Terbuka

1011 Words
Bel istirahat berbunyi. Alisha segera menuju ke kelas untuk menemui sahabatnya. Inilah saatnya ia menceritakan semua yang terjadi sebenarnya. Waktu lima belas menit ini harus Alisha manfaatkan dengan baik. "Hei, kenapa balik lagi ke sini? Kamu sudah merasa baikan?" tanya Dita penuh dengan rasa khawatir. Sahabat Alisha itu memang cukup perhatian. "Padahal baru aja aku mau nyamperin kamu!" ucapnya kemudian. Alisha tak menggubris. Bukan itu yang lebih penting saat ini, Dita harus segera mengetahui yang sebenarnya terjadi. "Dit, kamu harus ikut aku! Aku mau ceritain apa yang sebenarnya terjadi padaku kemarin itu," ucap Alisha. "Ceritakan saja, Ca!" seru Dita. "Tidak. Aku tidak bisa menceritakannya di sini," ujar Alisha kemudian. "Jadi di mana?" "Ayo, ikuti saja aku!" Tanpa banyak bertanya lagi, Dita mengikuti Alisha melenggangkan kaki menuju halaman belakang sekolah. Tak ada orang di sana membuat Alisha merasa lega sehingga ia leluasa untuk menceritakannya. Alisha berhenti tepat di dekat tas besar yang memuat pakaiannya. "Ini apa?" tunjuk Dita mengarah pada tas itu. "Ini baju-baju aku," jawab Alisha. "Kamu?" Dita terlonjak sekaligus heran, bahkan ia sampai meninggikan suaranya. "Sstttt, jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" Alisha membungkam mulut sahabatnya dengan telapak tangan. Dita mencoba melepaskan seraya mengangguk. "Kenapa baju-bajumu ada di sini?" tanyanya kemudian dengan suara yang lebih rendah. Alisha menarik nafas panjang sebelum menceritakan yang sebenarnya. Lama ia terdiam membuat Dita dijangkiti rasa penasaran, hingga akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Alisha. "Aku diusir dari rumah, Dit." "Hah? Kok, bisa?!" Dita terkejut untuk yang kesekian kalinya. Tangannya refleks menutup mulut karena lagi-lagi dia berkata dengan suara yang cukup tinggi. "Aku akan ceritakan semuanya, tapi bisakah kamu berjanji untuk tetap ada di pihakku?" Sebetulnya, Alisha merasa dilema antara mengatakan yang sejujurnya atau tetap diam. Ia ragu juga takut, jika Dita tahu semuanya lalu ia pergi meninggalkannya juga. Namun, jika tidak mengatakannya pada sahabatnya itu, Alisha takan memiliki tempat tinggal, setidaknya untuk sementara waktu. "Maksudnya?" Dita semakin dibuat bingung. "Berjanjilah kamu akan ada untukku!" ucap Alisha tampak memohon. "Iya iya. Ayo, cerita dulu!" tukas Dita. "Jadi … seperti yang pernah kamu duga. Aku hamil, Dit." Alisha menundukkan kepalanya. Ia teramat malu mengungkapkan aibnya kepada sahabatnya itu. Sedikit pun, ia tak berani menunjukkan wajahnya saat ini. Matanya dipejamkan, bersamaan dengan itu air mata mulai berjatuhan. Ia tak mau tahu bagaimana reaksi Dita. Hanya berharap semoga Dita mengerti. Sedangkan Dita dengan mulut menganga tak percaya, kedua tangannya refleks menutup mulut itu. Walau ia memang pernah menduga hal ini, mendengar kenyataan yang sesungguhnya benar-benar membuatnya terperanjat. Alisha, gadis baik yang dikenalnya benar-benar mengalami hal itu. "K-kamu … b-bagaimana bisa? Ah, i-ini sudah akurat, Ca? K-kamu pernah periksa?" Dita tergagap menanyakan semuanya. Dia benar-benar terkejut dibuatnya. Alih-alih menjawab, Alisha malah menangis sesenggukan. Inginnya Alisha juga tak mempercayai itu, dan menganggap jika hasil tesnya tidak akurat. Namun, dokter yang memeriksanya kemarin begitu yakin jika kehamilan itu benar adanya. Alisha pun mengangguk cepat sebagai jawaban. Melihat hal itu, Dita segera mendekati sahabatnya kemudian memeluknya. Dengan pengakuan Alisha itu semuanya sudah jelas, ia diusir oleh orang tuanya karena kehamilannya itu. Tak perlu Alisha menceritakan panjang