Aku suka Kamu.

1508 Words
"Tumben main ke cafe cuma bentaran tadi, Sa?" Tissa yang saat itu sedang fokus menatap ke arah jalan raya, spontan saja mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. "Ya, Kak?" tanyanya balik pada Juna, dengan sedikit raut wajah yang terkejut. Karena yang sebenarnya dirinya sedang melamun. Atau lebih tepatnya menggalau hatinya. Juna pun tampak menyunggingkan senyum simpulnya, "Pasti kamu sempat melamun tadi tuh. Sampai nggak fokus sama omonganku?" ucapnya lagi masih dengan senyum yang beralih menggoda. "Enggak. Cuma hari ini kerasa panas sekali, Kak." Tissa pun sebisa mungkin berusaha menutupi kegalauan di dalam hatinya itu. Tentu saja tidak akan ia biarkan orang lain dapat mengetahuinya juga, bagaimana keadaan hatinya yang sedang terluka tersebut. Walaupun itu adik dari pria yang ia cintai. "Nah, jadi? Nggak ada salahnya kan ya, aku antar kamu pulang?" sahut Juna dengan nada senang. "Sayang sekali kan, gadis seimut kamu ini kepanasan di jalan." "Iya. Tapi jadi merepotkan," tutur Tissa menyahut ucapan lelaki berkharisma tampan nan humoris itu, dan sudah mulai beranjak lebih ke dewasa itu. "Nggak lah. Merepotkan gimana? Aku malahan suka banget ini," sahut Juna lagi dengan nada cepat. "Lagian, kamu tahu nggak, Sa?" sambungnya menggantung pertanyaan untuk Tissa. "Tahu apa, Kak?" tanya Tissa yang mau tidak mau akhirnya meladeni juga percakapan yang dilontarkan oleh adik dari lelaki yang sudah ia sukai sejak dari lama itu. "Sebenarnya sudah lama loh, aku tuh ingin antar kamu pulang atau ke mana gitu. Ya ... seperti ini." Tissa pun spontan memicingkan matanya, sebelum kemudian akhirnya melemparkan pandangan tak mengertinya itu ke arah Juna. "Maksudnya, Kak?" tanyanya. "Ya, aku ini intinya ingin lebih dekat sama kamu, gitu, Sa. Seperti kedekatan kamu sama Abang itu," jelas Juna dengan mimik wajah yang mulai terlihat serius. Terang saja, wajah Tissa semakin terlihat aneh dan bingung. "Dekat? Dekat yang gimana lagi ya maksud Kakak tuh?" tanyanya lagi. "Bukannya kita bertiga memang udah selalu begini ya?" sambung Tissa sambil menurunkan kaca mobil yang ada di sampingnya itu. Entah mengapa, aura di sekitarnya menjadi terasa lebih canggung. Bukan tidak peka, tetapi Tissa sedikit mengerti juga ke manakah arah pembicaraan Juna itu sebenarnya. Namun, sebisa mungkin hatinya ingin mengingkari dari awal. "Tetap ada lah bedanya, Sa." "Beda di mananya?" tanya Tissa, sambil menghela napas. Dan rasanya pulang dalam satu mobil dengan Juna adalah keputusan yang salah baginya. Sedangkan kegalauan di hatinya masih belum hilang juga, tetapi sikap absurd dan aneh dari Juna itu cukup membuatnya menjadi serba salah. "Emang kamu gak nyadar ya, Sa? Misal begini. Kalau sama Bang Leo, kamu itu kan lebih bisa lepas seperti tanpa jarak ataupun batas. Beda kan sama denganku. Semacam ada rasa takut-takutnya," jelas Juna dengan wajah yang terlihat sedih. Dengan pelan Tissa menepuk keningnya. "Itu hanya praduga Kakak saja. Aku gak merasa begitu loh," elaknya sambil menggelengkan kepalanya. "Tapi, aku merasa dibedakan loh," sanggah Juna masih dengan nada sedikit manjanya. Seolah-olah dirinya itu yang lebih berumur muda dari Tissa. "Cara penerimaan kamu aja juga beda." "Ya kalau seumpama terlihat berbeda pun, harusnya Kakak bisa memaklumi. Bukannya salah paham begini," sahut Tissa kemudian. "Aku bukan salah paham. Cuma, merasa berbeda aja, sikap kamu ke aku sama sikap kamu ke Bang Leo, selama ini." "Wajarlah, Kak. Secara, aku kenalnya duluan sama Mas Leo kan? Dari aku masih bayi malahan." Juna tampak mengetuk-etuk jari-jari tangan kanannya di kemudian mobil. Sedangkan kepalanya tampak terlihat mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak. Tissa pun kembali memilih diam, saat Juna juga telah menghentikan protesnya. Demikian lebih baik bagi Tissa, setidaknya itulah yang dipikirkan oleh gadis yang juga mulai sedikit sudah beranjak dewasa itu. "Kok diam?" tanya Juna berbalik, sesaat dari keheningan di dalam mobil tersebut. Mungkin merasa aneh dan canggung ketika sama-sama dalam kebungkaman. Tissa yang saat itu sedang memperhatikan layar ponsel miliknya pun, bergegas membuang pandangan ke arah Juna lagi. Seolah-olah sedang ingin melemparkan pertanyaan kembali. Juna yang saat itu sedang fokus menyetir pun, akhirnya mau tidak mau ikut menatap ke arah Tissa, dikarenakan merasa dipandangi beberapa saat oleh gadis cantik tersebut. "Apa?" ucapnya malahan bertanya. "Aku harusnya yang tanya, Kak. Ada apa?" tanya balik Tissa dengan nada sedikit gemas. "Ya jadi heran aja. Kenapa kok kamu jadi tiba-tiba diam gitu tadi. Apa aku ada salah ngomong?" jelas Juna, yang kembali membuat Tissa merasa kikuk. Tissa tampak menghela napas pelan. "Aku juga bingung mau ngomong apa sih, Kak." Tissa pun akhirnya menjawab dengan terus terang. "Bukan karena perkataan aku tadi kan ya?" Tissa pun dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Bukan," jawabnya, jujur. "Aku perhatikan, wajah kamu kelihatan lebih murung. Kenapa? Ada masalah kah di sekolah tadi?" tanya Juna dengan nada perhatian, sambil menekan klakson spontan, ketika ada seseibu yang tiba-tiba mengambil jalurnya tanpa isyarat dengan motornya itu. Yang tentu saja sedikit membuat Juna terkejut. "Kak, fokus nyetir aja dulu. Bahaya loh," tegur Tissa yang juga ikut merasa terkejut juga. "Aku juga udah fokus banget lah, Sa. Ibu-ibu itu aja tadi yang gak ada sopannya, naik ke atas jalan langsung aja begitu, tanpa lihat-lihat dulu. Untung aku ada reflek cepat," sahut Juna, membela diri. "Iya. Di jalan kan emang bisa jadi begitu, Kak. Semua bisa saja jadi kebalik-balik. Kita udah hati-hati dan fokus, tapi orang lain yang malahan yang seenaknya sendiri. Makanya, kita yang harus lebih fokus aja." "Tapi, aku kan emang udah fokus dari awal, Sa." Juna masih sedikit mendebat, bahwa dirinya bukan yang berbuat ceroboh. Tissa pun hanya menganggukkan kepala, tanda ia tidak ingin berdebat lebih lama lagi. Dipikir pikir pun, ada benarnya juga omongan dari Juna tersebut. "Iya, Kak." "Lagian aku juga udah biasa kok, ngobrol sambil nyetir gini, sama teman di sebelah gini juga. Hitung-hitung juga buat hilangin rasa kantuk loh," aku Juna, sambil sedikit melirik ke arah Tissa, yang mana saat itu kembali dalam mode diam. "Iya Kak." Tissa menanggapi ucapan Juna tersebut dengan singkat. Dan hal tersebut pun membuat Juna mengernyitkan dahinya. Setahu dirinya, Tissa adalah sosok yang lebih cenderung ceria, walaupun itu hanya ke beberapa orang yang ia kenal dan akrab saja. "Sasa, marah?" tanyanya lagi dengan hati-hati. "Enggak lah, Kak. Marah ke siapa emangnya?" tanya Tissa balik. "Marah ke aku," sahut Juna, sambil menyurai rambutnya sekali ke arah belakang. "Ya gak lah. Ngada-ngada aja sih itu," elak Tissa. "Kakak ingat kan jalan gang ke rumahku?" sambungnya bertanya, ketika laju mobil tersebut sudah mendekati ke daerah perumahannya. "Ingat dong, Sa. Walaupun aku gak pernah antar kamu secara pribadi seperti ini, tapi aku kan juga sering antar Bang Leo ke rumah kamu," sahut Juna lagi, dengan nada gemas. Tissa pun tampak meringis salah tingkah bercampur galau kembali. Ketika mengingat betapa berbunga-bunga hatinya itu, saat Adelio datang berkunjung ke rumahnya dahulu. Yang walaupun pada saat itu, Adelio lebih sering datang ke rumahnya untuk menyampaikan urusan dengan ayahnya Tissa saja. "Iya ya. Aku lupa," ringis Tissa dengan nada pelan, bermaksud menyamarkan gejolak rasa hatinya yang kembali terluka. Dan laju mobil pun akhirnya berpindah haluan memasuki gang gapura perumahannya Tissa. "Sa. Kalau boleh tahu, kamu sedang memikirkan apa? Aku lihat wajah kamu itu lebih cenderung mendung daripada riangnya," tanya Juna kembali, sambil mengurangi kecepatan laju mobilnya. Dan lagi-lagi Tissa pun hanya menggelengkan kepalanya saja. Entah Juna memang benar-benar tidak tahu tentang perasaan Tissa yang sebenarnya, atau hanya sekadar basa basi saja, intinya Tissa tidak ingin berbagi kisah pilu hatinya dengan lelaki yang ada di sampingnya tersebut. Juna yang menyadari sikap tegas yang dimiliki oleh Tissa tersebut pun, akhirnya hanya bisa menghela napas pelan. Seakrab apa pun dirinya dengan Tissa, tetapi tidak akan pernah sama keakraban itu dengan keakraban yang dimiliki oleh Tissa dan Adelio. Betul-betul hubungan yang berbeda. "Berhenti di dekat pohon jambu itu aja ya, Kak." Tissa berucap sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah tepi jalan yang sebagian dinaungi oleh pohon. Tampak Juna menganggukkan kepala tanda ia mengerti. Ketika mobil milik Adelio tersebut sudah berhenti tepat di bawah rindangnya daun dan dahan pohon jambu milik Tissa itu, gadis berkerudung putih langsung melepas sabuk pengaman yang sebelumnya melilit di bagian perutnya. "Sa," panggil Juna, sesaat Tissa akan membuka pintu. Membuat Tissa pun menghentikan aksinya dan menengok ke arah Juna. "Ya, Kak? Kakak mau ada mampir kah?" tawar Tissa kemudian. "Enggak, mau langsung balik aja ke cafe. Cuma ada sedikit yang mau aku tanya," ucap Juna, sambil sedikit menyerongkan posisinya ke arah Tissa. "Tanya apa?" tanya Tissa, sambil membuka pintu mobil, dan menjatuhkan kaki kirinya itu ke jalan. "Kamu, udah ada pacar?" tanya Juna dengan tanpa basa basi lagi. Namun, jelas terlihat di raut wajahnya, jika dirinya sedang menahan rasa grogi dan malu. Tissa pun tampak mengerutkan dahinya. Setelah itu terlihat menggelengkan kepalanya. "Gak ada," jawabnya singkat dan jelas. Ada sedikit yang terbit senyum di ujung bibir milik Juna. "Kenapa emangnya, Kak? Kak Juna tanya hal kayak gitu?" tanya Tissa tiba-tiba dengan mimik wajah serius. Dan pertanyaan tersebut pun, membuat Juna terlihat kembali menatap ke wajah gadis imut di hadapannya itu. "Ingin memastikan saja, Sa." "Memastikan apa?" kejar Tissa, yang mana saat itu sudah berdiri sempurna di atas bahu jalan itu, dengan posisi yang akan menutup pintu mobil kembali. "Ya, memastikan keadaan hatimu." "Kak Juna ini ngomongin apa sih sebenernya?" tanya Tissa lagi sedikit tidak sabaran dengan obrolan berputar-putarnya Juna. "Sebenarnya, aku suka kamu." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD