Sahabat yang Baik

1017 Words
"Tapi, Dit …." "Sudah. Kita makan dulu aja, yuk! Nanti kita bicarakan lagi setelah makan. Dan kamu tenangkan diri dulu." Dita beranjak dari tempatnya, mau tak mau Alisha pun mengikuti sahabatnya itu. Sebetulnya, Alisha tak yakin harus makan saat ini. Bagaimana jika rasa mual itu datang di tengah-tengah makannya, lalu ada orang yang melihatnya dan mencurigainya. Refleks ia menggelengkan kepalanya tanpa sadar Dita memperhatikan. Dita segera mengambil nasi serta lauknya ke atas piring. Ia melakukan hal yang sama sebanyak dua kali. Kemudian mencari nampan dan menaruh kedua piring tersebut ke atasnya. "Ca, kamu ambilkan airnya oke!" ujarnya seraya berlalu. Alisha tertegun untuk beberapa saat, tapi kemudian dia segera mengikuti sahabatnya setelah mengambil dua gelas air sesuai permintaan Dita. "Eh, Non, mau ke mana?" tanya Inah yang sedang membersihkan ruang tengah yang dilalui keduanya. "Aku mau makan di kamar, Bi. Tenang aja, nanti aku yang beresin lagi ke dapur!" jawab Dita segera. Dita memang sahabat yang sangat pengertian. Ia tahu bahwa Alisha bisa saja merasakan mual saat makan, jadi dia memutuskan untuk makan di dalam kamar agar tak ada yang melihatnya. Kebetulan, kamar Dita lengkap dengan kamar mandinya. Namun, setibanya di kamar Alisha justru malam menangis. Ia sesenggukan seraya menutup wajahnya. Dita sendiri dibuat kebingungan olehnya. Berulang kali ia berusaha menenangkan sahabatnya. "Udah, udah. Kenapa kamu nangis?" Dita menepuk-nepuk punggung Alisha setelah menyimpan nampan. "Dit, makasih banyak, ya. Aku gak bisa bales apa-apa untuk kebaikan kamu ini. Kamu sahabat aku paling pengertian dan perhatian. Aku benar-benar gak tahu harus apa. Huhuhu." "Kamu gak harus ngapa-ngapain kok. Sekarang kamu cuma harus makan aja. Yuk, makan!" "Kamu yakin mau makan sama aku? Gimana kalau aku tiba-tiba mual?" "Gak apa-apa. Aku bakal pake headset biar gak denger! Eh, tapi mending sambil makan sambil ngobrol, atau nonton? Biar rasa mual kamu taralihkan." "Emmm … aku gak yakin berhasil. Tapi boleh deh dicoba." "Kamu makan dikit-dikit aja, Ca. Lauknya yang bikin mual singkirkan aja. Atau kalau nasi yang bikin kamu mual, makan lauknya aja gak apa-apa. Pokoknya harus ada yang masuk perut kamu!" Alisha mengangguk. Dita segera menyalakan televisi kemudian lanjut makan. Alisha melakukan hal yang disarankan Dita, ia makan yang ia mau dan diperkirakan tidak membuatnya mual. Walau ada sedikit-sedikit rasa mual, Alisha tahan. Ia gak enak sama sahabatnya itu, hingga makanan habis separuhnya. "Wah, mantap! Hebat kamu, Ca!" seru Dita saat Alisha menyudahi makannya. "Udah, ah. Kalau dipaksakan takut malah keluar lagi." "Iya, gak apa-apa. Sedikit-sedikit aja, nanti kalau udah lapar lagi bilang aja, oke!" "Iya, Dit. Makasih banyak, ya!" "Iya, udah, ah. Gak perlu bilang makasih lagi. Pokoknya anggap lagi di rumah sendiri!" Setelah itu, Dita beranjak mengambil bekas piringnya ke dapur. Awalnya Alisha menawarkan diri agar dia saja yang menyimpannya, tapi Dita menolak dan bilang lebih baik Alisha diam. Sehingga Alisha pun menunggu di kamarnya. Tak lama dari itu, Dita kembali dengan sepiring apel yang sudah dikupas. Ia menyodorkan pada Alisha agar segera memakannya. "Hei, aku kan baru aja selesai makan!" tolak Alisha. "Ayo, makan! Satu potong pun gak apa-apa. Makan apel bisa menghilangkan rasa mual. Cobain deh!" ujar Dita seraya mengambil satu potong dan memakannya. Melihat apa yang dilakukan Dita, Alisha pun mengikutinya. Tanpa sadar keduanya menghabiskan apel itu tanpa sisa. Menyadari hal itu, keduanya tertawa bersama. "Bikin nagih kan?" tanya Dita menggoda. "Apelnya enak! Aku gak pernah makan apel gini," ucap Alisha dengan jujur. "Tenang! Mulai sekarang, kamu bisa makan apel kapan pun kamu mau!" "Ma …." Baru saja Alisha hendak berterima kasih, telunjuk Dita segera menghentikan mulutnya. "Aku kan udah bilang, anggap ini ruma sendiri!" Alisha pun tersenyum dengan memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. *** Keesokan harinya mereka berangkat sekolah bersama seperti biasa. Alisha sempat mengalami morning sickness saat bangun tidur. Namun, dengan segera Dita meminta agar asisten rumah tangganya membuatkan minuman jahe untuk Alisha. Setelah itu, mualnya cukup bisa diatasi. Alisha juga sudah bertemu dengan orang tua Dita terutama mamanya. Seperti pada yang lainnya, Dita mengatakan bahwa kedatangan Alisha ke sini adalah untuk belajar bersama. Mama Dita jelas senang, apalagi ia tahu betul bahwa Alisha adalah murid terpintar seangkatan putrinya. "Pak Jon, nanti pulangnya gak usah dijemput, ya!" pesan Dita sebelum keluar mobil begitu mereka sampai di depan gerbang sekolah. "Eh, kenapa, Non?" "Aku sama Alisha mau main dulu nyari buku." "Kenapa gak saya antar aja?" "Gak apa-apa, Pak. Kita pengen jalan-jalan sebentar." "Oke, baiklah. Tapi jangan lama-lama ya, nanti saya yang disalahkan nyonya." "Siap, Pak! Tenang aja. Duduk ngopi aja di rumah minta bikinin bi Inah." "Eh, si Non, bisa aja!" "Yuk, Ca!" ajak Dita kemudian pada Alisha. Mereka berlalu menuju ke kelas. Alisha terdiam, pasalnya ia masih kepikiran apa yang diucapkan Dita semalam. Haruskah hari ini dia melakukannya. Terlebih melihat Dita yang begitu semangat, Alisha tak enak untuk menolak. "Ca, besok kita periksa ke bidan, yuk!" ajak Dita saat itu. "Hah? Bidan? Yang benar aja, Dit!" "Kenapa? Ibu hamil emang harusnya kan diperiksa ke bidan? Biar kamu bisa konsumsi vitaminnya juga, Ca!" "Dit, aku bener-bener gak kepikiran buat lahirin ini bayi! Bagaimanapun caranya, aku bakal gugurkan dia!" "Ca, plis! Jangan, Ca! Nyawa itu mahal bahkan tak ternilai, biarkan dia tumbuh dan hidup." "Aku gak bisa bayangkan gimana nanti kalau aku hamil besar, Dit. Jika dihitung-hitung, aku bakal lahiran sekitar bulan Februari atau Maret." "Itu artinya kan sebelum ujian?" "Tapi perut besarku? Kamu pikir aku harus apa saat perutku mulai membesar?" "Kita pikirkan itu nanti, yang pasti sekarang kita periksa dulu biar pasti! Lagian selama kamu ijut ujian, kamu bakal lulus. Sebelum ujian kamu ambil cuti sekolah aja." "Emang bisa?" "Ya, maksudnya bolos, hehe …." Dita menghadapkan wajahnya pada wajah Alisha. "Dengar, kamu harus percaya aku! Aku yang bakal bantu urusin kamu dan bayimu!" Alisha masih bergeming. "Kamu percaya kan sama aku?" "I-iya, deh. Aku percaya aja!" "Harus yakin dong!" "Iya … yakin!" Sepulang sekolah nanti mereka akan menuju klinik bersalin untuk melakukan pemeriksaan. Dita sengaja membawa pakaian ganti untuk digunakan nanti. Ini karena Alisha yang terus menolak jika nanti bidan curiga padanya. Dita berusaha sedemikian rupa demi menjaga janin yang dikandung sahabatnya. Alih-alih kecewa, ia malah ingin turut merawatnya. Inilah ketulusan dari seorang sahabat, yang semoga melekat sepanjang waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD