bc

My Arrogant Bad Boy

book_age18+
5.2K
FOLLOW
25.4K
READ
possessive
sex
time-travel
playboy
arrogant
badboy
badgirl
royal
first love
crime
like
intro-logo
Blurb

William Smith. Siapa yang tidak mengenalnya, seorang Billionaire muda tampan dan berbakat, Di umurnya yang baru menginjak angka 24 tahun William sudah menjadi seorang CEO Smith Crop, perusahaan terbesar ke 2 di dunia

Semua orang mengenalnya, dan semua wanita menginginkannya di atas ranjang. Tapi tidak dengan Alana, pertemuan singkat yang bagaikan sebuah kutukan baginya, membuatnya harus mengenal pria arogan seperti William yang hanya bisa memanfaatkan kedudukannya untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Setiap kali Alana melihat wajahnya yang ingin Alana lakukan hanyalah memotong motong tubuh William lalu memasaknya dan memakannya sampai tak tersisa sedikitpun. Terdengar sadis tapi cukup menantang bagi seorang William Smith

Bila para wanita-wanita yang mengejarnya dapat menemuinya di club club ternama dan hotel hotel berbintang, berbeda dengan pertemuan Alana dan William yang tak di sengaja.

Tempat sampah adalah tempat dimana awal kisah mereka dimulai.

chap-preview
Free preview
Prolouge
New York, Amerika Serikat 08:00 AM Tok..tok..tok.. Suara ketukan pintu tidak membuat kedua pasangan itu menghentikan aktifitasnya di atas ranjang, seperti angin lalu kedua pasangan itu terus asik melakukan hubungan intim tanpa mempedulikan  ketukan pintu yang semakin membabi buta. Suara desahan dari dua pasangan yang sedang asik dengan kegiatannya itu memenuhi seluruh penjuru ruangan dengan penerangan yang sangat minim membuat ruangan itu terlihat sangat eksotis. Suara teriakan dan erangan terdengar tanda dari sang pria yang baru akan mencapai puncaknya, tapi sebelum berhasil menuntaskannya suara gebrakan pada pintu kamarnya membuat pria bermata safir itu menggeram kesal. Brak! Nafasnya memburu penuh amarah dan gairah yang muncul bersamaan sambil menahan emosinya pria itu memakai asal celana-nya lalu berjalan menuju pintu dengan tangan mengepal bersiap untuk mengeluarkan cacian dan serapan kepada orang yang sudah berani mengganggu kesenangannya. "APA YANG KA--" Plak! Satu tamparan mendarat tepat mengenai wajah tampannya, seorang wanita paruh baya yang kini berdiri tepat di hadapannya menatap tajam dirinya sebelum beralih menatap wanita yang sedang terduduk di samping ranjang sambil berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut. "Mom?" "Ikut ibu keruang kerja ayah mu William Smith!" Ucap Monica sambil menekan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, ia mendelik tajam menatap rendah kepada wanita yang baru saja di tiduri putra nya. Shit! "Sialan." Umpat Liam memegang kepalanya frustasi, ia yakin akan mendapat masalah besar setelah ini. Liam berjalan masuk kedalam kamar dengan muka datar menatap tajam kepada wanita yang baru ia temui beberapa jam lalu di sebuah club malam. "Apa yang kamu liat?!" Geram Liam saat melihat wanita yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu masih terduduk diam membeku di tepi ranjangnya. "Keluar!" Titahnya dengan nada rendah tapi mampu membuat siapapun bergidik  ngeri mendengarnya. "Ta—tapi," belum sempat wanita itu menyelesaikan ucapannya. Liam dengan cepat memegang erat tangan wanita tersebut membuat si pemilik tangan meringis kesakitan. "Apa kau tuli? Aku bilang keluar b***h!"  Liam menatap tajam perempuan di depannya sebelum melepaskan genggaman di tangannya dengan kasar. Liam memakai pakaiannya dengan asal lalu mengambil beberapa lembar uang di dompetnya yang tergeletak di atas meja. "Ambil ini dan pergilah!" Liam melemparkan beberapa lembar uang  tepat di depan muka wanita itu membuatnya terbelalak kaget. Tanpa memperdulikan wanita itu Liam berjalan keluar kamar menuju ruang kerja Ayahnya yang berada di lantai satu, di sana terlihat  Robert dan beberapa orang kepercayaan keluarga nya yang berjajar di depan pintu. "Selamat pagi Mr. William, tuan dan nyonya sudah menunggu mu di dalam," Ucap Robert yang hanya dianggap angin lalu oleh dirinya. Seperti biasa, Liam berjalan memasuki ruangan tersebut dengan wajah datar tanpa ekspresi sedikitpun. Kaki panjangnya membawanya sampai di hadapan orang tuanya yang kini sedang menatap tajam dirinya, suasana pada ruangan tersebut sangat berbeda dengan di luar. Aura dingin yang di keluarkan ayahnya dan tatapan tajam yang di berikan ibunya membuat Liam menghela nafas gusar. "Sudah ibu bilang berapa kali untuk tidak berbuat ulah, William! Kau sekarang bukan lagi anak kecil jadi bersikaplah layaknya orang dewasa." Monica menatap tajam putra keduanya sambil melempar sebuah majalah yang menampilkan fotonya bersama seorang wanita di salah satu hotel ternama. Liam mengerutkan dahinya saat membaca beberapa tertulis di sana 'Willian Smith berkencan bersama tiga wanita berbeda dalam satu hari' "Tiga wanita sehari?! Yang benar saja William!" Monica menatap tajam putra nya itu, dia pikir hidupnya itu di habiskan hanya untuk bermain-main dengan para wanita yang tak jelas asal usulnya apa? Monica sungguh merasa gagal menjadi seorang ibu, dia pikir William akan menjadi seorang pria yang bijak sama seperti saudara saudara-nya yang lain. Tapi ternyata tidak. William jauh berbeda dengan kedua putranya, dia benar benar mirip dengan ayahnya dulu. Seperti sebuah pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, maka begitulah sikap putranya sekarang liar dan tidak bisa di atur sama seperti ayahnya dulu. "Mom, itu hanya omong kosong!" Itu betul, apa yang ia katakan benar adanya karena berita semua berita yang ada di dalam majalah itu tidak benar sama sekali. Harusnya yang benar adalah 'Willian Smith berkencan bersama 5 wanita dalam sehari' jika hal itu yang tertulis di dalam majalah Liam bersumpah tidak akan membela dirinya sama sekali karena memang itulah kenyataannya. "Kau pikir ibu mu ini bodoh? Kau pikir ibu ini tidak bisa melihat berapa banyak wanita yang kau bawa ke rumah untuk kamu tiduri?! William kamu ini bukan lagi anak kecil yang masih tidak tau mana yang salah dan yang benar! Umurmu itu sudah 24 tahun tapi sikap mu masih seperti bocah lima tahun!" Seriously? Ibunya membandingkan dirinya dengan bocah umur lima tahun? Yang benar saja! "Mom, berhenti membandingkan ku dengan bocah ingusan, anak umur lima tahun tidak tau apa apa tentang hubungan s*x sedang aku? Hal itu sudah seperti kegiatan rutin yang akan aku lakukan setiap harinya!" Liam memutar bola matanya malas. "Liam!" Geram Monica marah. Liam mengangkat bahunya acuh tidak peduli dengan tatapan membunuh yang di berikan ibunya itu. "William!" Tegur Albert setelah sejak tadi hanya terdiam terdiam melihat tingkah putranya. "Ayah pikir kamu akan menyadari segala kesalahan mu dengan ber-iring nya waktu, tapi nyatanya tidak!" Albert menatap tajam putranya yang masih terdiam dengan wajah datar. "Dan hanya ada satu cara untuk membuat sikap mu berubah menjadi lebih baik William," Albert menggantung ucapannya membuat dahi Liam berkerut. "What?"  Tanyanya tanpa sadar. "Pelatihan!" ------ Boston, Amerika Serikat. 