Antara mimpi dan luka

2267 Words
Sepulang dari sekolah, Tissa pun meminta izin pada orangtuanya untuk mampir beberapa saat di cafe milik Adelio, yang sering dipanggil oleh Tissa dengan sebutan Mas Leo itu. Bukan bermaksud ingin mengejar kembali cintanya dengan diam-diam, tetapi hanya untuk melihat Leo secara langsung dan sepuasnya hari itu, sebelum beberapa hari lagi Adelio sah menjadi suami untuk wanita lain. Ada sedikit rasa nyeri, ketika Tissa mengingat hal itu. Karena Mas Leonya, sebentar lagi akan menjadi milik orang lain secara sah. Semua karyawan dan koki di cafe tersebut, rata-rata memang sudah sangat mengenal Tissa. Karena mereka juga tahu, jika Leo adalah mantan karyawan orangtuanya Tissa waktu belum punya apa-apa. Dan hubungan pertemanan antara Leo dan Tissa itu sudah terkenal di antara mereka. "Eh, ada Neng Sasa ... mau pesan jus seperti biasanya ya?" tanya dari salah satu pramusaji yang sepertinya habis mengantarkan pesanan ke meja yang lain. Karena merasa haus juga, Tissa pun langsung membalasnya dengan anggukkan kepala dan senyum segarisnya. "Oke, Neng Sasa mau duduk di sini, atau mau ke ruang kerjanya Pak Adelio?" tanya pramusaji itu memastikan. "Maksudnya, minumannya nanti mau diantar ke mana, gitu?" "Emang Mas Leonya, ada?" tanya Tissa balik, dengan hati yang otomatis berdebar. "Ada. Baru saja kok datangnya," jawab pramusaji itu, dan masih menunggu jawaban dari Tissa atas pertanyaan sebelumnya. Tissa tampak berpikir sejenak. Mungkin ini pertemuan antara dirinya dan Adelio untuk terakhir kalinya. Karena Sasa tidak mungkin bisa sebebas itu lagi untuk menemui Adelio, jika pria dewasa yang dicintainya itu sudah beristri nantinya. "Oke. Ke ruangan Mas Leo aja ya kalau gitu, Mba." Setelah menjawab pertanyaan si pramusaji, Tissa pun bermaksud akan melanjutkan langkahnya ke ruangan, yang di mana ada Adelio di sana. "Eh, Neng Sasa." Namun, pramusaji itu kembali menghentikannya. "Apa, Mba?" "Neng, bener ya? Itu Pak Adelio mau menikah?" tanya pramusaji itu dengan berbisik. Membuat Tissa mengerutkan dahinya, "beritanya sih begitu, Mba. Mba kan anak buahnya, kok malahan masih tanya ke aku?" "Hehee ... cuma mau mastikan, Neng. Bukan cuma aku saja loh yang gak nyangka waktu baca undangannya. Yang lain juga gitu kok," tutur pramusaji itu menyangkal. "Kok gak nyangka? Kan umur Mas Leo juga sudah waktunya buat menikah kan?" tandas Tissa mulai terasa canggung. Dikarenakan pembahasan tentang pernikahan Adelio itu sangat sensitif sekali baginya. "Maksudnya gak nyangka itu, kan selama ini Pak Adelio itu kan dekatnya sama siapa gitu kan? Kok nikahnya sama perempuan lain," ujar pramusaji itu. Tissa pun hanya menyunggingkan semyum segarisnya lagi, demi untuk menyamarkan perasaannya yang semakin tidak nyaman itu. "Ya, emangnya pikir kalian, harusnya sama siapa, Mba?" tanya Tissa sengaja memancing. "Sama Neng Sasa lah. Emang sama siapa lagi? Ceweknya yang mana aja, kami juga belum pernah lihat," ucap pramusaji itu semakin memelankan suaranya, dan menarik lengan kanan Tissa agar sedikit menepi dari jalur orang lain berlalu lalang. Mendengar ucapan pramusaji tersebut tentu saja membuat Tissa tersenyum dalam tangis di hatinya. "Emang belum pernah dibawa ke sini ya?" tanya Tissa ikut berbisik juga. Dan pramusaji itu dengan cepat menggelengkan kepalanya, "belum pernah. Makanya kami masih kaget loh sampai sekarang. Perkiraan kami sih mungkin mereka dijodohkan," tebaknya. "Udah lah Mba. Mungkin Mas Leo juga udah sampai di jodohnya. Harusnya kita ikut senang kan?" ucap Tissa berusaha bijak. Walaupun yang sebenarnya hatinya menangis sedih. "Ya, kirain sengaja bertahan sendiri sampai umur tiga puluhan itu karena sengaja nunggu Neng Sasa, gitu loh?" Tissa pun terkekeh pelan. "Aku masih sekolah juga loh, Mba." Padahal dalam hatinya berkata lain. Kalau bisa, Tissa berharap Leonya itu mau menunggunya sampai dirinya lulus sekolah menengah atas itu. Tapi takdir berkata lain. Dan Tissa harus bisa terima itu semua, sesuai janjinya kepada sang ayah. "Iya juga sih," gumam pramusaji itu menyahut sambil memandang ke arah lantai. "Tumben gak langsung masuk ke ruangan, Sa?" Suara seorang pria yang terdengar sedikit berat dan datar itu, yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka berdua. Membuat Tissa dan pramusaji itu pun terkejut secara bersamaan. Dan beruntungnya pembicaraan mereka dilakukan dengan berbisik-bisik. Hingga mereka yakin jika pria tersebut tidak sempat mendengar gibahannya mereka juga. "Cuma mampir atau mau nemuin saya?" tanyanya lagi. "Iya, mau mampir sekalian main juga sih," jawab Tissa sedikit terbata dan canggung. "Mas Leo mau pergi lagi ya?" tanyanya kemudian. Seperti ada sekat pembatas di antara mereka berdua. Hubungan pertemanan yang terjalin manis dan erat sejak dari dua belas tahun yang lalu, seketika menjadi sangat hambar bagi Tissa. "Enggak," jawab Adelio, singkat. "Ouh," sahut Tissa, ikut singkat juga. Dan aura kecanggungan seakan semakin menyelimuti. "Masih pakai seragam gini," ucap Adelio sambil melemparkan pandangan ke arah depan, dan seperti sedang memberi sebuah kode untuk petugas kasir dengan tangannya. "Ya iya. Kan emang dari sekolah," sahut Tissa lagi dengan nada sedikit ketus. Dan memang benar, saat itu Tissa masih memakai seragam putih abu-abunya dengan tas sekolah yang ia selempangkan di bahu kirinya. Adelio pun tampak mengernyitkan keningnya sesaat ketika ucapan sedikit ketus itu keluar dari bibirnya Tissa. Kemudian ia pun memilih menganggukkan kepala. "Ya udah, masuk duluan ke ruangan. Saya mau ada perlu dulu di bagian kasir," ujar Adelio itu yang langsung berlalu dari hadapan Tissa dan menuju ke meja kasir. "Neng Sasa," bisik pramusaji itu lagi. Yang ternyata masih berada di samping Tissa. Tissa pun hanya merespon dengan lirikan saja. "Jusnya tadi, jadi?" tanya pramusaji itu lagi dengan suara pelan, tetapi tidak berbisik lagi. "Iya Mba, jadi. Aku tunggu di dalam ya?" jawab Tissa dan sekalian berpamitan. "Sip." ____ Seperti biasa setiap Tissa berada di dalam ruangan kerjanya Adelio, hal yang sering lakukan adalah membersihkan dan membereskan ruangan tersebut. Dan juga meja kerjanya. Tissa ke tempat itu pun tidak selalu tiap hari. Jika ada waktu luang ataupun saat ia ingin bertemu dengan Adelio saja, baru mau mampir ke cafe tersebut. Ada kalanya juga Tissa bertandang ke rumah Adelio yang mana ada ibu dan adiknya, dan sudah lumayan akrab dengan Tissa juga. Setelah semuanya rapi, hal terakhir yang dilakukan Tissa adalah membuka semua gorden-gorden yang ada di ruangan tersebut. Jika ditanya oleh Adelio, alasan apa selalu membuka semua gorden tersebut beserta jendelanya juga. Maka Tissa pun menjawabnya dengan alasan agar sirkulasi udaranya bisa berganti dengan yang baru. Di saat ingin kembali duduk di sebuah sofa, mata Tissa sepintas melihat sebuah undangan di atas meja kaca. Tissa sudah memastikan jika undangan tersebut adalah milik Adelio dan calon istrinya. Dengan gerak reflek, ia pun meraih dan mengambilnya. "Baca apa?" tanya Adelio yang ternyata sudah berada di ruangan yang sama dengan Tissa. Pintu ruangan memang tidak pernah ditutup apalagi sampai dikunci jika ada Tissa di dalamnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan karena untuk menjaga Tissa dari fitnah. Tissa yang sedang memegang kartu undangan tersebut pun, hanya menunjukkannya saja, tanpa menjawab dengan kata-kata. "Saya udah kirim juga ke Bapak dan Ibu, undangan itu. Kamu belum baca?" tanya Adelio, yang terdengar biasa-biasa saja dalam nadanya di pendengaran Tissa. Tanpa ada nada bersalah di sana. "Udah. Tapi enggak detail sih bacanya," jawab Tissa yang berusaha terlihat biasa-biasa saja juga. Adelio pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kursi dan meja kerjanya. Begitu juga dengan Tissa, yang memilih duduk di sofa sebelumnya. "Saya dijodohkan," tutur Adelio pada akhirnya dengan suara pelan, seakan-akan ia ingin memberitahu sebuah alasan, mengapa dia mengambil langkah untuk menikah dengan wanita lain. "Riska itu, anak dari sahabat Ibu. Anak yatim juga, sama seperti saya. Makanya, mereka para ibu sepakat untuk menyatukan kami,” sambungnya menjelaskan. "Jadi, Mas Leo belum kenal sama calonnya?" tanya Tissa sambil mengernyitkan dahinya dan menyelidik. "Sudah. Waktu acara lamaran sebulan yang lalu," jawab Adelio semakin lirih, bahkan wajahnya pun tampak menunduk. Mendengar pengakuan dari Adelio itu, seketika luruh semua rasa yang Tissa punya. Bahkan untuk momen terpenting dalam hidup Adelio pun Tissa mengetahuinya setelah sekian lama. Membuat hatinya bertanya-tanya, seperti apa posisi dirinya di hati Adelio tersebut. "Ouhh ... udah lumayan lama ya? Tapi, kok aku baru dengar sekarang." Tissa pun berucap dengan tekanan di hati yang ia tahan sekuat tenaga. "Aku kira kita dekat, ya Mas. Enggak tahunya, enggak." Seketika Adelio mengangkat wajahnya, dan langsung melayangkan pandangan ke arah gadis remaja nan cerdas yang ada dalam ruangannya itu. "Ya, aku kira, kabar itu bukan kabar yang berarti buat kamu, Sa. Makanya saya pikir, biar sekalian saja saat kami menyebar undangan pernikahan," balas Adelio, yang sebelumnya terlihat menghela napas berat. Ternyata hanya sebatas itu kamu menilaiku, Mas. Rintih Tissa dalam hatinya. "Iya. Karena kita memang bukan spesial," ucap Tissa dengan cibiran di salah satu ujung bibirnya. "Kita hanya teman kan ya?" "Iya, kita teman. Tapi ... saya sudah menganggap kamu sebagai adikku juga," timpal Adelio ikut menyunggingkan senyum segarisnya. "Ngakunya sih memang adik kakak, ya? Tapi ... untuk acara penting saja aku pun enggak tahu," sela Tissa dengan respon cibiran lagi. "Iya. Maaf, jujur saya lupa. Karena semua urusan itu, ibu dan pihak perempuan saja yang sudah mengatur dan mempersiapkan semuanya." "Mas benar sudah ikhlas menjalaninya?" tanya Tissa dengan perasaan yang bercampur aduk rasanya. Bahkan kedua matanya sudah tampak berkaca-kaca. Namun, karena tidak ingin Adelio mengetahuinya, Tissa pun berpura-pura menunduk ke bawah sambil pura-pura kembali membaca undangan itu lagi. "Saya usahakan untuk ikhlas. Karena bagi saya, istri itu adalah pakaian saya. Maka dari itu, saya harus bisa menjaga pakaian saya itu, agar bisa tetap terlihat bagus dan indah. Dan caranya saya harus ikhlas dari awal," tutur Adelio dengan pandangan yang berubah ke langit-langit ruangan itu. "Apa Riska, calon istri Mas ini, cantik?" tanya Tissa berusaha lebih tenang lagi. Perkara sakit hati akan ia pikirkan di lain waktu saja. Ia harus terlihat baik-baik saja di hadapan pria impiannya itu. Walaupun setahu Tissa, Adelio memang tidak mengetahui semua rasa dan isi hatinya itu. "Iya, cantik." "Apa dia juga baik?" "Sepertinya, iya." "Apa dia juga perhatian?" "Sepertinya," "Apa Mas juga udah mulai suka sama dia?" Bibir Adelio yang semula akan berucap, kembali mengatup. Seakan ingin mengedit jawabannya kembali. Sampai di sini, Tissa pun kembali merasakan debar anehnya lagi. Di salah satu sudut hatinya ada perasaan lega walaupun itu hanya sedikit. Karena Adelio masih sulit untuk mengatakan suka kepada calon istrinya itu. "Kok enggak dijawab?" tanya Tissa kembali memancing. "Karena terpaksa ya?" Adelio pun tampak menegakkan punggungnya, lalu menghela napas beratnya. "Mungkin ... sekarang memang belum suka. Karena, semua juga perlu waktu untuk menyesuaikan." "Dengan kata lain, Mas Leo akan belajar menyukai dia bukan?" tanya Tissa, dengan nada biasa, bahkan sangat biasa. Untuk menutupi semua kegundahannya itu. Dan Adelio pun menganggap hal itu, hanya keisengan semata yang dilakukan oleh Tissa untuknya. Seperti yang ia lakukan sebelum-belumnya. "Iya, karena dia istri saya. Makanya saya juga harus menyukainya," jawab Adelio dengan nada yakin. Dan pupus sudah apa yang Tissa miliki untuk Adelio. Saatnya menyerah. Jangan berharap lagi. Rintihnya perih dalam hati. Rasanya Tissa sudah tidak mau untuk menyembunyikan airmatanya lagi. Tangisannya yang kemarin ternyata belum sepenuhnya keluar semua. Semuanya terasa menjadi semu dan kosong, ketika belahan hati yang ia impikan dari usia belia, sudah mulai merancang masa depan yang lain. "Abang!" seru seseorang dari luar ruangan, yang sudah berdiri di ambang pintu. Dan karena itu, Tissa menggunakan kesempatan untuk menyeka setitik airmata yang sempat jatuh ke pipinya. Adelio pun melepaskan pandangannya ke sana. "Kenapa, Jun?" tanyanya, setelah mengembuskan napasnya dengan kasar. Jun atau yang bernama lengkap Juna Aryastha itu adalah adik kandungnya. Juna juga bekerja paruh waktu di cafe tersebut, dikarenakan dirinya masih berkuliah. "Wahh ... ada Sasa juga. Udah dari kapan, Sa?" tanya Juna pada Tissa, dan mengalihkan keperluan awalnya dengan sang kakak. "Hmm ... bisa dibilang baru sih, Kak. Sekalian mampir tadi sepulang dari sekolah," jawab Tissa sambil terkekeh pelan. "Iya sih, ketahuan itu dari seragamnya masih nempel di badan. Kok enggak dikasih minum, Bang?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang adik, Adelio malahan hanya mengendikkan kedua bahunya dengan gaya cuek. "Aku udah pesan tadi sama Mbanya. Tapi ... gak tahu juga ya? Kok belum diantar ke sini," sahut Tissa untuk menjawab pertanyaan Juna tadi. "Tamu pengunjung mulai ramai sewaktu saya masih di luar tadi. Mungkin ... yang kamu mintain tolong tadi sudah lupa buat antar minuman kamu ke sini," timpal Adelio kemudian. Membuat Tissa pun mengangguk paham. "Ouh ... ya udah kalau gitu. Aku sekalian pulang aja ya. Mami udah mulai tanya-tanya ini, kapan pulangnya." Tissa pun beranjak dari tempat duduknya itu, lalu meraih tas sekolahnya dan ia sampirkan di pundaknya. "Loh loh ... aku datang kok malah pulang, Sa. Kita belum ngobrol-ngobrol banyak loh Sa?" protes Juna sambil menahan tali selempang tas milik Tissa itu. "Kamu gak dengar tadi, Jun? Kalau maminya sudah minta Sasa pulang?" tegur Adelio bernada datar. Cukup terganggu dengan sikap manja adiknya itu kepada Tissa. "Iya, Kak. Mami sudah mulai tanya-tanya nih. Kalau enggak buru-buru balik bisa diamuk nya nanti," sambung Tissa pada Juna, sambil menggoyang-goyangkan ponsel yang sudah ada di tangannya itu. "Tadi ke sininya naik apa?" tanya Juna dengan cepat. "Sewa ojek," jawab Tissa. "Oke. Aku antar ya? Gak boleh nolak. Ini harinya panas sekali loh. Gak bagus buat kesehatan," ucap Juna dengan asal. Dan Tissa pun hanya bisa berdiri dengan canggung. Karena memang semenjak ia remaja ini, belum pernah sekalipun di antara kedua bersaudara itu yang mengantarkan dirinya pulang. "Tapi, Kak Juna itu udah waktunya masuk jam kerjanya loh," sahut Tissa berusaha menolak dengan halus. "Bang. Boleh kan?" bujuk Juna pada sang kakak, dibandingkan menjawab sahutan Tissa. Setelah terdiam sesaat, dan akhirnya Adelio pun menganggukkan kepalanya. "Jaga dia baik-baik, Jun." Saat mendengar pesan yang diucapkan oleh Adelio kepada adiknya tersebut, seketika hati Tissa merasakan gamang dan retak dengan bersamaan. Sejenak ia pun menengok ke wajah Adelio. “Ada apa, Sa?” tanya Adelio yang akhirnya sadar, jika sedang diperhatikan oleh Tissa. Tissa pun akhirnya hanya menggelengkan kepala saja dan kembali beranjak pergi. Namun, jauh di dalam hatinya sedang bergumam jahat. Kamu belum mengucapkan akad nikah pun, aku sudah berharap agar kamu kelak akan menduda, Mas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD