Dewa dan Harmoni masih saling tatap satu sama lain.
Keduanya masih tak ada yang mau membuka suara, terutama CEO HCK Corp. tersebut karena menurutnya, apa yang akan ia sampaikan pada Dewa sedikit menjurus ke arah hal yang berbau sensitif.
"Haruskah aku mengatakannya? tapi, bagaimana, jika pria itu malah menganggap aku memiliki perasaan khusus padanya, padahal waktu itu ia mengatakan, jika ia tak sengaja melakukan ciuman itu, sedangkan aku masih memikirkannya sampai saat ini, entah apa yang harus aku lakukan, mengatakan atau tidak, tapi, jika aku tak mengatakannya, ia pasti berpikir, jika ucapanku hanya mengada-ada saja," timang Harmoni atas semua pemikiran yang saat ini mulai bergelut dalam pikirannya.
Dewa masih terus menatap gadis itu tanpa mengatakan apapun karena Dewa masih menunggu, jawaban apa yang akan diberikan oleh Harmoni padanya.
"Lupakan saja!" tutur Harmoni membuka suara karena ia enggan memberitahu Dewa alasan mengapa pria yang berada di hadapannya saat ini berbeda dengan Jason.
"Tidak bisa! kau harus menjawab pertanyaan itu," kukuh Dewa yang masih menuntut, agar pertanyaan yang diajukannya segera di jawab oleh Harmoni.
"Percuma," oceh gadis itu dengan tatapan datarnya karena ia berpikir, Dewa juga tak akan terpengaruh dengan perkataan dirinya dan terlebih lagi, ia dan Dewa tak ada hubungan apapun selain teman tak lebih dari itu.
"Apanya yang percuma, cepat katakan jawaban dari pertanyaanku tadi," Dewa Dewa mulai membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak lagi.
Bukannya menjawab, gadis itu malah melengos dan pergi dari hadapan Dewa menuju ke arah kaca rias untuk mengoleskan krim siang pada wajahnya karena menurutnya, berdebat dengan Dewa tak akan ada gunanya.
Sebelum Harmoni duduk di kursi meja rias tersebut, langkah kaki gadis itu sudah terhalang oleh tubuh Dewa yang menjulang tinggi dan wajah Harmoni sedikit mendongak ke atas karena tinggi mereka yang memang tak seimbang.
"Katakan jawabannya sekarang, atau ...."
Dewa menghentikan ucapannya karena jempol pria itu sudah berada di bibir Harmoni.
"Bibir ini yang akan menjadi sasarannya," ancam Dewa tersenyum pada Harmoni dan gadis itu tak mau kalah dengan Dewa.
Bukannya menepis tangan pria itu, Harmoni justru melingkarkan kedua tangannya pada leher Dewa dengan raut wajah menggoda.
"Kau yakin ingin melakukan hal itu? bukankah kau sendiri yang mengatakannya, jika waktu itu hanya sebuah ketidak sengajaan saja dan ucapanmu itu sungguh membuatku sadar, jika aku sudah salah membiarkan ciuman pertama dan keduanku kurelakan pada pria macam dirimu," jelas Harmoni yang sekaligus menjawab pertanyaan dari Dewa sedari tadi.
Dewa masih diam tak berkata apapun pada Harmoni, ia hanya fokus menatap setiap inci wajah gadis bermarga Sudarmanto tersebut.
Sekali tarik, pinggang Harmoni sudah berada dalam belitan tangan kekar Dewa yang kini mengikis jarak diantara mereka berdua.
"Aku tak main-main dengan ucapanku, Nona! ini bukan hanya sekedar gertakan saja, tapi sebuah desakan, agar kau mau menjawab semua pertanyaan yang aku berikan padamu," tutur Dewa semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Harmoni.
Spontan, wajah gadis itu di tarik ke belakang, menolak untuk melakukan interaksi yang lebih sensitif lagi dengan Dewa.
"Jangan buat aku salah paham lagi, aku tak ingin kau mengatakan, jika semua itu tidak sengaja kau lakukan dan aku akan menjawab semua pertanyaanmu, agar mau mau menjauh dariku," jelas Harmoni masih dalam belitan tangan kekar Dewa.
"Katakan!"
"Perbedaan dirimu dan Jason adalah, kau yang pertama merebut ciuman pertama dan keduaku jadi, kau lebih berhak memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada dia karena kau sudah seenaknya membuat bibir ini tak segel lagi jadi, kau yang harus melindungiku, baik itu sekarang ataupun nanti, dengan lepaskan kristal ini atau tidak, kau yang harus menjagaku, bukan Jason!" jelas Harmoni panjang lebar.
"Jadi perbedaanku dan Jason itu?" tanya Dewa kembali.
"Ya!"
"Dan aku harus menjagamu seumur hidupku?" tanya Dewa lagi dan lagi.
"Jika perlu, lakukan saja, lagipula, umurmu lebih panjang daripadanya aku, jadi untuk apa kau bimbang menjagaku yang umurnya dapat dikatakan pendek ini," oceh Harmoni membuat Dewa semakin menarik pinggang gadis cantik itu karena arah pembicaraan Harmoni sudah tak terkontrol lagi.
"Aku bukan tipe orang yang mau merugi dalam melakukan apapun, baik itu pekerjaan atau hubungan timbal balik seperti saat ini," jelas Dewa yang sebenarnya hanya omong kosong belaka.
"Jadi?" tanya Harmoni tak paham akan maksud perkataan Dewa.
Cup
Tanpa pikir panjang, kecupan manis mendarat pada bibir Harmoni dengan waktu yang cukup lama karena Dewa sungguh merasa nyaman melakukan kecupan tersebut dengan Harmoni.
"Apa yang kau lakukan? kenapa kau lagi-lagi mencuri kecupan itu dariku," kesal Harmoni langsung memukul lengan Dewa bertubi-tubi.
"Karena aku tak mau merugi menjagamu dan lagi, kau sudah memberikan cap padaku, jika aku pria pertama yang mencuri kecupan itu, sekalian saja aku lakukan terus menerus, bukankah sama saja, aku melakukannya sekali, dua kali, atau tiga kali, atau bahkan berkali-kali, kau sudah memberikan lebel padaku, jika aku pria yang sudah membuat bibirmu tak bersegel lagi," jelas Dewa membuat wajah Harmoni memerah karena malu.
Benar apa yang dikatakan oleh Dewa, dirinya memang sudah memberikan lebel pada Dewa karena pria itu sudah melakukan pencurian pada bibirnya yang masih bersegel.
Wajah Harmoni menunduk karena ia sudah tak ada nyali untuk menatap wajah Dewa yang saat ini menampilkan sebuah senyum kemenangan.
"Jangan malu begitu, kita bukan pertama kali berci ...."
"Diam! kita tak ada hubungan apapun, jangan sering melakukan hal itu, jika kau sudah memiliki calon istri, aku takut dia marah, jika dia tahu, calon suaminya mencium perempuan lain selain dirinya," tutur Harmoni tak ingin perasaannya pada Dewa semakin jauh tumbuh.
"Apa kau cemburu?" tanya Dewa pada Harmoni dan wajah gadis itu yang awalnya menunduk, kini berganti menengadah menatap wajah Dewa.
"Apa aku ada tampang wajah cemburu? bagaimanapun kau bisa seyakin ini, Dewa!"
Pria bermata safir itu semakin melebarkan senyumnya kala Harmoni memanggil namanya tanpa embel-embel apapun.
"Wajahmu tak mengatakannya, tapi perkataan yang keluar dari mulutmu yang mengungkapkan semuanya," tutur Dewa kembali memancing Harmoni, agar gadis itu mengaku.
"Tidak!"
"Yakin?" tanya Dewa tak mau kalah.
"Yakinlah!"
"Sungguh?" tanya Dewa lagi.
"Iya!"
"Tapi ...."
"Jika kau banyak bicara, aku tak mau berbicara padamu lagi," ancam Harmoni langsung melepaskan belitan tangan kekar Dewa pada pinggangnya.
Gadis itu segera melakukan ritual yang sempat tertunda karena ulah Dewa yang menghambatnya.
"Jangan seperti itu mengoles krim pada wajahmu, nanti kulitmu iritasi," ingatkan Dewa pada Harmoni yang mengusap dengan gerakan kasar pada permukaan kulit wajahnya.
"Terserah aku!"
Setelah selesai menggunakan krim pada wajahnya, Harmoni langsung berjalan ke arah walk in closet untuk berganti pakaian karena pagi ini, ia harus menghadiri rapat di kantornya.
"Mau kemana?" tanya Dewa pada Harmoni.
Tubuh Harmoni yang sudah hampir ditelan oleh ruangan yang akan dimasukinya, seketika menghentikan gerakan kakinya, agar tak terus melaju.
"Kenapa? mau ikut?" tanya Harmoni sengaja mengajukan pertanyaan itu pada Dewa.
"Kemana?" tanya Dewa berlagak polos.
"Ganti baju, mau ikut?" tawar Harmoni lagi dan Dewa hanya menggelengkan kepalanya pertanda, jika pria itu menolak ajakan Harmoni.
"Wah, padahal sayang, kesempatan langka seperti ini tak akan aku tawarkan pada pria lain, apa kau yakin tak ...."
"Jika kau tetap banyak bicara, aku pastikan kau habis hari ini," ancam Dewa yang sudah berganti warna lensa mata menjadi sedikit lebih jingga dan Harmoni tahu, jika pria itu saat ini sudah masuk dalam mode tertarik terhadap lawan jenisnya.
Harmoni buru-buru masuk ke dalam, mengunci pintu ruangan itu dengan tubuh yang bersandar di balik pintu kamar tersebut dengan napas yang terengah-engah dan tangan Harmoni menyentuh bagian rongga di mana, jantungnya berada.
"Apa dia sungguh bernafsu padaku? aku hanya ingin mengerjainya saja," gumam Harmoni yang langsung berjalan menuju lemari pakaiannya.
Sementara Dewa, masih dalam keadaan memejamkan matanya dengan kepala sudah menengadah ke atas menatap langit-langit rumah itu.
"Dasar gadis nakal! bisa-bisanya dia memancingku menggunakan cara itu, untung aku masih bisa menekan perasaan ini lebih dalam lagi, tapi bayangan tubuhnya yang tanpa sehelai ...."
Dewa menggelengkan kepalanya berkali-kali karena ia tak ingin membayangkan hal yang tak mungkin pernah terjadi.
Dia dan Harmoni diibaratkan dua elemen yang berbeda yang tak mungkin bisa menyatu.
Dewa bagian dari planet lain yang ditakdirkan menjadi seorang raja, sementara Harmoni, manusia yang sudah memiliki takdir menjadi orang yang sukses di bumi.
Pertemuan mereka hanya sebuah lintasan sebagian dari takdir itu, agar masalah dalam hidup Harmoni cepat teratasi.
Di dalam kamarnya, Mona masih dalam keadaan lemah tak berdaya dan Hicob masih belum datang untuk membawa penawar dari kekuatan iblis itu itu.
"Haus!"
Suara Mona yang meminta air putih seketika membuat gadis itu mau tak mau harus berusaha bangun sendiri karena tak ada yang tahu kondisinya saat ini selain Hicob.
Harmoni menyangka, jika asistennya itu dalam keadaan aman bersama Hicob namun, semua dugaan Harmoni berbanding terbalik dengan apa yang ia pikirkan.
Keadaan Mona saat ini sungguh memprihatinkan karena tak ada satu orangpun yang dapat membantunya.
Mona melihat segelas air putih berada di atas nakasnya dan ia berusaha menjangkau gelas berisi air tersebut, agar dapat menyirami tenggorokannya yang terasa tandus.
Saat jemari tangan Mona sudah hampir menyentuh gelas kaca tersebut, sebuah tangan besar diikuti lantunan suara baritonnya terdengar.
"Kenapa tak meminta tolong pada seseorang saja, bagaimana, jika airnya tumpah dan gelasnya pecah, itu akan sangat berbahaya padamu karena kondisimu saat ini sudah tak sekuat dulu, jadi jangan biarkan kau dalam keadaan yang lebih membahayakan lagi, apa kau ingin lebih lemah dari sekarang ini?" tanya Hicob memarahi Mona yang cukup bebal.
"Tidak, aku ingin sembuh, cepat ambilkan airnya, aku sangat haus sekali," pinta Mona pada Hicob dan pria itu dengan gerakan yang masih cukup kesal, mengambil gelas tersebut dan memberikannya pada Mona.
Mona yang sudah dalam posisi terduduk di tempat tidurnya, langsung menerima gelas berisi air tersebut dan meminumnya dengan gerakan sangat cepat, seperti orang yang tak pernah minum sama sekali.
"Jangan terburu-buru, pelan-pelan saja, nanti kau bisa tersedak," ingatkan Hicob pada Mona.
"Kau tenang saja, tidak akan apa-apa karena aku memang benar-benar sangat haus jadi, aku tak akan tersedak selama masih menggunakan gelas untuk meminumnya, jika menggunakan ember, aku pasti tersedak," tutur Mona yang sekaligus ingin bergurau dengan Hicob dan pria itu menanggapinya dengan senyuman.