lebar. Dita bisa menyimpulkannya sendiri. Namun, Dita pun tahu gadis seperti apa Alisha sehingga tak mungkin melakukan hal yang menjijikkan seperti itu. Ia ingin percaya tapi sulit sekali menerima kenyataannya. "Sudah … sudah … jangan nangis!" Dita mencoba menenangkan Alisha. "Apa ini ada hubungannya dengan yang waktu di tenda itu? Kamu belum menceritakan dengan jelas," ucap Dita saat mengingat sesuatu yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. Alisha menggeleng, ia benar-benar tidak tahu. Yang dipikirkannya saat ini bukan itu. Hingga Alisha tersadar, Dita sama sekali tidak menyalahkannya. Ia pun mengangkat kepalanya menatap Dita. "Kamu tidak marah?" tanya Alisha kembali. "Tidak. Untuk apa aku marah?" Karena alih-alih marah, gadis itu lebih khawatir pada sahabatnya. "Aku percaya kamu tidak mungkin melakukannya, kecuali karena kamu diperkosa. Kapan ini semua terjadi, Ca? Ayo, ceritakan dengan jelas!" "Aku bahkan tak ingat pernah melakukannya. Entah siapa yang melakukannya. Dan bagaimana bisa dia semudah itu mendapatkan kehormatanku. Namun, yang pasti malam itu aku merasa sebagian ingatanku hilang. "Saat aku memutuskan mengambil minyak angin aroma terapi milik kamu, aku hanya ingat telah mengambilnya dan memutuskan untuk kembali bergabung. Tapi setelah itu aku gak bisa lagi ingat apa-apa, yang kuingat pagi-pagi aku terbang dengan rasa perih di bagian bawah. Aku pikir itu lecet biasa," papar Alisha seraya mengingat-ingat kejadian yang sebetulnya ingin ia lupakan. "Ca, sepertinya seseorang menjebak kamu. Apa mungkin kamu dibius?" tanya Dita kemudian menyampaikan dugaannya. "Entah, aku benar-benar tak mengerti bagaimana bisa semuanya terjadi begitu saja dengan mudah. Dan saat ini aku hamil. Ini terlalu cepat, Dit. Bagaimana dengan masa depanku?" Tampak ia terpukul dengan semua ini. Alisha terus menangis tak terima. Siapa yang ingin atas kehamilan itu, bahkan orang yang berani melakukan hal tersebut dengan suka-suka pun tak menginginkan kehamilan. Apalagi bagi Alisha yang memang korban p*********n. Kehamilan ini benar-benar mimpi buruk baginya. "Kamu tenangkan diri dulu, ya, Ca. Nanti pulang sekolah kamu pulang ke rumah aku aja. Kita pikirkan kembali dengan hati tenang bagaimana ke depannya. Sekarang kita masuk kelas dulu aja, gimana? Kamu udah baikan?" Dita kembali menenangkan Alisha, seraya menenangkan dirinya juga. Ya, Dita tak kalah terkejutnya dan kabar ini cukup mengguncangkan jiwanya. Bagaimana dengan Alisha yang justru mengalaminya? Alisha mengangguk, ia segera menghapus jejak air matanya. Banyak mata pelajaran yang dilewatkannya dan Alisha tak mau semakin tertinggal. Ah, bisa-bisanya gadis itu memikirkan pelajaran di kondisinya saat ini. Alisha dan Dita pun segera menuju ke ruang kelas begitu bel masuk terdengar. Mereka kembali dengan memasang wajah biasa seolah tak terjadi apa-apa. Alisha cukup tenang setelah menceritakan kehamilannya pada Dita. Paling tidak, saat ini ada yang akan membantunya serta menjadi tempat untuk membicarakan seputar kehamilan. Teman-teman sekelasnya sedikit heran melihat Alisha yang kembali ke kelas, tapi mereka tak sampai bertanya. Terlebih lagi Alisha yang pernah beberapa kali tak masuk sekolah menjadi kesimpulan jika gadis itu memang sedang sakit. Alisha pun mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya. Untuk sementara waktu, ia tak begitu memikirkan kehamilan itu dan fokus pada pelajaran yang sedang disampaikan gurunya. Hingga setelah dua kali berganti mata pelajaran, bel pulang pun berbunyi. Alisha mengajak Dita kembali ke halaman tadi sebelum memutuskan pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD