Hasil Tes

1045 Words
"Kamu sudah telat datang bulan selama dua bulan?! Kenapa gak bilang? Kenapa kamu diam saja?" Sarah dengan paniknya terus memburu Alisha dengan banyak pertanyaan. "Ibu, mohon tenang dulu, ya!" Dokter cantik itu melerai. Sedangkan Alisha semakin menundukkan kepalanya takut. "Bagaimana saya bisa tenang, Dok? Bagaimana kalau anak saya …." Sarah tak sanggup meneruskan ucapannya. "Ah, sudahlah! Cepat lakukan pemeriksaan!" "Siklus menstruasi yang tidak stabil itu wajar. Terkadang saat usia remaja banyaknya aktivitas membuat menstruasi tidak normal, bisa jadi telat atau justru terlalu cepat," jelas dokter itu baik-baik. "Gejala mual muntah serta kepala pusing pun sering terjadi di beberapa kondisi. Itu bukan hal yang mengejutkan. Akan tetapi, lebih baik kita melakukan tes urin agar jelas apa penyebabnya." Baik Sarah ataupun Alisha tak ada yang menyahut ucapan dokter itu. Alisha, jelas takut jika ternyata dirinya benar-benar hamil. Sedangkan Sarah sendiri, ia sudah tak bisa lagi berkata apa-apa. Hatinya kalut, kepalanya pening, ia tak bisa berpikir jernih lagi. "Yuk, Dek. Kita lakukan tes!" ajak dokter itu kemudian. Alisha masih juga mematung, tak beranjak tak juga berbicara. Hal ini membuat Sarah semakin geram. "Ayo, cepat ikuti dokter! Kenapa kamu diam? Kamu takut? Apa benar kamu melakukannya?" tuntut Sarah, ia sudah hilang kesabaran. "Aku benar-benar tidak melakukannya, Bu. Sungguh, aku tidak melakukannya," tolak Alisha. Kini ia sudah tak bisa menahan tangisnya. "Kalau begitu, ayo lakukan! Biar ibumu ini benar-benar percaya kalau kamu memang tidak melakukannya!" tegas Sarah. "Tidak apa-apa, jangan takut. Yuk!" ajak dokter cantik itu kembali. Sarah semakin menatap nyalang pada Alisha. Ia kesal karena menduga hal yang buruk dan putrinya itu tak mau membuktikan. Jika benar tidak dan hasilnya pun negatif, ia akan segera tenang. Sarah hanya kesal dengan prasangka buruk yang sedang menyelimuti hatinya. Sambil terisak, Alisha beranjak. Ia pun mengikuti dokter ke tempat lain. Diantarnya Alisha ke toilet, setelah sebelumnya dokter itu memberikan wadah kecil untuk sampel. Alisha pun masuk. Tak lama dari itu, ia kembali ke luar dengan wadah sampel yang sudah terisi urinnya. Kemudian Alisha kembali pada ibunya. Mereka pun menunggu dalam cemas. Saling terdiam membuat atmosfer sekitarnya begitu menegangkan. Hingga beberapa saat kemudian dokter itu kembali. Ada gurat keraguan dalam wajahnya, tapi ia tetap harus menyampaikan. "Gimana, Dok. Apa hasilnya?" tanya Sarah yang tak tahan dengan kegundahan yang dia rasakan. Dokter itu perlahan duduk. Ia menarik napas perlahan sebelum menjawab pertanyaan ibu Alisha. "Positif," jawab dokter itu singkat seraya menyodorkan benda pipih yang merupakan alat tes kehamilan. Sarah terlonjak. Mulutnya terbuka lebar tak percaya, kedua tangannya menangkup di depan wajahnya. Dadanya bergemuruh, emosinya meluap-luap, Sarah merasa hidupnya hancur seketika. Di sampingnya, Alisha hanya tertunduk lemas dengan air mata yang tak berhenti jatuh. Ia tak berani mengangkat kepalanya, apalagi menatap wajah ibunya. Dua wanita itu dengan emosi masing-masing yang tak lagi bisa dielakkan. "Silahkan ini resep untuk vitamin dan obatnya. Bisa ditebus di apotek depan ya, Bu," ucap dokter itu kemudian. Ia tak bisa melakukan apa pun sehingga memilih diam. Akan tetapi, Sarah mengabaikan ucapan dokter itu. Ia beranjak dan menarik lengan Alisha secara paksa. Dengan amarah yang tak bisa lagi ditahan ia menyeret Alisha hingga ke luar. Kemudian wanita paruh baya itu mendorong putrinya agar segera memasuki mobil milik warga yang mau mengantar, sedangkan ia kembali masuk untuk membayar biaya konsultasi. Saat mobil berjalan, tiba-tiba suasana menjadi mencekam. Tak ada pembicaraan antara ibu dan anak itu sehingga membuat pak Kodim -pemilik mobil itu- merasa heran. Namun, ia pun tak bisa apa-apa sehingga lebih memilih diam. Sesampainya di rumah, Sarah segera mencari tas besar. Kemudian ia menuju kamar Alisha dan mengemasi pakaian-pakaian Alisha dari lemarinya. Dilemparnya pakaian Alisha secara asal membuat semua pakaiannya menumpuk tak beraturan. Alisha yang melihat itu segera menghambur dan menghentikan gerakan ibunya. Namun, Sarah menepis dan mendorongnya sehingga Alisha tersungkur ke lantai. Ia memungut satu persatu pakaiannya dengan beruraian air mata. Kemudian Romi -ayah Alisha- datang baru pulang dari ladang. Suara tangisan dari kamar Alisha menariknya untuk datang. Ia kebingungan melihat adegan yang sangat dramatis di depannya. Istri dan anaknya sama-sama menangis, tapi yang pasti suatu masalah terjadi karena Alisha tampak berlutut memohon pada ibunya. "Bu, tolong maafkan aku, Bu. Sungguh, aku tak pernah melakukannya. Aku berani bersumpah bahwa aku tak bersalah." "Cukup, Alisha! Cukup kamu menyakiti hati ibu! Sekarang, lebih baik kamu pergi tinggalkan rumah ini! Ibu tidak bekerja untuk gadis kotor sepertimu! Ibu tidak membesarkan kamu untuk menjadi begini!" Keduanya terus menangis, menjerit-jerit, tanpa menghiraukan kedatangan Romi. Romu segera menghampiri Sarah, menenangkannya, memintanya agar menjelaskan semua ini dengan baik-baik. Sedangkan Alisha, ia tak berani memandang ke arah ayahnya. Dia sudah pasti lebih murka dari ibunya setelah mengetahui yang sebenarnya. "Ada apa? Coba jelaskan pelan-pelan," pinta Romi seraya memeluk istrinya itu. "Ica, Pak. Ica …." Sarah tak sanggup mengatakannya, ia malah terus menangis tersedu-sedu. "Kenapa? Ica kenapa?" tanya Romi semakin bingung. Kemudian ia melepaskan pelukannya, beralih menghampiri putrinya. "Ica, kenapa?" tanyanya kemudian. Ia mencoba menarik putrinya agar terlihat wajahnya. Namun, Alisha justru malah semakin menyembunyikan diri. Ia menutup wajahnya dan terus menangis. Kata maaf diucapkannya lirih sehingga tak begitu terdengar. "Ica hamil!" terang Sarah akhirnya. Seketika Romi terpaku. Ia bagai disambar petir di siang bolong. Ia menatap putrinya itu dengan lekat, berharap ada sanggahan yang tidak membenarkan ucapan Sarah dari mulutnya. Akan tetapi, Alisha justru semakin menundukkan kepalanya. Ia terdiam seolah membenarkan. Romi menggasak rambutnya secara kasar. Ia mengusap wajahnya berkali-kali. Kemudian berteriak frustasi. "Yang benar saja! Bukankah kamu murid teladan?! Kamu, hamil?!" bentak Romu dengan suaranya yang lantang. Rahangnya mengeras, ia tak tahan dengan semua ini. Hidupnya selama ini sudah cukup menyedihkan. Namun, dengan Alisha tumbuh menjadi anak pintar dan terpelajar, ia terobati. Ia merasa kehidupannya akan berubah jika Alisha sudah sukses nanti. Ya, kesuksesan Alisha akan membayar semuanya. Itulah yang diharapkannya. Namun, saat ini. Kenyataan yang ia dengar menghilangkan kewarasannya. Ia ingin tak percaya, tapi sikap istrinya juga Alisha yang tetap diam membuat semuanya menjadi saksi kebenaran hingga tak ada satu pun yang menjadi sanggahan. Tanpa sadar satu tamparan jatuh di pipi Alisha. Tamparan dari seorang ayah yang begitu mencintainya. Tamparan pertama yang benar-benar di dapatkan Alisha selama hidupnya. Alisha beranjak, ia merasa memang tak ada lagi maaf untuknya sehingga tak ada baiknya ia tetap tinggal. Pakaian-pakaian yang masih tergeletak di lantai ia pungut dan masukkan ke dalam tas. Buku-bukunya juga ia bereskan dan satukan dalam tas besar itu. Alisha akan pergi dari rumah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD