Mama Dita

1004 Words
Minggu ke minggu berlalu begitu saja. Cukup ada perubahan bagi keluhan Alisha, kini ia tak begitu merasakan mual dan muntah muntah. Alisha pergi ke sekolah seperti biasanya bersama Dita dan pulang ke rumah Dita. Selama ini mama Dita tak pernah tahu atas rahasia besar yang disembunyikan keduanya. Alasan Alisha tinggal pun Dita yang mengarangnya. Memang tak sepenuhnya bohong saat Dita bilang kedatangan Alisha adalah untuk belajar bersama, karena selama ini hal itu memang dilakukan oleh mereka berdua. Seperti yang dilakukannya malam ini. "Nih, ini nih yang aku gak ngerti di matematika. Sin cos sin cos, otakku benar-benar gelap tentang ini!" keluh Dita mengenai soal yang tengah mereka kerjakan malam itu. "Ini tuh yang penting kamu harus hafal kuncinya. Kamu hafalkan dulu, Dit, sin 30 berapa sin 60 berapa. Kalau cos itu kebalikannya. Kamu tulis deh mulai dari sin 0 sampai sin 90, nah nilai cos kebalikannya. Kalau tan tinggal bagi aja sin bagi cos. Kalau udah hafal itu semua, nanti mudah tinggal masukin nilainya," jelas Alisha, baginya memang tak ada pelajaran yang susah. "Tau ah, kalau udah berhubungan dengan hafal menghafal angkat tangan deh. Tau sendiri kan aku pelupa!" tukas Dita. Ia memang tak sepintar Alisha, apalagi dalam soal hafalan. "Awas lupa juga sama rahasia kita?" bisik Alisha kemudian. Ah, tak bisa dibayangkan jika Dita dengan polosnya lupa dan malah menceritakan hal itu pada orang yang tak seharusnya tahu. "Kalau itu tenang aja, aku bisa atasi!" Dita mengangkat kedua alisnya berulang-ulang. Hingga membuat mereka tertawa bersama. "Hei, dari tadi belajar terus nih?! Ayo, sini makan malam dulu!" ajak mama Dita yang tiba-tiba ada di ambang pintu. Keduanya sedikit terkejut, karena baru saja mereka membicarakan perihal "rahasia" yang sedang sangat ditutupi. Terlebih lagi Alisha, ia menyesal karena dirinya sendiri yang justru mulai membahasnya. Apa mama dengar? Jangan sampai dia curiga dan memaksa ingin tahu! batin Dita. Namun kemudian ia bersikap biasa saja demi sahabatnya itu tidak merasa cemas. "Hehe, oke, Ma!" sahut Dita. Ia pun segera keluar dari kamarnya dan mengikuti mamanya ke meja makan. Begitu juga dengan Alisha, walau sedikit parno ia tetap mengikuti ibu dan anak itu menuju meja makan juga. Sebetulnya tinggal di sini bukan hal yang buruk bagi Alisha, kecuali menyembunyikan kehamilannya itu. Karena memang selama di sini semua kebutuhannya terpenuhi. Alisha seperti anak kedua di rumah itu. Diberi makan serta kebutuhan lain sebagaimana Dita sang tuan rumah. Yang memberatkannya justru kebohongan yang sedang disembunyikan. Alisha bukan anak yang pandai berbohong. Melakukan kebohongan di rumah ini benar-benar membuatnya tak nyaman. Ia takut karena sedalam-dalamnya mengubur bangkai, maka lambat-laun akan tercium baunya. Ia tak bisa bayangkan jika kebohongannya itu terbongkar, mungkin ini akan menjadi mimpi buruk baginya. Ah, tidak. Mungkin kehidupannya yang bak surgawi akan menjadi neraka seketika. "Tante senang kamu mau tinggal di sini, Ca. Dita jadi rajin belajar!" ujar mama Dita di sela-sela makan malamnya. "Eh, hehe. Terima kasih juga, Tan. Dan maaf, aku sering ngerepotin di sini," jawab Alisha dengan sopan. Ia menyampaikan ucapan terima kasih dan permohonan maaf. "Tante tidak merasa direpotkan, kok! Malah justru tante gak enak sama ibu kamu. Emangnya dia gak keberatan ya, anaknya tinggal di sini terus? Emmm ... maksud tante, ibu kamu baik-baik saja kan?" Bagi mama Dita, berjauhan dengan anaknya itu mimpi buruk. Ia akan mencari-cari jika lama tak bertemu. Memang beda orang tua, beda juga cara menyanginya, dan mama Dita merupakan tipe orang yang akan melarang putrinya tinggal di tempat lain. Alisha terdiam sesaat. Ia bingung harus menjawab apa. Hatinya terus menduga jika mama Dita sebetulnya sudah tahu semuanya. Tiba-tiba dadanya bergemuruh, ia takut rahasianya benar-benar terbongkar saat ini. Bagaimana nasib ke depannya, jika wanita baik di depannya ini tahu yang sebenarnya. Apakah riwayat Alisha akan segera tamat? "Ih, Mama, nih ya! Bikin canggung tau! Ya, jelas ibunya Alisha gak keberatan, kok! Karena emang kan ujian juga sebentar lagi, jadi ibunya Alisha jelas mendukung! Selain itu, Alisha gak punya banyak buku referensi kayak aku, Ma. Aku rasa kita saling menguntungkan." Cepat, Dita menjawab saat melihat Alisha yang ketakutan. "Ah, benar sih. Alisha lupakan saja pertanyaan tante tadi. Tante senang sekali kamu bersedia sampai seperti ini. Kamu emang anak baik, pintar juga, insyaallah masa depan kamu akan cerah!". "Terima kasih, Tante." Hanya itu yang keluar dari mulut Alisha yang masih ketakutan. "Ah ya, dan satu lagi. Kamu gak perlu canggung tinggal di sini. Anggap saja rumah sendiri. Makan apa yang ingin kamu makan, dan pakai apa saja yang kamu perlukan!" Alisha mengangguk kemudian ia meneruskan makannya. Obrolan beralih, sengaja Dita alihkan. Sedangkan Alisha hanya diam mendengarkan. Sesekali ia tersenyum saat ibu dan anak itu asyik mengobrol dan melontarkan pembelaan Alisha saat berdebat. Dita tampak dekat dengan mamanya. Tidak seperti dirinya. Kedekatan itu tak pernah Alisha dapatkan dengan ibunya, justru ia lebih dekat dengan ayahnya. Tiba-tiba, Alisha jadi teringat ayahnya. Ia merasa sangat bersalah tapi sekaligus merasa kecewa. Mungkin wajar saat ayahnya itu marah besar, karena memang kedekatan mereka yang menjadikan ia begitu terpukul mendengarnya. Hingga dengan penuh amarah ayahnya itu justru mengusirnya. Alisha jadi memikirkannya. Apakah ayahnya itu mencari dia setelah mengusirnya? Atau justru memilih tak lagi peduli dan melupakan Alisha begitu saja. Membayangkan semua itu, membuat mata Alisha memanas hingga mengembun menahan tangis. "Ca!" kejut Dita seraya mengusap tangannya. "Eh? I-iya, Dit?" "Ayo, cepat makannya dihabiskan! Aku sudah habis dari tadi. Kita kan masih banyak PR!" "Ah, iya iya. Aku habiskan dulu, oke!" "Oke. Kamu santai aja. Aku mau buat minuman dulu buat nanti di kamar. Mau apa?" tawar Dita kemudian. "Kopi s**u aja deh!" "Oke!" Alisha mengusap wajahnya, kemudian ia menggeleng cepat berharap pikiran-pikiran tadi yang sempat muncul segera hilang. Hidupnya sudah cukup senang di sini. Apa pun yang dia mau ada, dan bahkan disediakan tanpa harus susah payah membuat. Ya, karena Dita memiliki cukup banyak asisten rumah tangga. Bahkan hingga pakaian pun, Alisha tak perlu mencuci dan menggosok sendiri. Semua dikerjakan oleh asisten rumah tangga Dita. Alisha pun kembali menyantap makannya yang sempat dibiarkan. Saat ini ia hanya perlu bersyukur, dan mungkin ini sebagai kenikmatan yang memang patut Alisha dapatkan karena mau mempertahankan bayi dalam rahimnya walau tak diinginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD