Berbohong

1049 Words
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, setelah kelas berakhir Dita mengajak Alisha ikut pulang ke rumahnya. Mereka kembali ke halaman belakang sekolah untuk mengambil tas milik Alisha. "Kemarin kamu ke sini gimana caranya, Ca?" tanya Dita heran karena dia tahu setiap malam pintu gerbang dikunci. "I-itu, aku naik ke atas tembok hehe." "Ya Allah, Ca. Padahal kamu lagi hamil!" "Siapa peduli, Dit!" "Terus ke sininya gimana? Kamu jalan?" "Nggak, kok. Aku naik sepeda." "Sepedanya kamu taruh di mana?" "Di sana," tunjuk Alisha ke balik dinding. "Hmmm, Ca! Gimana kalau hilang." "Entah, Dit. Malam tadi aku tak bisa berpikir dengan jernih." "Ah, ya. Ngerti sih." "Ya udah, yuk kita pulang!" "Oh ya, Dit. Tas ini bikin curiga kalau kita bawa lewat depan. Gimana kalau kita jatuhkan ke balik tembok aja, nanti kita ambil di sana!" usul Alisha. "Ah, kamu benar! Boleh tuh, sekalian ambil sepedamu!" "Oke!" Mereka berdua pun dengan susa payah melempar tas itu ke luar halaman sekolah. Dita tak mengerti dengan yang dilalui sahabatnya kemarin. Bisa-bisanya dia sekuat itu melakukan sendiri. Namun, siapa peduli. Saat rasa sakit dan kesedihan mendominasi. Kemudian mereka berdua segera pulang melalui gerbang depan. Saat keluar gerbang, Dita menelpon supirnya agar menjemputnya lewat belakang sekolah. Biasanya supirnya itu sudah menunggu di depan gerbang begitu bel pulang berbunyi. Beruntung, saat ini dia sedikit telat sehingga Dita bisa memintanya lewat sana. Tak seperti Alisha, Dita terlahir dari keluarga yang kaya raya. Namun, hal itu tidak membuat Dita sombong dan menjauhi Alisha seperti teman yang lainnya. Ini karena Dita memiliki orangtua yang dermawan dan baik hati. Mereka terbiasa bergaul dengan orang kelas bawah tanpa merendahkannya. Memang hampir semua siswa dan siswi di sekolah ini terlahir dari orang kelas menengah ke atas, karena ini sekolah favorit. Hanya Alisha satu-satunya orang yang bisa masuk karena kepintarannya dan mendapat beasiswa. Padahal keluarganya sangat berada di kelas bawah tak seperti teman temannya. Walau begitu, tak ada yang dapat menyaingi kepintaran Alisha meski mereka melakukan les privat atau kelas tambahan. Alisha juga baik hati dan cantik sehingga banyak digemari kaum pria. Selain itu dia juga berteman dengan Dita, sehingga ia tetap dihargai walau terlahir dari keluarga biasa. Akan tetapi, musibah yang menimpanya kini benar-benar akan menghancurkan segalanya, menghancurkan masa depannya. Alisha tak bisa lagi berbuat apa-apa. "Hei, Ca! Kenapa melamun di situ! Ayo angkat tasnya, supirku udah nunggu tuh!" ajak Dita. Alisha mengangguk cepat kemudian mengangkat tas besarnya dengan bantuan sahabatnya itu ke dalam mobil. Setelah itu mereka pun segera masuk dan mobil pun melaju. "Kamu sih nyimpen sepeda di tempat itu, jelas ada yang ambil lah!" ujar Dita saat mereka dalam perjalanan pulang. "Ya, mau gimana lagi. Aku mau lewat gerbang depan kan dikunci." "Lagian kenapa kamu gak ke rumah aku aja, Ca. Kenapa harus ke sekolah?" "Kemarin aku kemalaman, Dit. Lagi pula jarak ke rumah kamu kan lumayan." "Haha, iya juga sih!" Selagi Dita dan Alisha asyik berbincang, supir Dita dari depan memperhatikan. Mungkin ia sangat bertanya tanya apa yang terjadi pada teman majikannya. Namun, untuk bertanya pun ia tak berani. Dan Dita menyadari hal itu. "Jadi, temanku ini sementara mau nginep di rumah aku, Pak Jon! Kita kan sebentar lagi masuk kegiatan bimbingan belajar di sekolah buat persiapan ujian, jadi lebih baik tinggal di rumah biar lebih dekat," jelas Dita tiba-tiba. "Eh, m-maaf, Non. Saya tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian." "Tidak apa-apa. Pak Jon, memang harus tahu kok! Karena nanti pulang pergi kita bareng." "Oh, baik, Non." Alisha merasa heran karena Dita mengarang cerita. Namun, jika jujur pun siapa yang akan menerima. Sepertinya hanya seribu satu orang yang akan memahami Alisha, dan itu hanya Dita. Alisha jadi sedikit takut jika dia datang ke rumah Dita, apa yang harus dikatakan pada kedua orangtuanya. "Nanti kamu jelaskan seperti apa yang kujelaskan barusan," bisik Dita. Dia sudah seperti paranormal yang bisa membaca isi pikiran manusia. "Tapi, emang itu masuk akal dengan aku membawa barang sebanyak ini?" tanya Alisha, ia pun berbisik pada Dita. "Tenang aja, itu urusan belakangan. Mama aku biasanya jam segini gak ada di rumah. Jadi nanti kita cepet-cepet amankan tas kamu dulu." "Ah, oke." Ide Dita itu memang cemerlang, tapi Alisha sebetulnya keberatan karena semua bohong. Sedangkan kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya. Dan sepertinya Alisha memang akan benar-benar tinggal di rumah Dita untuk sementara, karena kehamilannya semakin bertambah bulan akan semakin besar. Apa aku harus menggugurkannya? Terbesit pikiran buruk di kepala Alisha. "Hei, lagi-lagi melamun! Ayo, turun!" Untuk kesekian kalinya Dita mengejutkan Alisha. "Eh, i-iya." Mereka pun segera turun dan bergegas mengamankan tas yang dibawa Alisha menuju kamar Dita. Sesuai dugaan Dita, saat ini mamanya tak ada di rumah. Namun, sebelum memasuki kamar Dita, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. "Neng, udah pulang? Yuk, makan siang dulu. Udah bibi siapkan!" ucapnya. "Oh, iya, Bi. Nanti aku ke meja makan." "Iya, ajak juga temannya, ya!" ucapnya kembali dengan bola mata yang terus menatap ke arah tas besar yang mereka bawa. "Iya, Bi. Oh ya, Bi, ini itu isinya buku-buku referensi dari perpustakaan untuk menunjang belajar kita. Sementara waktu temen aku bakal tinggal di sini, biar aku ada teman belajar!" "Oh, i-iya. Eh, maaf, Non." "Bibi akan sering bertemu dengan dia. Kenalin namanya Alisha." "Eh, i-iya. Saya Inah, Non." "Alisha." Mereka berjabat tangan sesaat, kemudian Dita kembali mengajak Alisha masuk ke dalam kamarku. "Fyuh. Akhirnya sampai juga!" ujar Dita, ia merebahkan tubuhnya. "Dit, aku jadi gak enak bikin kebohongan gini." "Ya, mau gimana lagi, Ca. Kalau jujur, kamu kira gak bakal jadi masalah." "Emmm … iya sih. Gak apa-apa deh kita bohong sementara sampai janin ini aku gugurkan." "EH?!!!" seru Dita terkejut. "Ca … k-kamu serius?" "Ya. Aku rasa aku harus melakukannya, Dit." "Ca, kamu sabar dulu oke! Kita cari jalan keluarnya. Begini, emang sih kalau ini yang terjadi padaku, mungkin aku bakal kepikiran hal yang sama untuk membuang janin itu. Tapi, Ca, dia gak salah dia tumbuh di rahimmu tanpa dosa, jadi tahan dulu jangan hukum dia." "Entah, Dit. Aku gelap. Apalagi yang harus aku lakukan selain membuangnya?" "Tenang dulu ya, Ca. Kita cari jalan keluarnya. Jika anak ini lahir, dia akan membuktikan siapa ayahnya. Dan yang pasti, kamu bisa menghukumnya dengan adil. Aku akan ada buat kamu!" "Tapi, Dit …." "Sudah. Kita makan dulu aja, yuk! Nanti kita bicarakan lagi setelah makan. Dan kamu tenangkan diri dulu." Dita beranjak dari tempatnya, mau tak mau Alisha pun mengikuti sahabatnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD