Setelah selesai dengan kegiatan mandinya, Harmoni langsung naik ke atas kasurnya dengan baju tidur yang sangat imut dengan wajah kelinci pada bagian bajunya karena baju tidur yang digunakan oleh gadis itu adalah setelan atasan dan bawahan.
Harmoni merebahkan tubuhnya di tengah kasir empuk dengan sprei berwarna putih gading.
Gadis itu membelitkan kakinya pada guling yang sudah terdapat di hadapannya, bukan hanya memeluk, ia juga meletakkan kepalanya di atas guling itu dengan kelopak mata terpejam.
Beberapa jam kemudian, tiba-tiba angin berembus begitu kencang, sampai kaca jendela kamar Harmoni bisa dengan sendirinya terbuka.
Si empunya kamar tak sadar akan hal itu dan muncullah seorang pria tampan dengan setelan jubah dan topeng hitam di wajahnya.
Pria itu masih bertengger tepat di jendela kamar Harmoni yang masih terbuka.
"Gadis ini sepertinya memiliki banyak stok nyawa," gumam pria bertopeng tersebut yang tak lain adalah Damian, orang yang sama, saat mencelakai Harmoni di dalam air bersama para tanaman roh itu.
Kaki kanan Damian perlahan mulai turun menyentuh lantai kamar Harmoni, diikuti kaki kirinya dan terus secara perlahan melangkah ke arah Harmoni yang sudah tertidur pulas, terbukti dari suara napas Harmoni yang terdengar begitu teratur dan gadis itu juga tak sadar akan keberadaan Damian saat ini.
Damian berjalan ke arah Harmoni, lebih tepatnya, ke arah posisi di mana gadis itu saat ini tengah berbaring menghadap ke arah kanan.
Damian berdiri sembari mencermati tiap lekuk wajah Harmoni yang menurutnya di bagian mana pada gadis itu yang bisa menarik perhatian seorang Dewa, pria yang terkenal sangat dingin dan pastinya tak ada perempuan di planetnya yang sembarang akan mendekati Dewa karena rata-rata, sikap dingin dan datar pria itu, sudah cukup mendunia di planetnya.
"Bagian apa yang spesial pada dirimu?" tanya Damian pada Harmoni yang masih dalam posisi tertidur pulas.
Setelah cukup lama memperhatikan setiap inci wajah Harmoni, Damian kini tahu apa yang membuat Dewa bisa bersikap baik pada Harmoni, perempuan yang baru dikenal oleh sepupunya itu.
"Apa mungkin kecantikan yang membuat dia tertarik padamu?" tanya Damian yang masih tak ditanggapi oleh Harmoni karena gadis itu masih dalam mode tertidur lelap.
Senyum simpul di wajah Damian seketika terbit.
"Mental sepupuku itu ternyata seperti tempe orek, bisa-bisanya dia jatuh hati pada gadis yang tak memiliki kekuasaan atau kedudukan yang dapat membuatnya lebih cepat naik takhta," oceh Damian memalingkan wajahnya ke arah lain.
Damian melihat ada sebuah bayangan yang melintas di jendela tempat dirinya masuk.
"Jangan melakukan apapun tanpa perintah dariku," titah Damian pada bayangan tersebut yang tak lain adalah sekutunya.
Karena sudah tak ada sekelebat bayangan itu lagi, akhirnya Damian kembali memfokuskan tatapannya ke arah Harmoni kembali.
"Kenapa pria yang selalu melindungimu tak ada rasa waspada sama sekali? aku bisa kapan saja melakukan apapun padamu saat dia mulai lengah seperti ini," racau Damian yang merasa keamanan Harmoni sangat longgar saat ini.
Tangan Damian bergerak naik ke atas hendak mengeluarkan kekuatannya terhadap Harmoni namun, tangan kekar lainnya langsung menangkis tangan kekar Damian yang sudah mengeluarkan kobaran api.
"Apa yang ingin kau lakukan padanya?" tanya pria yang mencegah pergerakan tangan Damian dengan cukup kuat.
Anak dari Dalgon itu langsung menoleh ke arah tangan tersebut sembari menatap dengan tatapan kesal karena telah berani mengganggunya.
"Ah, ternyata dirimu, aku kira siapa sepupuku yang paling tampan," sapa Damian membuat urat di tangan Dewa yang menahan tangan Damian langsung menyembul keluar.
"Jangan perna berani untuk menyentuhnya," ancam Dewa mempererat genggaman tangannya pada tangan Damian.
"Hohoho, sabar sepupu, jangan terpancing emosi seperti itu, aku tak ada niatan melakukan apapun pada gadismu ini," sindir Damian yang ingin memancing respon Dewa terhadap Harmoni seperti apa.
"Dia bukan gadisku, dia orang yang memiliki sebagian dari barang milikku jadi, aku harus melindunginya sampai kristal itu kembali ke tanganku kembali," jelas Dewa pada Damian.
"Tapi sebelum itu, dia harus enyah dari bumi ini karena kristal biru itu milik ayahku, bukan milikmu," jelas Damian pada Dewa.
"Kristal itu milik pewaris kerajaan Amoora dan ayahmu bukan bagian dari pewaris itu karena dia sudah diam-diam mempelajari sihir terlarang dan akibatnya, ia harus di usir dari kerajaan karena sudah berani melanggar aturan raja sebelumnya yang tak lain adalah kakek kita," jelas Dewa yang mengingatkan kembali siapa pemilik kristal itu.
"Cukup! jangan berani mencela ayahku, kau tak tahu apapun jadi, lebih baik kau diam dan nikmati semua apa yang saat ini kau miliki karena sebentar lagi, semua hak ayahku akan segera kembali padanya," tutur Damian dengan nada sombongnya pada Dewa.
"Jangan bermimpi, Damian! kristal itu tahu mana keturunan yang sesungguhnya baik untuk kerajaan kelak dan mana keturunan yang bisa membuat kerajaan binasa karena keserakahannya," sarkas Dewa pada Damian.
"Jaga perkataanmu, Dewa! jangan lancang mulutmu itu, berani sekali kau mengoreksi keturunan siapa yang paling baik di planet Amoora," teriak Damian membuat Harmoni bergerak membenarkan posisinya.
Dewa melirik ke arah gadis itu.
"Jangan membuat gaduh di sini, lebih baik kau pergi dari sini, sebelum ...."
"Sebelum apa? gadis itu bangun? hah, kau sungguh perhatian padanya, apa mungkin kau sudah jatuh ...."
"Aku wajib melindungi siapapun yang menjadi pemilik kedua kristal biru itu tak terkecuali Harmoni," jelas Dewa pada Damian.
Senyum licik Damian langsung terlihat.
"Saatnya berolahraga malam," ujar Damian yang langsung di barengi oleh datangnya beberapa iblis ke dalam kamar Harmoni.
"Mereka akan membuatmu kalah dan pastinya akan mengambil kristal yang berada pada Harmoni," ujar Damian yang mengangukkan kepalanya, agar para anak buahnya itu mulai menghajar Dewa.
Satu persatu iblis yang berada di bawah kekuasaan raja Gondalia, mulai menyerang Dewa dan dengan sekali sentil saja, iblis itu sudah melayang ke angkasa tanpa harus mengeluarkan bayak tenaga.
"Cukup mudah," gumam Dewa yang langsung menyerang semua iblis di hadapannya tanpa banyak basa-basi lagi karena keselamatan Harmoni yang utama.
Sreet sreet sreet
Bagai suara pedang yang menghunus mangsanya, suara kekalahan para iblis itu langsung terdengar oleh telinga Damian.
"Kenapa dia mengalahkan para iblis itu dengan sangat mudah? bukankah Dewa selama di bumi tak melakukan latihan apapun?" tanya Damian yang heran dengan perkembangan Dewa.
Dewa melihat ke arah Damian yang mana saat ini, pria itu tengah menatap ke arahnya.
"Apa kau ingin berakhir seperti mereka? atau lebih parah dari para antek-antekmu itu?" tawar Dewa yang mulai meregangkan otot-otot leher dan lengannya sampai bunyi peraduan tulang-tulang pria itu dapat di dengar oleh Damian.
"Aku tak bisa melawan sekarang, dari tingkat kemampuan yang dimiliki Dewa saat ini, aku pasti akan di lahap habis olehnya, lebih baik aku mengalah saja demi keamanan bersama," gumam Damian dalam hatinya.
Damian berbalik badan membelakangi Dewa namun, sebelum itu, pria bertopeng tersebut masih mengeluarkan suaranya.
"Kau tunggu saja, lain waktu, aku pasti akan mengalahkanmu," ancam Damian yang langsung mengibaskan jubahnya dan sedetik kemudian, pria itu sudah menghilang dari pandangan mata Dewa.
"Sudah aku duga, dia pasti akan datang kemari," tebak Dewa yang langsung beralih menatap ke arah Harmoni yang masih tertidur pulas tanpa terasa terganggu sedikitpun oleh kekacauan yang dibuat Damian dan anak buahnya.
Dewa duduk di atas kasur milik Harmoni. Pria itu masih menatap ke arah gadis yang sangat ketakutan pada iblis suruhan pamannya.
"Aku akan melindungimu," gumam Dewa.
Keesokan harinya, di dalam kamar dengan cat tembok berwarna putih gading sama seperti warna sprei yang digunakannya, gadis cantik dengan anggunnya bangun dan menguap sembari menutup mulutnya.
"Seg ...."
Ucapan Harmoni seketika terhenti dengan tangan yang akan melakukan peregangan pada otot-otot tangannya karena kedua indera penglihatannya menangkap sosok pria yang masih tertidur pulas di dalam kamarnya namun, pria itu tertidur di sofa kamar Harmoni karena kamar gadis itu memang ada tempat untuk sekedar hanya bercengkrama ria, jika ada seseorang terdekatnya datang.
"Kenapa dia bisa ada di sini?" tanya Harmoni pada dirinya sembari turun dari tempat tidurnya untuk melihat keaslian pria yang ia lihat saat ini.
Karena ocehan Harmoni yang masih dapat dibilang cukup berisik, sehingga menganggu tidur pria dengan suhu tubuh sedingin es tersebut.
"Sudah pagi?" tanya Dewa langsung menegakkan posisinya karena tadi posisi pria itu tidur dengan posisi terduduk di sofa.
"Sejak kapan kau berada di sini?" tanya balik Harmoni yang tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Dewa padanya.
"Aku bertanya padamu dan kau malah balik bertanya padaku," serang Dewa membuat mata Harmoni melotot pada Dewa.
"Pertanyaan yang mau ajukan padaku sangat teramat tak penting jadi, jawab saja pertanyaanku," sinis Harmoni langsung berkacak pinggang di hadapan Dewa.
Pria itu tersenyum bukan merasa kesal pada Harmoni.
"Jika kau ingin marah-marah padaku, cuci dulu wajahmu dan sikat gigi lebih dulu, baru kau bisa sepuasnya menceramahi aku," ledek Dewa pada Harmoni membuat gadis itu spontan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sebagai berlari kecil ke arah kamar mandi.
"Dasar pria menyebalkan," umpat Harmoni yang sudah masuk ke dalam kamar mandinya nmaun, dapat di dengar oleh Dewa.
"Dasar gadis cerewet! tidur atau tidak, selalu saja merepotkan aku," cicit Dewa membuat pria itu menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, sehingga posisi duduk pria itu seperti orang tengah berbaring.
Di tempat lain, Mona sudah terbangun dengan tangan yang menyentuh kepalanya yang masih terasa pusing.
"Aku kenapa?" tanya Mona yang berusaha bangun sendiri karena memang tak ada orang yang membantunya.
Mona sudah berdiri tegak dengan susah payah namun, saat gadis berambut pendek itu sudah akan melangkahkan kakinya menuju arah kamar mandi, kepalanya terasa berputar dan Mona sudah hampir limbung namun, dengan sigap, Hicob menahan tubuh gadis itu.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Hicob dengan suara terdengar cukup cemas akan keadaan Mona saat ini.
"Kepalaku pusing," tutur Mona pada Hicob.