08:00 AM Kicauan burung di pagi hari menjadi alunan sempurna untuk mengawali pagi yang cerah, di tambah hembusan angin yang menerpa lembut rambut coklat seorang wanita yang sedang sibuk menata penampilan nya saat ini. Alana menatap pantulan dirinya di balik cermin, ia tersenyum puas melihat penampilan nya yang terlihat sempurna pagi ini. Kaos putih pendek dan celana jins hitam yang melekat di tubuhnya sudah lebih cukup untuknya, rambut coklatnya yang di biarkan ter-urai membuatnya terlihat lebih fresh. Setelah di rasa sudah cukup Alana berjalan dengan langkah ringan mengambil tas selempang miliknya dan memakai jaket biru kesukaan nya sambil berjalan keluar kamar, sepasang manik mata itu mengerut tak suka saat mendapati seorang wanita yang sedang asik memakan sarapannya dengan senyum lebar di wajahnya. "Good morning!" Sapa wanita dengan rambut pirang dan lesung pipi yang membuat wajahnya tampak lebih muda. Suara nyaring Janet yang menyapanya di pagi hari memang suatu hal yang sudah sering ia denger, begitu pun dengan pemandangan setiap pagi yang membuat nya mengerutkan dahi tidak suka karena keadaan dapurnya yang hancur seperti kapal pecah. Itu cukup untuk membuat senyum manis di wajahnya hilang menjadi segaris tipis tanpa ekspresi. "Janet!" Seru Alana dengan wajah kesal sedang kan yang menjadi tersangka utama kini makin melebarkan senyumnya sambil mengangkat tangannya membentuk huruf V. "Sudah berapa kali aku bilang jangan sentuh dapurku." Alana melempar tatapan tajam pada temannya itu. "Sorry, aku benar-benar lapar. Jika harus menunggu mu memasak aku akan mati kelaparan," Janet mengelus-elus perutnya dengan wajah mengejek. Alana memutar bola matanya malas lalu berjalan kearah meja makan ia mengambil beberapa lembar roti lalu mengoleskan selai coklat kesukaannya. "Masih ada roti, kenapa tidak makan dengan yang ada saja?" Alana mengangkat selembar roti yang baru ia oleskan dengan wajah tidak terima. Janet mengangkat bahunya acuh. "Kau tau kan aku lebih suka yang menantang," balas Janet dengan tatapan jahil andalan. Alana tersenyum kecil, ia menggeleng kan kepalanya tak habis pikir dengan dirinya sendiri yang bisa berteman dengan Janet walau banyak sekali perbedaan antara dirinya dengannya. Tapi bagaimana pun hanya Janet lah satu satunya orang yang sudah ia anggap keluarga sendiri, semua tingkah menyebalkan nya tidak akan membuat Alana membenci anak itu. "Mau ke cafe?" Tanya Janet sambil menatap penampilan Alana dari atas sampai bawah yang tampak terlalu rapih untuk sekedar bersantai di rumah. "Hmm," gumam Alana lalu meminum susunya sampai tak tersisa sedikit pun. "Kenapa? Apa ada masalah? Bukankah cafenya berjalan dengan baik," ucap Janet sambil menuangkan air kedalam gelasnya. "Tidak terjadi masalah apa-apa, aku hanya ingin datang sebentar untuk memeriksa pendapatan bulanan. Lagi pula aku bosan jika harus seharian di sini membereskan dapur ku yang tidak pernah bisa rapih," ucap Alana sambil melirik tajam Janet yang memasang wajah tanpa penyesalan. Janet mengangkat bahunya pasrah, mau di larang seperti apapun Alana akan tetap pergi ke sana padahal wanita itu kemarin baru saja sembuh setelah demam dua hari karena terlalu keras bekerja padahal masih ada orang lain yang bisa mengurus cafe itu tapi Alana tetap ingin mengurus semuanya sendiri. Di umurnya yang masih muda kadang Janet berfikir kenapa Alana tidak membangun sebuah restoran mewah di kota besar, Karena di lihat dari hasil kerja kerasnya yang membangun cafe kecil di tengah kota tampaknya berjalan dengan sangat baik. Tapi entah kenapa Alana selalu berkata bahwa ini saja sudah lebih cukup, padahal jika ia menjadi Alana ia akan membangun banyak restoran di kota kota besar dan hidup tenang di apartemen mewah dibandingkan harus mengurus cafe kecil yang mungkin keuntungan nya tidak sebesar itu. Tapi walaupun seperti itu ia tahu bahwa temannya itu memiliki alasan tersendiri untuk mengambil pilihan yang ia tentu kan, dan apapun pilihannya yang akan Alana ambil ia akan mendukung nya karena ia tahu Alana adalah wanita yang pintar dan berbakat. "Alana," panggil Janet membuat Alana berbalik menatapnya dengan pandangan bertanya. "Kita sudah berteman selama beberapa tahun terakhir ini, kau juga selalu terbuka kepada ku." Janet menatap tepat di manik mata Alana membuat wanita itu mengerutkan dahinya bingung. "So?" Alana mengangkat sebelah alisnya. "Tapi aku tidak pernah tau siapa kau sebenarnya, maksud ku tentang keluarga dan kehidupan mu, aku juga tidak pernah tau alasan mu kabur dari rumah satu setengah tahun lalu," ucap Janet dengan ragu. Sebenernya ia tidak ingin menanyakan hal ini karena jawaban Alana pasti akan sama seperti sebelumnya. "Mungkin lain kali Janet, aku sedang tidak ingin membahasnya," jawab Alana sambil bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan. Sudah ia duga pasti jawabannya seperti itu, entah apa yang anak itu sembunyikan darinya. Pertemuan nya dengan Alana satu setengah tahun lalu juga kadang masih masih menjadi tanda tanya tersendiri baginya. "Aku pergi," ucap Alana sebelum menghilangkan di balik pintu, tapi sebelum ia benar benar keluar Alana dapat mendengar teriakkan Janet dari dalam yang membuat nya tersenyum kecil. "Kau harus menceritakannya! Aku sudah menceritakan segalanya tentang diri ku, kau juga harus menceritakan nya Alana!" Alana menarik nafas dalam-dalam, ia menatap langit pagi yang tampak cerah. Inilah yang paling ia takutkan saat semua orang sudah mulai bertanya tanya tentang dirinya, Alana tau cepat atau lambat Janet atau bahkan orang orang terdekatnya akan bertanya tanya tentang kehidupannya atau bahkan mengetahui fakta sebenarnya. Dan saat hari itu tiba, Alana yakin ayahnya akan bisa menemukannya di sini dan saat itu terjadi ia harus mulai kembali ber-akting layaknya putri raja yang bahagia. Alana sangat membenci hal itu. Tapi sebelum itu semua terjadi, rasanya ia harus menghabiskan seluruh waktunya di Boston. karena ia yakin dirinya akan sangat merindukan kehidupannya yang bebas seperti saat ini karena memang ini lah yang ia inginkan sejak dulu. TO BE CONTINUED

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.1K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

TERNODA

read
198.4K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
29.9K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
44.9K
bc

My Secret Little Wife

read
131.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook