Dewa terus melangkahkan kakinya menuju ke arah kamarnya, di mana kamar tersebut terletak di lantai dua rumahnya.
Selama perjalanan menuju arah kamarnya, Dewa tanpa henti menatap ke arah Harmoni yang saat ini menundukkan kepalanya dan menempelkan kepala tersebut tepat di ceruk leher pria yang berasal dari planet Amoora tersebut.
"Apa dia sudah tertidur?" tanya Dewa pada dirinya sendiri karena kedua kelopak mata Harmoni begitu rapat terpejam.
Gadis itu memang memejamkan matanya namun, kesadaran gadis tersebut masih bisa dikatakan 90% bertahan karena suhu tubuh Dewa yang dapat sedikit menetralisirkan rasa panas yang menyeruak dalam tubuhnya.
Dewa terus melangkahkan kakinya menuju ke arah kamarnya.
Setelah pria itu sudah berada tepat di depan kamarnya, perlahan pintu kamar itu terbuka secara otomatis dan Dewa masuk ke dalamnya dengan langkah yang cukup pelan.
Dewa tak langsung menuju ke arah ranjangnya, pria itu masih diam tepat di dekat ranjang dinginnya berada.
Dewa memejamkan matanya, kemudian melihat ke segala sudut kamar tersebut dan seketika ruangan itu memiliki suhu yang cukup dingin.
"Nyaman," gumam Harmoni masih terus memeluk tubuh Dewa erat.
Mendengar penuturan dari mulut Harmoni, Dewa kembali melirik ke arah gadis itu dan seketika senyum kecil mulai terlihat dari bibir pria tersebut.
"Memang itu tujuanku membawamu kemari," gumam Dewa yang tak dapat dengan jelas di dengar oleh Harmoni.
Setelah dirasa oleh Dewa suhu ruangan itu sudah cukup dingin, akhirnya pria itu secara perlahan membaringkan tubuh Harmoni di ranjang pribadi yang dimilikinya.
Setelah tubuh ramping milik Harmoni sudah berada di ranjang bersuhu dingin milik Dewa, akhirnya pria itu perlahan menggerakkan tubuhnya untuk berpindah tempat namun, pergelangan tangan Dewa ditahan oleh tangan seseorang yang tak lain adalah tangan Harmoni.
"Jangan pergi," pinta Harmoni pada Dewa dengan kedua mata yang terbuka cukup lebar tengah menatap ke arah Dewa.
"Tapi ranjang ini sudah sangat pas untukmu, suhu tubuhku tak akan mampu menghilangkan rasa panas itu untuk jangka waktu yang lama," jelas Dewa pada gadis itu.
"Tetap di sini," pinta Harmoni lagi.
"Tapi ...."
Karena Dewa tak mengindahkan permintaan Harmoni, akhirnya gadis itu berusaha sekuat tenaga bangun dari posisi tidur menjadi posisi duduk.
Harmoni menatap ke arah Dewa kemudian gadis itu tersenyum lembut pada pria itu. "Aku ingin kau di sini, aku takut, jika dia datang kemari lagi," jelas Harmoni sekuat tenaga menahan rasa panas pad tubuhnya.
Dewa yang dapat melihat raut wajah gadis itu yang tengah menahan rasa panas dalam tubuhnya, akhirnya Dewa menganggukkan kepalanya bersedia tidur di ranjang yang sama dengan Harmoni.
Tanpa aba-aba, Harmoni langsung menarik tangan Dewa, agar pria itu berbaring tepat di sampingnya.
Saat tubuh mereka berdua saling berdampingan dalam satu pembaringan yang sama, Dewa melihat ke arah Harmoni dan gadis itu ternyata sudah memejamkan matanya dengan deru napas yang sangat teratur, menandakan, jika Harmoni sudah cukup rileks saat ini.
Telapak tangan Harmoni masih senantiasa menggenggam telapak tangan Dewa karena gadis itu merasa aman bila tangan mereka masih saling menyatu satu sama lain.
Dewa melirik ke arah telapak tangannya, di mana telapak tangan itu masih di genggam erat oleh tangan Harmoni.
"Apa kau begitu takut? sampai telapak tangan saja harus tetap menjadi satu seperti ini," cicit Dewa pada gadis yang saat ini sudah berada dalam mimpinya.
Dewa kembali menatap ke arah wajah Harmoni, ternyata di bagian wajah itu terdapat bagian anak rambut yang mengganggu menurut Dewa.
Karena Harmoni sudah terlelap dan Dewa juga tidak ingin membangunkannya, akhirnya pria itu berinisiatif untuk menyampirkan anak rambut tersebut pada bagian telinga Harmoni.
"Apa setiap perempuan yang tidur tidak memiliki kewaspadaan seperti dirimu?" tanya Dewa sembari terus menyampirkan tiap anak rambut yang menghalangi wajah Harmoni.
"Malaikat," gumam Harmoni disela-sela tidur pulasnya.
Dewa yang awalnya sibuk dengan setiap helaian rambut gadis itu, akhirnya pria tersebut menatap ke arah Harmoni dan ternyata gadis itu masih senantiasa memejamkan matanya namun, mulut Harmoni sempat bersuara dan itu dapat didengar oleh Dewa dengan sangat jelas.
"Siapa yang kau sebut malaikat?" tanya Dewa pada gadis itu namun, Harmoni tak merespon karena ia dalam keadaan tertidur pulas.
Setelah sekiranya 30 menit berlalu, pria itu masih belum memejamkan matanya. Ia masih berusaha membiarkan Harmoni tidur begitu pulas dan berencana untuk melepaskan genggaman tangan gadis tersebut.
Dewa melambaikan telapak tangan kanannya tepat di wajah gadis itu dan Harmoni masih tetap dengan deru napas yang teratur.
Dewa sudah memastikan, jika Harmoni sudah tidur sangat pulas, akhirnya mereka itu memberanikan diri melepaskan genggaman tangan Harmoni pada tangannya, namun secepat kilat tangan Harmoni memeluk erat lengan Dewa, agar pria itu tak bisa kabur dari sisinya.
"Kenapa gesit sekali? bukankah kau sudah tidur begitu pulas? apa kau memiliki kemampuan sensor atau apalah itu," kesal Dewa karena tak berhasil lepas dari genggaman tangan Harmoni.
Helaan napas halus pada Dewa, membuat pria itu akhirnya menyerah.
Dewa tak ingin bersusah payah keluar dari jeratan tangan Harmoni kali ini.
"Setidaknya aku bisa beristirahat, meskipun dengan tangan yang di borgol oleh gadis cerewet ini," cicit Dewa dengan suara begitu pelan.
Dewa coba membaringkan tubuhnya tepat di samping gadis itu.
Saat kedua mata Dewa mencoba terpejam untuk masuk ke dalam mimpinya, tiba-tiba Harmoni meletakkan kepalanya tepat di rongga jantung Dewa.
Tak hanya hal itu yang dilakukan oleh Harmoni, melainkan gadis itu malah meletakkan kaki sebelah kirinya pada kaki Dewa, seakan pria itu bantal guling yang empuk seperti miliknya.
"Astaga! mimpi apa aku semalam? kenapa aku bisa mau membantu gadis ini? padahal dia bukan tipe gadis seperti yang aku bayangkan," sesal Dewa karena sudah membawa Harmoni ke rumahnya.
Seharusnya ia menceburkan gadis itu ke danau saja, agar kesadaran Harmoni kembali pulih dengan cepat.
Dewa terus coba memejamkan matanya, meskipun mata itu tak merasa mengantuk sama sekali karena waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi dan itu bukan waktu yang tepat bagi orang yang sibuk seperti Dewa untuk sekedar hanya tidur-tiduran saja.
"Hari yang sungguh menyebalkan," umpat Dewa karena dirinya tak berhasil tidur pulas.
Di tempat lain, Mona saat ini tengah sibuk dengan laptopnya namun, suara ponsel yang berada di mejanya berdering.
Mona meraih ponselnya dan mengangkatnya.
"Halo!"
"Nona sudah pulang, tapi tidak bersama saya, beliau bersama Dewa Abraham."
"Apa? kenapa kau tak bilang sebelumnya padaku! di mana Nona sekarang?" tanya Mona dengan suara cukup meninggi.
"Nona sudah dibawa oleh pria itu."
"Astaga! kenapa kau bisa berbicara dengan nada setenang itu? apa kau sangat pasrah membiarkan bosmu bersama pria yang tak kau ketahui asal usulnya," teriak Mona lebih tinggi lagi.
"Dia orang baik karena pria itu yang menyelamatkan Nona dari Joni yang beniat melecehkan Nona."
"Melecehkan Nona? bagaimana di restoran bisa meleceh ...."
"Restoran itu merangkap sebuah hotel tersembunyi di atasnya."
Mona memejamkan matanya karena ia merasa sangat teledor kali ini.
"Siapa nama pria itu?" tanya Mona pada sopir pribadi Harmoni.
"Joni!"
"Bukan, yang satunya lagi."
"Dewa Abraham!"
Setelah mendapatkan jawaban yang akurat, Mona segera mematikan ponselnya dan bergegas mencari nama Dewa Abraham di layar laptopnya.
Saat tangan Mona sudah mulai mengetik nama Dewa, akhirnya semua informasi tentang pria itu muncul.
"Dewa Abraham, pemilik dari beberapa universitas?" tanya Mona pada dirinya sendiri.
Mona terus mencari setiap informasi tentang Dewa dan ia baru sadar saat mouse laptopnya menggulir terus ke bawah, ada kata bercetak tebal "pengusaha muda".
"Jadi pria ini yang bernama Dewa seperti yang dikatakan oleh pria kue salju itu," gumam Mona pada dirinya sendiri sembari berpikir.
Perasaan Mona nampak begitu sangat lega karena ternyata pria yang bersama dengan bosnya, bukan pria jahat seperti apa yang dipikirkan olehnya.
"Sepertinya Nona bersama orang yang tepat," pikir Mona karena asisten dari pria itu saja baik, apalagi bosnya.
Mona akhirnya kembali ke kursi miliknya dan melanjutkan tugasnya karena semua pemikiran buruk yang tadinya bersarang dalam otaknya, seketika sirna kala ia tahu, siapa yang bersama dengan Harmoni saat ini.
Hicob yang berada di ruangannya masih sibuk mencari data informasi mengenai Joni karena data pria itu, sepertinya memang sengaja disembunyikan oleh seseorang.
"Sepandai-pandainya kalian menyembunyikan identitas pria ini, aku pasti akan menemukannya," gumam Hicob tersenyum simpul ke arah laptopnya.
Jari pria itu dia angkat sedikit ke atas, kemudian cahaya putih keluar dari telunjuknya dan jari telunjuk itu mengarah ke arah layar laptopnya.
Seketika semua informasi yang berhubungan dengan Joni muncul di layar laptopnya.
"Masih terbilang mudah," gumam Hicob langsung mengopi semua data tersebut dan mencetaknya menjadi beberapa lembar kertas.