Harmoni saat ini sudah berada di sebuah pintu dan pintu tersebut penghubung antara taman belakang rumah Dewa.
Gadis itu tanpa sadar berlari kecil ke arah pintu tersebut saat Dewa mencoba menggodanya.
Harmoni menyentuh bagian perutnya yang terasa sedikit keroncong menahan lapar.
"Jika bukan karena ulahnya itu, pasti saat ini aku sudah makan," kesal gadis itu memanyunkan bibirnya.
Rasa penasaran tiba-tiba menghinggapi CEO cantik tersebut kala ia melihat sebuah pintu yang berada tepat di hadapannya.
"Pintu apa ini?" tanya Harmoni penuh rasa penasaran.
Gadis itu masih menelisik setiap sudut ruangan tersebut, di mana ruangan itu terdapat jendela yang cukup besar menampilkan apa saja yang berada di luar sana.
Harmoni berjalan ke arah jendela tersebut dan menyingkap sedikit gorden transparan yang menghalangi keindahan di luar sana.
Harmoni mulai mengintip pemandangan apa yang berada di luar sana dan ternyata ada sebuah air terjun yang sangat indah dengan dekorasi sekitar tempat itu seperti sebuah taman yang sangat asri dan sejuk.
Tanpa pikir panjang, Harmoni langsung membuka pintu tersebut.
Terpaan angin sejuk tak dapat Harmoni tampik. Padahal saat ini tepat waktu tengah hari dan udara di rumah itu masih saja seperti pagi hari.
Harmoni melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga menuju arah taman, di mana air terjun sebagai ikon taman tersebut.
Kaki tanpa alas milik Harmoni seketika menyentuh rerumputan yang terasa masih basah pada bagian telapak kakinya karena taman belakang rumah Dewa itu, memang sangat dekat dengan pegunungan jadi, tak heran, jika embun selalu membasahi tumbuh yang berada di sekitar pekarangan rumah Dewa.
Harmoni terus menapaki kakinya menyusuri tiap jengkal taman belakang tersebut.
Saat sudah hampir sampai tepat di hamparan bunga berwarna-warni yang berada di hadapannya, akhirnya langkah gadis itu terhenti.
Kedua manik mata Harmoni menatap setiap tanaman yang ada di hadapannya.
Indah, wangi, dan menenangkan.
Tiga kata itu yang terlintas dalam benak Harmoni karena panorama taman yang begitu murni terpampang nyata di hadapannya saat ini.
Gadis itu duduk berjongkok sembari menyentuh bunga berwarna Lilac dengan bagian tengah berwarna kuning.
"Indah sekali," gumam Harmoni sambil tersenyum menatap bunga tersebut.
Arah tatapan Harmoni teralih pada bunga matahari dengan satu hewan yang menghinggapi bunga tersebut.
Secara perlahan gadis itu mendekati bunga tersebut dan memperhatikan hewan kecil penghasil madu tersebut mulai bekerja melalukan tugasnya mengumpulkan madu dari setiap bunga yang ia hinggapi.
Terpaan angin membuat tangkai bunga matahari tersebut sedikit berayun dan lebah tersebut nampak siaga, agar dirinya tak ikut terbawa angin yang melintasi daerah itu.
"Apa kau tak lelah mengumpulkan semua sari buah dari semua bunga yang kau hinggapi? kenapa kau seperti seorang pria yang tak setia hanya pada satu bunga saja, kenapa kau harus hinggap di setiap bunga yang lain," cicit Harmoni seakan tengah berbicara dengan hewan pengisap sari bunga tersebut.
Tanpa di sadari oleh Harmoni, ternyata seorang pria tampan memperhatikan dirinya dari anak tangga menuju arah taman tersebut.
Suara deburan air terjun yang menyita perhatian Harmoni, akhirnya gadis itu mulai fokus dengan air terjun tersebut.
Harmoni berdiri dari posisi duduknya karena ia sudah selesai melihat setiap bunga yang tumbuh di halaman tersebut.
Langkah kaki Harmoni mengikuti jalan, di mana jalan tersebut setiap pinggir kanan kirinya di tanami bunga-bunga berwarna peach yang sangat kalem.
Gadis itu nampak tak henti-hentinya melihat ke arah kanan kirinya karena setiap jarak 1 meter, warna bunga di taman itu berbeda, yang awalnya berwarna peach, setelah satu meter kemudian, berubah berwarna pink, orange, dan yang terakhir berwarna putih.
Setelah sampai di titik terakhir kakinya menapaki rumput dengan diiringi tanaman bunga yang berwarna-warni, akhirnya kedua mata Harmoni kembali disuguhkan oleh pemandangan yang tak dapat gadis itu sangka sebelumnya.
Ternyata bukan hanya air terjun yang berada di taman itu, melainkan air terjun itu jatuh ke bawah dan menghasilkan sebuah danau yang sangat indah dengan beberapa angsa putih yang berenang di danau tersebut.
"Apa pria itu suka memelihara angsa?" tanya Harmon pada dirinya sendiri.
Harmoni terus memperhatikan air terjun yang senantiasa menjatuhkan airnya ke bawah dan mengalir di danau yang sangat indah itu.
"Kenapa kau seenaknya kemari?" tanya seorang pria dengan suara cukup lantang karena posisi Dewa sepertinya berada cukup jauh dari jarak Harmoni berdiri saat ini.
Gadis itu menoleh ke arah sumber suara tersebut dan pria itu ternyata adalah Dewa.
"Kau sedang berbicara padaku?" tanya Harmoni yang tak terlalu mendengar suara Dewa karena deburan air terjun yang jatuh menghilangkan kepekaan dari indera pendengarannya.
Dewa yang paham hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan.
"Apa?" tanya Harmoni nampak sedikit tak antusias bertanya pada Dewa.
Pria itu langsung menggunakan kekuatannya untuk mendekat ke arah Harmoni dan kedua mata gadis itu seketika membola melihat gerakan super cepat Dewa.
"Apa yang kau lakukan? kenapa tiba-tiba mendekat?" tanya Harmoni penasaran karena ia saat ini sepertinya tak menyinggung pria yang berada dihadapannya tersebut.
"Kau harus makan siang," pinta Dewa dengan suara cukup datar.
"Aku tidak lapar," tolak Harmoni yang masih menjaga harga dirinya karena ia tak ingin di olok-olok oleh Dewa perihal ia mendekorasi makanannya dengan bentuk hati.
"Jangan ...."
Belum juga Dewa menyelesaikan ucapannya, suara dentuman dari perut Harmoni terdengar oleh pria tersebut dan seketika keduanya terkejut namun, sedetik kemudian, Harmoni menundukkan kepalanya karena kedua pipinya saat ini sudah mulai memerah menahan rasa malu, sementara Dewa hanya bisa tersenyum penuh kemenangan melihat kelakuan Harmoni yang begitu menggemaskan.
"Yakin kau tidak lapar? apa mau aku habiskan saja semua makanan yang kau buat itu?" tanya Dewa menggoda Harmoni lagi.
"Habiskan saja!" sahut gadis itu masih dengan wajah menunduk ke bawah menahan rasa malunya yang tak kunjung berkesudahan.
"Yakin?" tanya Dewa kembali ingin memastikan kepada gadis tersebut.
"Yakinlah! makan saja, jika kau mau, aku juga tak lapar," jelas Harmoni masih berpura-pura tak lapar.
Sudah kedua kalinya suara bel dari dalam perut Harmoni memanggil dan gadis itu saat ini semakin bertambah malu.
"Yakin kau ...."
Harmoni mengangkat kepalanya menatap tajam ke arah Dewa.
"Jika kau sudah tahu aku sedang kelaparan, jangan banyak bertanya, berikan saja makanan itu padaku, bukan hanya membual saja," serang Harmoni yang sudah tak tahan menahan rasa laparnya.
"Katanya tidak lapar, tapi sekarang bilang lapar, jadi, yang benar yang mana?" tanya Dewa masih ingin menggoda Harmoni.
"Ih, kau ini ya! aku berbohong padamu, aku sebenarnya sangat lapar, PUAS!"
Setelah gadis itu mengeluarkan semua unek-unek dalam hatinya, akhirnya Harmoni berbalik membelakangi Dewa dengan wajah penuh rasa kesal dan amarah.
Tiba-tiba sebuah piring dengan sajian yang ia buat berada di hadapannya saat ini.
Masakan tersebut seperti tak tersentuh apapun.
Dari mulai bentuk, dekorasi, dan juga bentuk hati dari saus yang ia buat, masih sama persis seperti terakhir kali ia meninggalkan masakan buatannya sebelumnya berada di taman itu.
"Makanlah!"
Arah tatapan mata Harmoni menatap ke arah makanan buatannya dan gadis itu mengikuti arah lengan pria kekar yang masih memegangi makanan buatan dirinya.
"Kenapa masih utuh? kau tidak makan?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Tidak!"
"Kenapa?" tanya gadis itu yang berpikir, jika makanannya mungkin terasa tak cocok di lidah Dewa.
"Aku menunggumu," sahut Dewa membuat jantung gadis itu berdetak lebih cepat dari biasanya.
Seperti ribuan bedug yang ditabuh, jantung Harmoni nampak mulai tak terkendali.
"Kenapa harus menunggu? kau bisa makan sendiri, 'kan?"
"Kita masak bersama-sama jadi, makan pun harus juga bersama," jelas Dewa pada gadis itu.
Harmoni melihat ke arah makanan tersebut. "Hanya makan ini saja?" tanya Harmoni yang terlihat meragukan sesuatu.
"Tentu saja, apa kau masih mau memasak makanan lain?" tanya balik Dewa pada CEO cantik itu.
Harmoni nampak menghela napas karena ia berpikir kenapa ada seorang pria yang tidak peka seperti Dewa ini.
"Aku ini lapar, jika aku hanya makan telur gulung itu saja, cacing dalam perutku pasti akan terus berdemo," jelas Harmoni memutar bola matanya jengah.
Dewa tersenyum sembari menjentikkan jarinya tangannya.
Sudah ada dua piring nasi yang berada tepat di kursi santai taman tersebut.
"Coba kau lihat itu," instruksi Dewa pada Harmoni dan gadis tersebut mengikuti semua instruksi dari Dewa.
"Bagai ...."
Harmoni seketika bungkam tak berniat melanjutkan ucapannya kembali karena ia tahu, jika pria yang bersamanya saat ini bukan pria sembarang, melainkan alien dari planet lain jadi, jika hanya memunculkan nasi saja bisa, apalagi jika dirinya meminta dimunculkan seekor tireks, pasti hewan yang sudah punah itu juga akan berada di sana detik itu juga.
"Mari makan!" ajak Dewa yang berjalan lebih dulu ke arah kursi santai taman tersebut dan Harmoni mengekori pria itu sembari berkicau ria, "Dasar pria tak bisa ditebak!"