangkah keluar dari gedung seni tersebut. *** "Bie, aku ingin mengajakmu menyantap makanan di kedai bibi Djizi!" Ajak Jeremie, lalu menarik tangan milik Bianca untuk mengikutinya. "Pelanlah, Jeremie! Aku baru saja selesai berlatih, betisku terasa nyeri!" Keluh Bianca. "Oh, maafkan aku, Bie," sesal Jeremie. Hmm.. "Kau selalu saja seperti itu!" Bianca duduk di sisi jalan menatap orang-orang yang baru saja kembali dari pekerjaan mereka. "Hari ini, aku yang akan membayar." "Benarkah! Apakah pekerjaan paruh waktumu menghasilkan banyak uang?" "Yah, cukup untukku, Bie." Jeremie tidak ingin Bianca mengetahui latar belakang keluarganya, terlebih lagi mengenai Jourell. "Bie, aku boleh bertanya suatu hal padamu?" "Tentu," balas Bianca sembari melepaskan tas runsel miliknya. "Apakah pria yang pernah bertemu denganmu pada malam itu, masih mengganggumu?" Tanya Jeremie hati-hati. "Aku tidak tahu, Jeremie. Namun, aku pun tidak tahu siapa dan darimana pria itu." "Apakah kau masih marah pada pria itu?" "Jika dipikir-pikir, pria itu cukup gila dan aku sangat membenci pria seperti itu. Tetapi, beruntungnya kami tidak dipertemukan kembali." Mendengar jawaban dari Bianca, Jeremie menghela napas lega. Rupanya, Bianca tidak terlalu mempedulikan asal asul Jourell, saudara laki-laki dari Jeremie. "Bie, aku akan mengantarkanmu pulang." "Oh, baiklah jika tidak merepotkanmu." Keduanya pun beranjak setelah menikmati makan malam bersama. Jeremie mengantarkan Bianca kembali ke kediamannya. *** "Kediaman keluarga Sheraah Bianca" Jeremie membawa motor sport miliknya untuk membawa Bianca pulang. Setiba di kediaman keluarga Bianca, rumah terlihat sunyi. "Apakah ayah sedang pergi?" Bianca merogoh isi kantung celana miliknya, dan mencoba untuk memanggil ayahnya. "Apakah ayahmu sedang pergi?" Tanya Jeremie lalu duduk di kursi kayu, area teras rumah kediaman keluarga Bianca. "Yah, ayahku sedang pergi ke rumah pamanku. Malam ini aku sendiri lagi." Bianca pun membuka pintu, lalu mempersilakan Jeremie untuk masuk ke kediamannya. "Bie, kau tidak mengapa berada di rumah ini seorang diri?" Jeremie melangkah menuju ruang tengah, ruang keluarga yang terlihat cukup kecil. "Aku sudah terbiasa, Jeremie." Jawab Bianca sembari berbalik sejenak dengan wajah tersenyum. Jeremie terdiam melihat senyuman tulus dari Bianca. Bertahun-tahun menjalin hubungan persahabatan, sungguh waktu yang cukup lama untuk saling mengenal. Namun, Jeremie cukup tertutup untuk masalah keluarganya. Terlebih lagi, dengan status ibunya sebagai istri kedua dari ayahnya. Sehingga mengenai hubungannya bersama Jourell sebagai saudara, Bianca pun tidak mengetahuinya hingga saat ini. "Bie, jika suatu saat aku membuatmu kecewa, apakah kau akan tetap bersedia berteman denganku?" "Apa yang kau bicarakan Jeremie? Sepertinya, kau terlalu banyak menyaksikan drama." Balas Bianca dengan nada tertawa. "Yah, aku memang terlalu banyak menyaksikan drama, Bie.." Jeremie menggelitiki area pinggang Bianca. "Jeremie! Hentikan!" Bianca tertawa hingga terperosot ke lantai. Keduanya memang sering kali bercanda seperti ini. Kerap kali dianggap memiliki hubungan istimewa. "Bianca, maafkan aku.. untuk saat ini aku masih belum bisa berkata jujur padamu.." "Apa yang kau pikirkan, Jeremie?" Bianca mengejutkan Jeremie, saat ia baru saja selesai membersihkan diri. "Ah, tidak Bie. Aku akan segera kembali, kau jaga dirimu baik-baik." Jeremie beranjak dari tempat duduknya, hendak pulang kembali ke kediamannya. "Baiklah, sampai jumpa di kampus." Jeremie kembali ke mansion keluarganya, namun biasanya ia pergi ke kediaman milik bibinya yang cukup sederhana. "Bianca, kuharap kau tidak akan membenciku suatu saat nanti.." Jeremie mulai cemas dengan dirinya, dan hubungan persahabatan mereka ke depannya kelak. Ia tak tahu hal apa lagi yang akan segera terjadi pada mereka kelak. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD