The third person

1635 Words
Malam yang mulai datang. Cahaya matahari kini tergantikan oleh cantiknya cahaya rembulan yang bergantung dilangit hitam. Dengan perasaan yang campur aduk, Ara menunggu Revano mengabarinya. Namun setelah berlalu satu jam, ponselnya masih saja sepi notif dari kekasih hatinya itu. “Apa aku datang ke rumahnya saja ya? Dia pasti kaget” Kata Ara sedikit cengengesan ketika membayangkan wajah terkejut kekasihnya akan kedatangannya yang tiba-tiba nanti. Ara tidak lagi berpikir dua kali, dia dengan cepat berganti pakaian dan bergegas menuju apartement milik Revano, kekasih hatinya. Dalam perjalanan, Ara terus-terusan terbawa suasana bahagia. Ada rasa tak sabar untuk segera menghampiri Revano. Sesekali Ara cengengesan ketika kembali membayangkan ekspresi terkejut yang akan Revano perlihatkan nantinya. Jarak yang tidak cukup jauh, membuat taxi yang ditumpangi Ara tidak memerlukan waktu yang lama untuk tiba di gedung dimana apartement Revano berada. Ara bergegas turun taxi dan menuju lift, dengan senyum dan rona wajah bahagia yang tidak lepas dari wajahnya. Semakin dekat jarak yang dia miliki dengan tempat tinggal Revano, semakin tidak sabar juga langkah kakinya ingin segera menghampiri. Hingga saat dia tiba, langkah yang sedari tadi terburu-buru terhenti seketika. Seorang perempuan dengan gaun warna merah maroon tengah berdiri di depan pintu apartemen Revano, sembari menatap wajahnya pada cermin yang dibawanya. Seperti tengah memperbaiki make-up atau mungkin penampilan sebelum akhirnya menekan bel dari pemilik apartemen. Ara mengerjapkan mata kecilnya, mencoba memastikan perempuan yang berdiri disana. Apa yang ditangkap pandangannya saat ini tentang wanita itu, tidaklah asing. Perempuan itu bukan oranglain, dia orang yang cukup dikenal baik oleh Ara. Ara melangkah pelan, dia harus memastikan indra penglihatannya dengan lebih jelas pada jarak yang lebih dekat. “Alesha??” Tanya Ara memperjelas wanita yang tengah asyik memperbaiki penampilannya dari cermin kecil yang di pegangnya. Wanita yang diketahui bernama Alesha itu, terkejut mendapat sapaan dari Ara. Jelas sekali terlihat bagaimana dia gugup dan sedikit salah tingkah, meski ia tetap memperlihatkan senyum canggungnya. “Apa yang kamu lakukan disini? Didepan apartemen Revano?” Alesha tidak serta menjawab, ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari kuncian tatapan mata Ara yang sudah dilayangkan untuknya sedari tadi. Ara berusaha menekan pikiran-pikiran yang muncul di benaknya. Sejenak ia mulai berpikir sesuatu yang tidak-tidak mengenai perempuan yang dia kenal lima tahun silam saat ia sama-sama menempuh pendidikan di Universitas dan Fakultas yang sama. “I-itu.. A-aku..” Ara tidak mendengar hingga selesai jawaban dari Alesha yang terbata-bata. Dia dengan cepat menekan bel apartemen Revano, biarlah nanti Alesha, wanita yang dia anggap teman itu menjelaskan apa maksud kedatangannya malam ini ke apartemenn milik kekasihnya. Bel sebelumnya yang tidak mendapat respon, membuat Ara kembali menekan bel yang kedua kalinya. “Kamu sudah datang Alesha..” Revano yang muncul dari balik pintu memperlihatkan senyum yang begitu semangat. Seolah sedang menyambut dengan riang kedatangan seseorang yang sudah ditunggu-tunggunya. Ekspresi senang dengan senyum lebar dan mata berbinar-binar yang sebelumnya Revano perlihatkan, seketika berubah dan memiliki ekspresi yang sejurus dengan Ara, yang begitu terkejut. Apa ini? Kenapa bukan namaku yang dia sebut? Apa dia sedang menunggu kedatangan Alesha? Bukan aku?. Pertanyaan bertubi-tubi mulai berburu meminta jawaban dengan tidak sabaran. Pertanyaan yang hanya bisa Ara ajukan dalam hati dan tidak bisa keluar dalam perkataannya akibat rasa terkejut yang dia dapatkan saat ini. “A-Ara??” Tanya Revano memastikan perempuan yang saat ini berdiri di depannya. Revano mengalihkan pandangannya, dan mendapati Alesha, wanita yang sebenarnya dia tunggu saat ini. “Ka-kamu disini?” Dengan usaha yang sangat keras, Ara mencoba tidak berburuk sangka pada Alesha, juga Revano sang kekasih. Namun melihat respon Revano saat ini, jelas sekali bahwa ia bisa membenarkan apa yang ada dalam pikiran Ara saat ini. “Kenapa?” Tanya Ara dengan tatapan tajam yang dia arahkan pada Revano. “Kenapa kalau aku ada disini? Bukannya aku memang selalu datang tanpa mengabarimu dulu? Atau sekarang aku harus melapor dulu padamu sebelum datang kemari? Agar kamu tidak ketahuan kalau sedang menunggu tamu lain?” Tanya Ara berturut-turut dengan lirikan mata yang dia tujukan pada Alesha. “Alesha, ada perlu apa kamu kemari?” Ara menatap lekat ke arah Alesha. Mendapat pertanyaan dari Ara, Alesha tidak memberi jawaban dan hanya mengarahkan pandangannya pada Revano, seolah meminta Revano untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan untuknya. “Di-dia.. Dia kemari karena a-aku..” “Aku bertanya pada Alesha, Revano. Bukan padamu” Suara Ara mulai meninggi, emosi yang sedari tadi ditahannya mulai sampai pada batasnya. Sekiranya tidak membutuhkan waktu yang lama lagi untuk meledak. Mata bulat miliknya mulai berkaca-kaca. Pemandangan yang di sajikan untuknya malam ini, menyimpan sakit yang tidak bisa dia jabarkan. “Apa kamu harus marah?” Alesha mulai angkat bicara, dengan ekspresi datar ia melayangkan pertanyaan yang jelas sudah dia tahu jawabannya. “Apa aku harus marah, katamu? Kalau kamu berada di posisiku dan mendapati pacarmu sedang menunggu perempuan lain, bagaimana perasaanmu?” “Bagaimana perasaanku? Tentunya aku intropeksi diri” Jawab Alesha santai. Sejenak Ara tidak mengenali wanita yang berdiri di depannya saat ini. Alesha yang dulu, ah bukan, Alesha yang dia temui kurang dari sepuluh menit yang lalu tidak akan memberikan jawaban seperti ini. “Kamu yang terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, kamu yang tidak menyisihkan waktu untuk Revano, dan..” “Apa urusannya itu denganmu?” Potong Ara. Alesha tertawa kecil, memperlihatkan respon yang memperlihatkan meski tidak secara langsung, ia tengah memberi hinaan pada Ara saat ini. Hal yang demikian membuat Ara terkejut. Alesha yang dulu dikenalnya tidaklah seperti ini, ekspresi yang Alesha perlihatkan saat ini juga sangat berbeda dengan apa yang Ara kenal selama ini. “Revano, apa tidak sekarang saja kamu mewujudkan niatmu itu?” Tanya Alesha yang mengubah nada bicaranya menjadi lembut dan menyisipkan suara yang terdengar lebih imut. “Katamu, kamu tidak mau membuatku nunggu lebih lama” Ara melayangkan pandangannya pada Revano. Hal apa yang mereka bicarakan ini? Revano hanya terdiam. “Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak serius denganku?” Revano yang tidak memberikan respon sesuai keinginannya, membuat Alesha kembali bertanya pada Revano dengan sedikit desakan. Laki-laki dengan tubuh tinggi itu menghela nafas sejenak, kemudian mengarahkan pandangannya pada Ara yang sudah sedari tadi memberinya tatapan tajam dengan mata yang berkaca-kaca. “Ara.. Aku rasa, kita cukup sampai disini saja” Ara menyunggingkan bibir atasnya, mengalihkan pandangannya dari Revano dengan airmata yang sedari tadi dibendungnya kini mulai menetes. “Kenapa? Apa karena dia?” Ara kembali mengarahkan pandangannya pada Revano setelah menyeka airmatanya. “Apa karena dia lebih cantik? Lebih sexy? Atau karena dia yang lebih mudah didapatkan?” “Hey, jaga bicaramu” Potong Alesha, yang tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Ara. “Apa aku salah? Lalu sebutan apa yang benar untuk perempuan yang siap menjadi pasangan dari orang yang sudah memiliki pasangan? Aku hanya tidak mau menyebut kata kotor untuk mendeskripsikan dirimu yang sekarang, Alesha” Jelas sekali, wajah geram yang Alesha perlihatkan, apa yang baru saja Ara katakan, sangat merendahkan harga dirinya. Alesha mengarahkan pandangannya pada Revano, seolah meminta pertolongan dan pembelaan dari laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi miliknya satu-satunya. “Ara, apa kamu tidak keterlaluan berbicara seperti itu pada Alesha? Dia kan temanmu..” “Teman??” Ara tertawa kecil. “Aku tidak tahu, kalau seorang teman bisa mengambil milik temannya sendiri” “Bicaramu benar-benar keterlaluan Ara, sepertinya memang sudah seharusnya aku putus dari kamu, mulai sekarang..” “Tunggu!” Potong Ara. “Kamu tidak ada hak untuk memutuskanku, karena kamu yang telah mengemis-ngemis untuk bisa bersamaku, dulu” Tatapan tajam Ara kembali ia arahkan pada Revano. “Revano, kita putus!!!” Meski Revano tahu, hal seperti itu akan keluar dari mulut Ara, namun tetap saja ia merasa terkejut mendengarnya, ditambahkan lagi dengan penenkanan nada yang tegas dari Ara. “Karena kamu sudah putus, jadi jangan menyesal apalagi kembali merengek-rengek meminta Revano untuk kembali padamu. Revano sekarang milikku” Alesha memperjelas dengan menegaskan hubungan yang dimiliki Revano dengannya sekarang. “Tentu saja. Meskipun kamu sudah mengambil apa yang menjadi milikku, tapi aku tidak akan tertarik mengambil apa yang menjadi milikmu, meskipun itu adalah milikku sebelumnya. Aku tidak tertarik mengambil bekasmu, karena aku bukan kamu” Tegas Ara. “Kamu!!!” Alesha menghentikan makian yang akan dia lontarkan, dan berbalik bergelut manja pada Revano. “Sayang lihat, dia menganggap kamu seperti barang bekas dan aku...” “Cukup..” Potong Ara. “Rengekanmu menjijikkan” Ara mengalihkan pandangannya dan menatap Revano. “Aku akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari kamu, yang pastinya tidak berjenis laki-laki yang menelan ludahnya sendiri” Ara melangkahkan kakinya, meninggalkan mantan kekasihnya yang kini sudah menjadi milik temannya sendiri. Tentu saja, dia sangat ingin memaki-maki hingga memukuli laki-laki itu hingga babak belur, namun Ara mempertahankan eksistensinya dengan menahan semua amarah dan gejolak dalam hatinya. Dia harus terlihat tegar dan kuat, agar tidak terlihat menjadi wanita yang mengemis cinta pada Revano, meski hatinya menangis meraung-raung melepaskan laki-laki yang sangat dicintainya. “Aku akan membuatmu menyesal karena sudah melakukan ini sama aku, Revano”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD