Ara Galau

1313 Words
Matahari mulai menjelajahi bumi dengan sinarnya, menyapa penduduk dari planet ketiga itu dengan penuh kehangatan. Namun, hangat mentari pagi ini, tidak mampu menebus ruang hati Ara yang kini diselimuti kelabu gelap akan kejadian semalam yang menimpanya.   Semalaman wanita yang baru saja berpisah dengan kekasihnya itu, menangis meraung-raung. Kekasihnya yang selama ini tempatnya menyandarkan perasaan, ternyata telah menyelipkan wanita lain dalam hubungan mereka. Sesekali Ara merasa bersyukur, setidaknya ia lepas dari laki-laki yang sudah ia beri gelar buaya, namun cinta dalam hatinya masih saja berkobar untuk Revano, laki-laki yang telah menduakan cintanya.   Ara berusaha melawan rasa sakit yang masih bertahta hebat di perasaannya. Meski kata galau masih bersemat untuknya, namun dia tetap harus menjalani hari-hari seperti biasanya. Pekerjaannya tidak akan memberinya waktu untuk menikmati rasa sakit hatinya. Ya, Ara harus bisa mengesampingkan urusan pribadinya dan kembali profesional pada pekerjaannya. Terlebih lagi hari ini dia ada meeting penting.   Dengan langkah lunglai dan lesuh, Ara berjalan memasuki gedung besar dimana ia bekerja. Kurang tidur semalam membuatnya merasa kurang baik, juga menciptakan kantung mata yang nyaris menyerupai panda.   “Ara, kamu kenapa?” Freya menghampiri dengan rasa khawatir melihat teman baiknya yang sudah seperti zombie.   Ara mengangkat kepalanya, dan hanya menatap Freya sejenak, kemudian mengarahkan kedua tangannya merangkul memeluk Freya.   “Kamu kenapa?” Freya balas memeluk sahabatnya yang jelas sedang tidak baik-baik saja saat ini.   “Aku putus sama Revano..” Keluh Ara dengan mempererat pelukannya pada Freya.   “A-apa?? Putus? Kenapa bisa?” Freya begitu terkejut mendegar apa yang baru saja dikatakan Ara. “Kapan?”   Ara melepas pelukannya dari Freya, sembari menyeka airmatanya yang sempat menetes saat ingatannya kembali bermain-main mengenai Revano yang sudah menyelingkuhinya.   “Revano selingkuh”   “Apa???”   Ara hanya mengangguk, membenarkan apa yang baru saja dia katakan.   “Kalian kan baik-baik saja selama ini, Revano juga selalu datang menjemputmu pulang kerja kalau dia sempat. Dan lagi, kelakuannya sangat baik padamu”   “Aku juga tidak tahu. Hiks, rasanya sakit sekali Freya”   Freya kembali menarik Ara dalam pelukannya. “Yang sabar Ara, aku benar-benar tidak menyangka kalau Revano akan seperti ini”   “Jangankan kamu, aku saja sama sama sekali tidak pernah menyangka. Revano sangat baik padaku, dia romantis dan perhatian. Huhu kenapa dia tiba-tiba seperti ini?”   “Sudah-sudah” Freya mengelus pelan punggung Ara, mencoba menenangkan sahabatnya yang tengah dilanda galau akibat putus cinta. “Tidak ada gunanya kamu menangisi laki-laki seperti Revano. Kamu harus bersyukur karena tahu sifat busuknya”   Ara mengangguk pelan, dia benar-benar merasa bersyukur karena bisa lebih cepat mengetahui perselingkuhan Revano, sehingga perasaannya tidak perlu berlarut-larut dalam hubungan yang sudah tidak sehat lagi.   “Ta-tapi.. Sebenarnya ada hal lain yang membuatku lebih galau daripada putus dari Revano”   Freya melepas pelukannya, menatap Ara dengan pandangan bingung. “Apa?”   Ara mengalihkan pandangannya, jelas itu bukan karena ia merasa malu memperlihatkan wajahnya yang sudah tidak karu-karuan karena sedang menangis, melainkan karena lain hal.   “Tentang apa, Ara?” Freya mengulangi pertanyaannya.   “I-itu.. Aku mengatakan pada Revano kalau aku akan menemukan laki-laki yang lebih baik dari dia”   “Terus kenapa? Memang kedepannya kamu harus ketemu dengan orang yang lebik lagi”   “Bu-bukan itu masalahnya Freya. A-aku mengatakan hal itu pada Revano dengan nada menantang. Aku bilang, kalau aku akan menemukan laki-laki yang lebih hebat"   “Whatt??? Kenapa kamu berbicara seperti itu??”   “Ya karena aku kesal dan marah. Aku jadi tidak bisa berpikir jernih dan langsung mengatakan hal seperti itu pada Revano" Jelas Ara, dengan sedikit penyesalan karena mengatakan hal yang jelas sulit untuk dilakukan. “Huhuhu mau aku letakkan dimana wajahku nanti kalau aku bertemu dengan Revano dan aku masih sendiri" Ara menutupi wajahnya. Membayangkan saja, dia sudah begitu malu.   “Yah.. Kamu memang harus lebih galau memikirkan ini dibanding masalah kamu putus dengan Revano"   “Huhuhu dimana aku menemukan laki-laki yang lebih hebat dari Revano? Aku tidak punya teman laki-laki dan terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai tidak sempat untuk sekedar ikut kencan buta"   Bukan hanya Ara, kini Freya juga ikut berpikir. Freya tahu betul ruang lingkup pertemanan dan pergaulan Ara. Sahabatnya itu hanya mempunyai satu teman jalan selain dirinya, yaitu Laura. Dan sama sekali tidak memiliki kenalan laki-laki selain dari mitra kerja. Selama ini Dillara Sofea hanya terus-terusan bekerja keras tanpa memperluas pertemanannya, bahkan Revano yang berkencan dengan Ara sebelumnya, bertemu saat Ara menjadi pekerja paruh waktu saat masih kuliah dulu.   “Aku juga sempat memaki-maki perempuan itu. Hiksss kenapa nasibku seperti ini" Keluh Ara menyesali mulutnya yang sedikit ringan.   “Hem.. Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Kamu kan sibuk, jadi peluang untuk bertemu dengan Revano itu sangat sedikit. Jadi, kamu tidak perlu terlalu khawatir bertemu dengan Revano meskipun kamu belum menemukan laki-laki hebat itu. Kalaupun tidak sengaja bertemu, kan tidak apa-apa. Bilang saja kalau kamu tidak sedang bersama kekasihmu, atau katakan kalau kekasihmu sedang sibuk kerja. Lalu tentang perempuan itu, kamu jelas tidak memiliki waktu untuk bertemu dengan dia kan?"   "Tidak mungkin. Aku satu alumni dengan perempuan itu. Kita bisa saja bertemu di waktu-waktu tertentu saat ada teman sesama alumniku yang mengundang" Ara nyaris kehilangan separuh nyawanya ketika menyadari dan mengingat kembali apa yang sudah dia katakan pada Alesha semalam.   Freya terdiam sejenak, kemudian menghembuskan nafas berat yang memperlihatkan bahwa dia tidak lagi memiliki jalan keluar yang bisa dia berikan pada sahabatnya itu.   “Kamu tidak ada cara lain, selain segera menemukan pacar baru yang lebih hebat” Kata Freya dengan datar.   Ara hanya memejamkan matanya sejenak, dengan dahinya yang mulai berkerut akibat memikirkan hal apa yang akan dia lakukan selanjutnya.   “Freyaaa... Aku harus bagaimana??”   Freya mengangkat lengannya, melirik sejenak jam tangan berwarna coklat yang melingkar cantik di pergelangan tangannya.   “Nanti saja kita pikirkan, sekarang basuh wajahmu dulu. Kamu tidak lupa kan kalau hari ini kita ada meeting dengan pak Adrian untuk membahas desain dari bangunan baru itu"   Ara mengangguk. “Kalau bukan karena meeting itu, mungkin saja aku tidak masuk kerja hari ini”   ***** Adrian masih menyempatkan diri memeriksa beberapa pekerjaan lain sebelum meeting yang ditetapkan berlangsung jam sepuluh pagi itu, dimulai. Laki-laki tampan dengan rambut tegap rapi karena pomade itu, begitu serius mengerjakan pekerjaannya.  Namun ponsel yang dia letakkan dalam saku berdering, membuat manik matanya yang sedari tertuju pada netbook harus teralihkan.   “Hem, kenapa??” Tanya Adrian setelah mengangkat panggilan masuk yang diketahui itu adalah Arsen.   “Gawat gawat”   “Apanya?” Adrian bertanya tanpa antusias meski nada bicara Arsen terdengar berbeda dari biasanya. Adrian mengenal baik bagaimana Arsen, bahkan jika Arsen berteriak gawat, itu belum tentu membenarkan bahwa kondisinya sedang gawat.   “Pokoknya kau benar harus cari pacar, Rian. Harus!”   “Ada apa? Kenapa tiba-tiba?”   "Apa kau belum dapat undangannya?"   “Undangan apa?”   “Party untuk meresmikan hotel baru Axelerio”   “Oh itu, iya dapat”   “Nah, kau tidak mungkin tidak datang kan. Apa yang akan dikatakan Axel kalau kau tidak datang"   “Ya aku akan datang, lalu apa hubungannya dengan aku yang harus mencari pacar?”   "Ck, Kau itu.. Kau mau rumor tentang kau gay itu terus berlanjut? Apa telingamu tidak panas terus-terusan mendengar bisik-bisik yang bahkan terang-terangan bertanya padamu langsung tentang hal itu?"   Adrian diam sejenak. Pikirannya kembali mengingat, bagaimana dia beberapa tahun terakhir ini harus membiarkan telinganya mengonsumsi omongan-omongan orang perihal dirinya yang dianggap tidak normal. Ya, meskipun Adrian tergolong orang yang cuek, namun tidak mengelak bahwa dia juga merasa terganggu akan rumor itu. Rumor itu bukan hanya mempengaruhinya, tapi orangtua hingga perusahaannya pun terkadang disangkutpautkan.   “Rian, pokoknya kau harus mendapatkan pacar sebbelum ke acara itu"   "Kau pikir, cari perempuan sama mudahnya dengan mencari ikan di danau?"   "Ya terserah kau bagaimana caranya. Lagian, wajah tampanmu itu jangan kau buat mubazzir. Aku yakin, banyak perempuan yang mau denganmu"   “Kan sudah kukatakan.”..   "Aku tidak mau pacaran dengan orang yang mengenaliku. Itu kan yang mau kau katakan" Tebak Arsen   Adrian hanya terdiam, rasanya baru sekali saja dia mengatakan itu pada Arsen, dan sahabatnya itu berbicara seolah dia sudah terbiasa mendengar hal itu.   "Kalau kau mau seperti itu, kau harus menyebrang pulau dulu, baru bisa menemukan perempuan seperti yang kau maksud"   “Lalu..” "Ah, aku tidak mau tahu. Entah kau pasang iklan, mempromosikan diri, datang ke biro jodoh, atau kalau perlu kau datangi dukun cinta. Intinya kau harus segera menemukan pacar" Tegas Arsen. "Ah atau.. Bagaimana kalau pacar kontrak?"  “Ck, kau jangan asal bicara”   “Ya terus mau bagaimana lagi, aku...”   “Iya iya.. Nanti aku cari” Adrian melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. “Aku ada meeting sekarang, aku matikan telfonnya”   “Pokoknya cari..”   “Iyaa...” Sekali lagi Adrian memotong perkataan Arsen. “ Kau sudah seperti perempuan yang posesif seklai ke pacarnya"   “Sialan”   “Kau mengumpat lagi..”   “Iya, kau memaksaku untuk mengumpat”   Arsen memutuskan panggilannya, membuat Adrian akhirnya bergegas menuju ruang meeting, melihat waktu yang menunjukkan kurang dari sepuluh menit lagi, meeting akan dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD