Dewa beralih pada bagian kening gadis bermarga Sudarmanto tersebut, bukan pada bagian yang di gadang-gadang akan mendarat pada bibir manis seorang CEO cantik bertubuh ramping penuh pesona seperti Harmoni.
Ciuman itu cukup lama dan semua orang bisa menelaah, jika ciuman yang diberikan oleh Jason adalah ciuman yang sangat tulus.
Hicob hanya tersenyum kecil saat ia menyaksikan tontonan live yang di perankan oleh Harmoni dan prianya.
Tiba-tiba, bandul kalung yang menggantung di leher Harmoni bersinar begitu terang dengan warna biru yang lebih pekat dari pada sebelumnya.
Hicob hendak memberitahu hal itu pada Dewa namun, saat bola matanya sudah mengarah pada sang bos, wajah Hicob terkejut kala Dewa menyentuh bagian tubuh, dimana letak jantungnya berada.
"Apa Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Hicob pada Dewa.
Entah mengapa tubuh Dewa terlihat sedikit lemas dari biasanya dan saat pria itu menatap ke arah Hicob, lagi-lagi pria yang menjabat sebagai asistennya itu dibuat terkejut dengan perubahan lensa mata bosnya.
Warna lensa mata Dewa berubah menjadi biru pekat.
"Anda menahan amarah?" tanya Hicob pada Dewa.
Pria itu hanya menggelengkan kepala namun, Hicob tau pasti, jika warna lensa mata kaumnya berubah menjadi semakin pekat, itu pertanda orang tersebut tengah menahan amarahnya.
"Aku akan memastikan sesuatu," gumam Hicob dalam hati.
"Pria itu sepertinya tak berhasil mencium, Nona Harmoni!" jelas Hicob dengan tatapan masih mengarah pada Harmoni karena ia tak ingin terkesan tengah menjelaskan hal sensitif tersebut pada Dewa.
Dewa menyandarkan bahunya pada sandaran kursi dan perlahan warna lensa mata pria itu kembali seperti biasanya.
Tepuk tangan semua orang menggema kala Jason sudah melepaskan bibirnya dari kening Harmoni.
Harmoni tersenyum kaku saat ia melihat ke arah sekelilingnya, dimana setiap pasang mata melihat ke arahnya dengan tatapan penuh bahagia, mungkin mereka berpikir, jika Harmoni dan Jason adalah sepasang kekasih, padahal kenyataannya mereka hanya sebatas partner kerja saja, tidak lebih dari itu.
Saat arah lensa mata Harmoni membidik bayangan seorang pria yang tak lain adalah Dewa, perasaan gadis itu seperti timbul sebuah rasa bersalah, entah itu rasa dari mana, padahal dirinya dan Dewa tidak memiliki hubungan atau keterikatan apapun.
"Apa mungkin karena kristal miliknya berada padaku jadi, perasaanku juga mewakili perasaan kristal ini?" tanya Harmoni masih menatap lekat ke arah Dewa dan pria itu tanpa sengaja juga melihat ke arah Harmoni.
Margaretha yang tak sengaja mengikuti arah penglihatan Dewa, ia curiga apakah mungkin Dewa mengenal gadis yang baru saja mendapatkan ciuman di keningnya oleh kekasihnya.
"Bapak kenal dengan gadis itu?" tanya Margaretha pada Dewa.
Lamunan Dewa yang awalnya terfokus pada Harmoni, akhirnya pria itu menjawab pertanyaan dari Margaretha, "Tidak, aku hanya pernah melihatnya di suatu tempat."
Margaretha hanya mengangguk dan tersenyum kecil saat mendengar penuturan dari mulut Dewa dan perasaan perempuan itu, juga mulai terasa lega, ia berpikir mungkin Dewa mengenal gadis itu, ternyata tidak.
"Syukurlah, jika Pak Dewa tidak mengenal gadis itu, jalanku untuk mendapatkan hati Pak Dewa masih sangat lebar," ujar Margaretha dalam hati.
Hicob diam-diam melirik ke arah Dewa, ia ingin memastikan, jika lensa mata tuannya itu sudah kembali normal dan benar saja, ternyata gumamannya itu cukup berpengaruh dan ia dapat memastikan, jika Dewa sudah memiliki perhatian khusus pada Harmoni.
Hicob masih belum bisa memastikan apakah perhatian itu tulus atau hanya sekedar karena kristal miliknya berada di tangan Harmoni, ia masih ingin memastikan hal itu lebih lanjut.
Setelah acara makan malam itu berlangsung cukup lama, akhirnya tepat pukul 9 malam, acara makan malam itu berakhir.
Satu persatu para pengunjung yang sudah menikmati hidangan mewah di resto tersebut, akhirnya mulai kembali ke kediaman masing-masing, tidak terkecuali dengan Dewa dan Harmoni.
Saat berada tepat di pintu keluar, Jason masih berbincang dengan Harmoni dan Dewa masih berada di dalam hendak berdiri dari kursi tempat duduknya untuk pulang namun, melihat pemandangan yang berada di depan matanya, membuat pria itu mengurungkan niatnya.
Akhirnya Dewa kembali duduk sembari merogoh benda pipih yang berada di saku celananya.
Entah apa yang yang dilakukan oleh Dewa dengan ponselnya, yang jelas mata pria itu tertuju pada Harmoni dan Jason, sementara tangannya masih sibuk dengan benda pipihnya.
"Maaf telah membuatmu merasa tidak nyaman dengan kejadian malam ini," tutur Jason merasa bersalah pada Harmoni karena ia juga tidak tahu, jika hari ini ini bertepatan dengan lahirnya anak pemilik Resto tersebut.
"Santai saja, tidak apa-apa, lagi pula ini hanya sebuah perayaan saja jadi, kau tidak perlu memikirkan hal itu terlalu jauh," tungkas Harmoni tersenyum manis pada Jason karena gadis itu tahu, jika pria tersebut merasa tak nyaman dengan kejadian tadi.
Mungkin karena mereka tidak memiliki hubungan apapun dan harus melakukan ciuman seperti tadi, meskipun hanya sebuah ciuman di kening saja, sepertinya itu cukup mempengaruhi perasaan Jason.
"Tetap saja aku merasa tak enak hati padamu, jika saja aku tahu lebih awal akan terjadi hal seperti ini, aku tidak akan mengajakmu makan malam,mungkin aku akan menundanya dan itu akan lebih baik," ujar Jason dengan raut wajah penuh rasa bersalah yang teramat sangat karena pria itu tahu, mungkin Harmoni merasa tak nyaman apalagi ia masih belum menanyakan secara langsung pada gadis itu, jika gadis itu sudah memiliki kekasih atau tidak.
"Jangan terlalu dipikirkan, aku tidak apa-apa, lagi pula ini hanya sebuah perayaan, bukan? jadi, jangan terlalu dipikirkan," ujar Harmoni menjelaskan agar pria itu tidak terlalu memikirkan hal yang memang menurutnya hal biasa saja.
"Tapi tetap saja aku merasa tak enak hati padamu, apalagi, jika kau sudah memiliki seorang kekasih, bagaimana aku harus menjelaskan pada kekasihmu," tutur Jason yang sudah tak bisa menahan rasa penasarannya terhadap Harmoni, ia ingin tahu lebih jelas lagi, gadis itu sudah memiliki seorang kekasih atau tidak.
"Hei, apa yang kau katakan, aku ini masih sendiri jadi, aku bebas menjalin hubungan dengan siapapun termasuk dirimu, kau adalah partner kerjaku jadi, orang lain tidak bisa menyangkal hal itu," jelas Harmoni agar perasaan Jason lebih lega lagi.
Senyum tampan di wajah Jason seketika terbit, kala ia mendengar penuturan dari mulut Harmoni sendiri, jika gadis itu masih sendiri dan dirinya memiliki kesempatan yang sangat teramat luas untuk mendapatkan hati gadis yang sedari dulu ia incar dan gadis itu adalah Harmoni, gadis yang menjadi motivasi pertama untuk dirinya membangun sebuah perusahaan yang pada akhirnya perusahaan tersebut diakui oleh dunia.
"Terima kasih untuk penjelasanmu," ujar Jason mengusap lembut puncak kepala Harmoni.
Gadis itu hanya bisa tersenyum menerima perlakuan manis dari Jason, ia tak menampik apa yang dilakukan oleh Jason karena menurutnya itu masih hal sebatas wajar, mungkin Jason memperlakukannya seperti itu karena pria itu menganggapnya seorang adik tak lebih dari itu.
"Boleh aku pulang?" tanya Harmoni sembari menggoda Jason.
"Tentu saja boleh, apa kau ingin pulang denganku?" goda balik Jason terhadap gadis cantik di hadapannya.
"Kenapa tidak? tapi kau harus merasakan kepalan dari tanganku ini," ancam Harmoni sembari memperlihatkan kepalan tangannya pada Jason.
Pria itu hanya tertawa kecil, ia tahu, jika gadis itu sudah memiliki kemampuan bela diri yang cukup mumpuni hanya untuk melumpuhkan musuhnya yang masih berada di level menengah ke bawah karena Jason sudah mengetahui kehidupan dari gadis yang ia sukai. secara diam-diam Jason mencari tahu bagaimana seluk-beluk kehidupan Harmoni.
"Pulanglah sebelum malam semakin larut," pinta Jason pada Harmoni.
"Baiklah, aku pulang dulu dan ... senang bisa bekerjasama denganmu, Tuan Jason!" pamit Harmoni pada Jason.
"Senang juga bisa makan malam denganmu, Nona Momo!" balas Jason balik.
Harmoni yang akan melangkah pergi dari resto itu, akhirnya mengurungkan niatnya.
Gadis itu masih melihat ke arah Jason dengan tatapan keheranan. "Momo? siapa itu Momo?" tanya Harmoni yang masih merasa asing dengan panggilan tersebut.
"Momo itu panggilan khusus dariku untukmu," jelas Jason pada Harmoni.
"Kenapa harus Momo? kenapa tidak Harmoni saja?" tanya Harmoni yang masih ingin tahu alasan mengapa Jason harus memiliki panggilan tersendiri untuknya.
"Karena kau perempuan spesial jadi, aku harus memiliki panggilan tersendiri untukmu," ujar Jason sembari tersenyum pada Harmoni.
"Spesial dari mananya? padahal aku sama seperti perempuan yang lain," elak Harmoni yang tak ingin dirinya dianggap spesial oleh Jason.
Jason memasukkan kedua tangannya pada saku celananya, pria itu menimpali Harmoni dengan senyumannya kembali. "Kau perempuan kuat jadi, kau perempuan yang sangat spesial," jelas Jason lebih mendetail.
Harmoni menganggukan kepalanya paham ia mengerti apa yang dimaksud kuat oleh Jason.
"Aku mengerti dan aku kali ini benar-benar akan pamit pulang, selamat malam Tuan Jason," pamit Harmoni lagi.
Jason lagi-lagi mengusap puncak kepala Harmoni lembut. "Selamat malam, Nona Momo!"
Harmoni tersenyum manis pada Jason dan gadis itu akhirnya melenggang menuju kearah mobil pribadinya sementara Jason masih memperhatikan setiap langkah Harmoni sampai gadis itu benar-benar masuk ke dalam mobilnya dan mobil pribadi berwarna silver itu keluar dari halaman resto tersebut.
"Semoga malam ini menjadi awal yang baik untukku mendapatkanmu, Momo! gumam Jason sembari tersenyum dan melangkah menuju arah mobil berwarna hitam miliknya.
Di sebuah meja terletak sebuah nomor dengan angka 7, nampak terlihat pria yang tengah tersenyum simpul, entah itu senyuman meledek atau senyuman acuh terhadap seseorang, yang jelas pria itu saat ini tengah memikirkan kata "Momo" yang mulai berputar dalam otaknya.
"Momo? apa tak ada nama panggilan lain selain itu? dan kenapa dia juga hanya protes macam itu, jika dirinya tak mau di panggil dengan kata "MOMO" ." gerutu Dewa yang tanpa sadar terdengar oleh telinga asistennya.
Hicob diam-diam mengulas senyumnya karena ia kali ini dapat memastikan, jika pangerannya sudah mulai ada ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan perempuan itu ialah Harmoni.
"Pria jika sudah jatuh cinta pada seseorang, pasti akan melakukan apapun yang dia inginkan, Pangeran!" celetuk Hicob yang sedikit ingin menggoda Dewa.
"Apa hal seperti itu diwajibkan atau memang harus dilakukan bagi seorang pria, jika pria itu mencintai seseorang?" tanya Dewa pada asistennya.
Hicob tersenyum penuh semangat sembari menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dewa, "Tentu saja itu keharusan dan kewajiban, jadi memang mau tidak mau harus dilakukan karena mendapatkan cinta yang diinginkan itu yang paling utama."
Dewa nampak memikirkan ucapkan asistennya namun, sedetik kemudian, pria itu berdiri dan menaikkan sedikit kedua bahunya acuh. "Sudahlah untuk apa aku memikirkan hal yang tidak penting, lagi pula pria yang bernama Jason itu yang sedang mengejar Harmoni jadi, untuk apa aku memikirkan hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku," cetus Dewa sembari berjalan keluar menuju ke arah mobilnya.
Hicob mengikuti Dewa dari belakang, pria itu asyik tersenyum-senyum sembari memikirkan ucapan Dewa.
"Anda saat ini boleh bersikap seperti itu, tapi suatu saat nanti, Anda pasti akan menyadarinya sendiri, jika kompetisi mendapatkan hati Nona Harmoni sudah di mulai saat ini dan Anda mungkin sudah sedikit terlambat untuk memulainya," pikir Hicob masih dengan senyum yang terukir indah di bibirnya.
Dewa melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, pikiran pria itu saat ini sungguh terasa kacau, semua kejadian tadi seketika berputar dalam otaknya.
"Kenapa hal itu masih berputar-putar dalam kepalaku? apa aku sudah mulai gila?" tanya Dewa pada dirinya sendiri sembari terus memacu kendaraan roda empatnya.
Saat melewati sebuah tikungan, tiba-tiba perasaannya tak nyaman dan seketika bayangan Harmoni berada dalam mobilnya serta beberapa orang berbaju hitam berada di luar mobil gadis itu, mereka semua mengelilingi mobil Harmoni sembari menggedor-gedor kaca mobil gadis tersebut.
Dewa menghentikan laju mobilnya, pria itu sudah berada di tepi jalan.
Dewa memejamkan matanya mengingat tempat pada bayangan yang muncul tadi untuk melakukan teleportsi ke tempat tersebut.
Sedetik kemudian, Dewa sudah tak berada dalam kursi kemudi. Pria itu sudah berada tepat di belakang mobil Harmoni dan ternyata gadis itu masih berada di dalam mobilnya, sementara sopir mobil itu masih bertarung dengan sekelompok orang-orang berbaju hitam.
Karena melihat sopirnya nampak kewalahan menghadapi 10 orang yang cukup tangguh itu, akhirnya Harmoni keluar dari mobilnya masih menggunakan gaun berwarna abu tuanya.
Dewa masih tak melakukan pergerakan apapun, ia masih melihat situasi untuk mendapatkan mangsanya sekali bergerak tanpa harus banyak-banyak membuang tenaga.
Harmoni merobek gaunnya dari perut sampai bawah. Awalnya Dewa terkejut namun, ternyata gadis itu sudah melakukan persiapan sebelumnya.
Gadis cantik nan ramping itu sudah mengenakan legging berwarna hitam dan sebagian gaun atasnya ia biarkan untuk menutupi tubuh bagian atasnya namun, perut Harmoni terekspos sempurna menampilkan pinggang ramping nan seksinya.
Dengan gerakan cepat, gadis itu sudah berada tepat di belakang sopirnya untuk melumpuhkan musuhnya yang hendak menyerang sang sopir dari belakang.
Harmoni mematahkan sebelah tangan pria berbaju hitam itu, sampai si empunya tangan menjerit kesakitan karena ulah Harmoni.
Ada yang ingin menyerang Harmoni namun, gadis itu malah menendang dua telur berharga milik pria tersebut dan akhirnya teriakan keluar dari mulut pria malang tersebut.
Harmoni tersenyum manis sembari berkata, "Masa depanmu sudah tamat, jika aku menambah satu kali lagi, masa depan itu benar-benar akan tamat."
Harmoni dan sopirnya masih terus melawan para pria berbaju hitam itu sampai pada akhirnya mereka semua terkapar tak berdaya namun, tanpa sepengetahuan Harmoni dan sopirnya, seorang pria pura-pura tak sadarkan diri dan mengeluarkan sebuah benda tajam hendak menancapkan benda tersebut tepat di kaki mulus Harmoni namun, beruntungnya Dewa menyadari hal itu dan secepat kilat, pria bermata safir tersebut mematahkan tangan kanan pria berbaju hitam tadi.
Suara tulang yang patah dapat di dengar oleh Harmoni dan gadis itu menoleh ke arah sumber suara, ternyata Dewa yang melakukan hal tersebut.
"Kau?" tanya Harmoni terkejut dengan keberadaan Dewa di sana.
"Dia ingin menggunakan benda tajam ini untuk melukaimu," jelas Dewa sembari memperlihatkan benda tajam yang di sebut oleh Dewa pada Harmoni.
"Darimana kau tahu aku ...."
"Itu tak penting, lebih baik kau pulang denganku saja," pinta Dewa pada Harmoni.
"Kenapa aku harus pulang denganmu?" tanya Harmoni cukup kesal, pasalnya pria itu seenaknya memerintah dirinya untuk pulang bersama, padahal rumahnya juga tak searah.
"Kau tak cukup aman dengannya saat ini," jelas Dewa menunjuk sopirnya dengan menggerakkan kepalanya.
Harmoni tersenyum kecil. "Dia itu sudah memiliki sertifikat terpercaya jadi, aku percaya padanya," tolak Harmoni.
"Coba kau lihat lengan kanannya! apakah dia masih bisa di bilang aman menjagamu saat ini?" tanya Dewa dengan nada suara cukup meninggi karena ia tak habis pikir dengan Harmoni, kenapa gadis itu sepertinya sangat anti berdekatan dengannya namun, saat bersama Jason, Harmoni tak terlihat seperti saat bersamanya.
Gadis itu melihat ke arah sopirnya dan benar saja, cairan merah segar sudah mengalir dari lengannya.
Harmoni bingung harus ikut dengan Dewa atau tetap bersama sopirnya yang tengah terluka.
"Aku ... aku yang akan menyetir mobilnya, biar dia yang di belakang," kukuh Harmoni.
Dewa memejamkan matanya menahan emosi yang hampir ingin meledak saat itu juga.
Tanpa sungkan, pria bermata safir itu menghampiri Harmoni dan menarik pergelangan tangan Harmoni.
Sebelum Dewa benar-benar membawa Harmoni pergi, ia masih berpesan pada sopir Harmoni, "Cepat obati lukamu, sebelum terinfeksi."
Dewa segera menarik tangan gadis bertubuh ramping tersebut ke arah mobilnya.
"Aku tak ingin pulang denganmu," berontak Harmoni yang ingin lepas dari genggaman tangan Dewa.
"Berisik!"
"Lepaskan aku! apa kau tidak dengar, hah? lepaskan!"
Harmoni terus memberontak dan Dewa juga sama tak pedulinya dengan suara teriakan gadis itu. Dewa terus menarik Harmoni ke arah mobilnya.
Sampai di depan pintu mobil, Dewa membuka pintu mobil itu dan memasukkan gadis tersebut ke dalam namun, sebelum itu, Dewa lebih dulu mengunci pintunya baik secara manual ataupun sihir, semua di lakukan oleh Dewa, agar Harmoni tak bisa kabur.
Kaca mobil itu terus digedor-gedor oleh Harmoni namun, tampaknya itu hanya membuang tenaganya saja dan berujung sia-sia.
Dewa sudah berada di dalam mobilnya dan entah kapan mobil itu sudah berada di sana, padahal Dewa hanya berteleportasi sendiri saja, tanpa mengendarai mobilnya. Itulah keajaiban seorang Dewa Abraham.
"Keluarkan aku!"
Lagi-lagi Harmoni tak mau diam, dia terus berteriak pada Dewa.
"Kau bisa diam tidak? aku ini ingin melindungi nyawamu, apa kau tak paham akan hal itu?" jelas Dewa cukup kesal.
"Nyawaku tak ...."
Tiba-tiba mobil itu berbelok menukik tajam dan berhenti.
Jantung Harmoni serasa ingin lepas dari rongganya karena ulah Dewa si pria alien.
"Kau ini ke ...."
Dewa mendekatkan wajahnya pada wajah Harmoni. "Jika kau tak diam, kau benar-benar akan aku cium kali ini," ancam Dewa dengan suara tegas tanpa ada gelagat kebohongan.
Jantung Harmoni semakin terasa ingin lepas kala deru napas Dewa yang begitu sejuk menerpa bagian wajahnya begitu terasa.
Mata safir itu itu masih senantiasa menatap ke arah kedua manik mata Harmoni.
"Apa kau sangat benci padaku?" tanya Dewa tiba-tiba.
Harmoni hanya diam tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Dewa padanya.
Gadis itu bingung harus menjawab apa, tapi dia tak benci pada Dewa.
"Aku ... aku ...."
Dewa memundurkan tubuhnya bersandar pada sandaran kursi mobil.
Pria itu nampak frustrasi dengan pertanyaan dan hal yang barusan ia lakukan pada Harmoni.
"Kenapa kau seakan menghindar dariku, tapi saat bersama pria itu, kau nampak menikmatinya," ujar Dewa masih dengan mata terpejam dan punggung bersandar pada sandaran kursi kemudi.
Harmoni menoleh ke arah Dewa, ia ingin menyangkal semua ucapan Dewa bahwa dia menikmati bersama dengan Jason namun, bibirnya terasa kaku untuk mengatakan hal itu karena gadis itu berpikir, untuk apa ia menjelaskan hal itu pada Dewa, sedangkan mereka berdua tak ada hubungan apapun hanya hubungan simbiosis mutualisme saja, tak lebih dari itu.
Karena tak ada jawaban dari mulut Harmoni, akhirnya senyum kecut di tarik oleh bibir Dewa.
"Maaf, seharusnya aku tak mengatakan hal itu, jelas saja kau lebih nyaman bersamanya, dia, 'kan kekasihmu," tutur Dewa mulai menginjak pedal gasnya tanpa ingin mendengar ucapan Harmoni lagi.
"Tapi aku ...."
"Sudah diam saja, aku sudah tahu, tak perlu kau jelaskan lagi," potong Dewa masih tak mau mendengar atau menatap ke arah Harmoni.
Harmoni akhirnya diam hanya menundukkan kepalanya sembari memainkan kedua jari telunjuknya.
Gadis itu bingung dengan perasaannya sendiri. Ia ingin sekali menjelaskan pada Dewa kalau dirinya dan Jason hanya sebatas partner kerja saja, tak lebih dari itu namun, pria itu tak mau mendengarkannya.
Di sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun hanya suara deru mesin mobil yang terdengar begitu nyaring di telinga keduanya, padahal deru mesin itu tak sebising mobil truk yang biasa membawa barang-barang berat.
"Ke kanan atau kiri?" tanya Dewa membuka suara karena ia tak tahu arah jalan menuju rumah Harmoni.
"Apanya?" tanya balik Harmoni yang masih belum paham akan pertanyaan yang diajukan oleh Dewa.
"Jalan rumahmu, di depan ada persimpangan jalan," jelas Dewa tak mau banyak bicara lagi.
"Kenapa masih bertanya? bukankah kau bisa menggunakan kekuatanmu untuk menemukan jalan menuju rumahku," ujar Harmoni.
"Jika ada kau, kenapa harus buang-buang energi untuk mengemudikan mobil ini secara otomatis menuju rumahmu, kau kira aku ini tak butuh asupan energi," jelas Dewa lengkap.
"Dasar, pelit energi," sungut Harmoni pada Dewa.
Pria itu hanya melihat ke arah Harmoni, sedetik kemudian, ia kembali fokus dengan alat kemudinya sembari berkata, "Gadis cerewet!"
Harmoni langsung memukul pergelangan tangan Dewa. "Rasakan kau, Pria Pelit!"
Dewa hanya meringis menahan sakit namun, sedetik kemudian, ia tersenyum kecil sembari terus mengemudi kendaraan roda empatnya.