Solusi Terbaik

1006 Words
"Nih, pakai ini aja. Kebetulan musim penghujan. Kalau pake sweater besar pasti gak keliatan," ujar Dita. Ia menyerahkan sweater besar yang baru dibelinya kemarin. "Thanks, Dit. Aku udah malu banget, bener-bener takut ketahuan. Apalagi kemarin ada yang nyeletuk gitu." "Udah, gak apa-apa. Jangan didengerin!" Ya, saat ini kehamilan Alisha memasuki bulan ke enam. Besar perutnya semakin tampak. Di rumah Dita, ia selalu menggunakan daster kekinian milik Dita. Sehingga tak ada satu pun orang yang menyadari perutnya yang membesar. Besarnya sih tak seberapa, mungkin karena tubuh Alisha yang kecil juga. Hanya saja, jika ia mengenakan pakaian yang pas seperti seragam sekolah kadang terlihat. Seperti halnya kemarin, salah satu teman mereka ada yang menyadari. "Alisha, aku perhatikan kayaknya perutmu besar, ya?" celetuk Sherin. Teman Alisha yang duduk tak jauh dari bangku Alisha. Seketika Alisha terpaku. Ia tak bisa mengelak juga tak bisa menjawab. Hatinya penuh ketakutan akan terbongkarnya rahasia yang ia simpan selama ini. Namun, cepat cepat Dita meralat ucapan temannya itu. "Dia gendutan. Orang tiap hari makan langsung tidur. Ya, jadinya gitu gendut di perut," ujar Dita segera. "Oh, lagi program penggemukan nih? Emang harus banyak makan, tapi banyak olahraga juga, Ca. Biar gemuknya gak cuma di perut." "Oh, i-iya. Itu … aku suka makan tengah malam, terus tidur lagi," tanggap Alisha. "Nah, itu emang bikin gemuk tapi pagi-paginya kamu olahraga juga biar gak gemuk di perut." "Iya, ya. Nanti aku coba." Untuk sementara waktu, hal itu berhasil. Toh, kehamilan Alisha belum begitu terlihat. Akan tetapi, semakin bertambah bulan tentu saja perutnya akan semakin membesar. Hari ini Dita dan Alisha berangkat sekolah seperti biasanya. Alisha mengenakan sweater besar yang diberi Dita untuk menutupi kehamilannya. Cuaca di luar pun cukup mendukung, tidak hujan tapi langit tampak mendung. "Nanti kalau guru suruh lepas, bilang aja kamu lagi gak enak badan," bisik Dita saat mereka berjalan menuju kelas. "Hhhmmmm … oke, demi kebaikanku sendiri." "Sip. Udah, jangan takut untuk berbohong. Karena dari awal kita udah banyak bohong." "Aku jadi merasa dzolim sama diri sendiri, Dit. Sejak hamil banyak kebohongan yang keluar dari mulut aku." "Ya, mau gimana lagi? Kalau tidak, kamu gak bakal bisa ikut ujian. Tentu saja jika itu terjadi, kamu gak bakal lulus." "Oke, oke." Alisha menarik nafas panjang, mencoba meyakinkan hatinya. "Lagian, kalau kamu yang bohong, guru akan percaya saja. Toh kamu pintar, anak kesayangan guru-guru di sini." "Huh. Ya sudah, yuk masuk!" Benar dugaan Dita, Bu Wida guru mata pelajaran pertama meminta agar Alisha melepas sweaternya. Namun, bergegas lagi-lagi Dita yang menyelamatkan, karena tahu Alisha akan menjawab dengan ragu. "Itu, Bu. Alisha lagi kurang enak badan." "Kalau gitu, mau ke UKS?" tanya guru muda itu. "Tidak perlu, Bu. Saya ikut belajar aja," jawab Alisha segera. Ia tak enak, Dita selalu terlibat dalam semua kebohongannya. "Oh, ya sudah. Tapi kamu jangan terlalu memaksakan diri ya, Alisha." "Baik, Bu." Guru muda itu melanjutkan penyampaian materi. Dita segera mendekatkan wajah pada telinga Alisha seraya berbisik, "Bener kan kataku. Kalau kamu yang beralasan, guru selalu percaya." Tanpa menjawab, Alisha hanya mengacungkan ibu jarinya. Mereka pun kembali memperhatikan materi yang disampaikan. *** Menjelang jam istirahat, Alisha menolak untuk keluar kelas. Ia tak ingin menjumpai banyak orang, yang besar kemungkinan akan terbongkarnya rahasia itu. Dita meminta agar Alisha menunggu saja, dan dia yang akan membelikan makanan untuknya. Selagi Dita pergi, tiba-tiba dua orang gadis menghampiri Alisha. Alisha kurang mengenal siapa mereka. Namun, mereka datang dengan s**u kotak serta roti kemasan untuk Alisha. "Ini dari kakak aku, Teh," ucap salah satu dari gadis itu. "Siapa?" tanya Alisha heran. "Dia masih malu menunjukkan identitasnya. Tapi, dia sangat berharap minuman dan makanan ini diterima." "Ah, baiklah. Terima kasih banyak." Alisha menerima makanan itu tanpa mengetahui siapa pemberinya. Ia pun segera membuka dan memakannya. Entah, kenapa s**u dan roti di depannya sangat menggoda sehingga ia ingin segera mencobanya. Tak lama Dita datang kembali dengan makanan dan minuman lain sekantong plastik. Ia sengaja beli banyak untuk dimakan berdua. Namun, mendapati Alisha yang sudah memakan roti, Dita jadi bertanya-tanya. "Dapet dari mana?" tanyanya. "Ada yang berbaik hati ngasih makanan sama yang lagi lapar. Lumayan rezeki anak sholeh!" "Hilih. Aku juga kan ini sudah berbaik hati beliin kamu." "Hehe, iya iya. Kamu udah bukan baik hati lagi." "Lalu?" "Ada gak kata yang maknanya melebihi dari kata baik?" tanya Alisha menggoda. "Sepertinya tidak." "So, aku gak bisa ungkapkan kebaikan kamu. Baiiiiikkkk banget pokoknya sahabatku ini!" "Hahaha, iya lah, Dita!" seru Dita membanggakan diri. "Tapi ngomong-ngomong, kamu gak takut terima makanan dari sembarang orang?" "Habis, entah kenapa rasanya air liurku meleleh liatnya," ujar Alisha. "Mungkin bawaan bayi kali, ya?" lanjutnya kemudian dengan berbisik. "Ibu hamil emang aneh-aneh maunya!" tanggap Dita. "Haha. Iya gitu deh. Aku sendiri kadang heran. Tapi, Dit, tadi yang nganterin adik kelas. Kayaknya mereka anak kelas sepuluh deh." "Yang anterin cewek apa cowok?" tanya Dita kembali. Tak heran jika ternyata yang datang cowok. "Cewek berdua. Kayaknya yang satu itu temennya yang anter." "Wih, hebat! Jadi, kepopuleran kamu menyebar sampai adik kelas nih?" "Mungkin! Tapi yang pasti, dia bilang makanan ini dari kakaknya." "Kakaknya?" "Iya, mungkin dia emang punya kakak di kelas sebelas atau mungkin seangkatan sama kita." "Iya, sih masuk akal. Tapi yang pasti, semoga itu makanan gak diapa-apain. Masalahnya makanan itu udah masuk perut!" "Hahaha iya, aaamiin." Alisha kini makan makanan yang dibawakan Dita. Mereka masih asyik berbincang, sesekali tertawa bersama. Kedekatan keduanya sudah jauh dari sekadar sahabat biasa. Ya, sedekat itu Dita dan Alisha bersahabat. Ini karena rasa saling menyayangi satu sama lainnya. Tanpa mereka sadari, di balik jendela seseorang memperhatikan. Ia ikut tersenyum saat melihat mereka tertawa. Ia mengetahui segalanya yang terjadi pada Alisha. "Pulang sekolah nanti kita kontrol lagi ya, Ca?" tanya Dita memastikan. "Iya, sekalian aku mau bahas kedepannya gimana sama dokter Dinar." "Kamu udah coba tolak kan tawaran yang waktu itu?" "Udah, Dit. Kata dokter Dinar sayang sekali, padahal ada temennya yang mau rawat aku sama bayinya." "Tetep aja, kita harus waspada, Ca. Nanti anakmu diambil jadi anaknya gimana?" "Iya, Dit. Udah aku tolak kok. Nah, baru sekarang mau bahas lagi gimana jadinya." "Oke, deh. Kalau gitu semoga segera mendapat solusi terbaik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD