Keputusan yang Diambil

1069 Words
Bel tanda belajar selesai berbunyi. Alisha dan Dita segera merapikan alat tulis mereka kemudian bersiap pulang. Sesuai rencana mereka tidak langsung pulang ke rumah, akan tetapi menuju dokter Dinar. Keduanya berjalan gontai beriringan menuju gerbang sekolah. Namun, saat menyusuri koridor, tiba-tiba seseorang menghentikan langkah mereka. Ia berdiri dengan segenap keberanian yang dipaksakan tapi rasa malu masih kentara di wajahnya. Alisha hanya terdiam mengikuti Dita yang menghentikan langkahnya. Dita sendiri sedikit salah tingkah, tapi ia bisa menepis rasa itu. Gadis ini memang cukup pemberani bukan pemalu. "Emmm … a-anu. A-aku mau b-bicara." Tergagap pria itu menyampaikan maksudnya. "Ah, gimana ya, Vin. Maaf banget ya, karena aku lagi buru-buru. Ada urusan nih. Jadi, kita bicara nanti aja, ya!" jawab Dita segera. "Ah, i-itu. M-maaf mengganggu," ucap Alvin kemudian, ia bergegas pergi dengan berjalan cepat meninggalkan keduanya. Bersamaan dengan itu, Alisha justru fokus pada seorang gadis yang tadi menghampirinya. Ia melambaikan tangan kemudian menyusul Alvin pergi dan mereka jalan beriringan. Tunggu? Jadi kakaknya itu ...? Namun bergegas Alisha membuang pikiran itu jauh-jauh. Ia segera mengajak Dita untuk segera ke luar sekolah. "Lucu banget ya, si Alvin itu. Malu tapi mau. Aaaaaa … aku jadi makin suka," ujar Dita girang. "Emm, iya," jawab Alisha singkat. Ia tak mau membahasnya. Setelah keluar gerbang, keduanya segera menaiki angkutan. Sepanjang perjalanan, Alisha lebih banyak melamun. Ia memikirkan hal tadi. Jelas Alisha tidak mau besar hati duluan, tapi dia juga tak mau jika Dita salah paham. Entah apa yang harus dia lakukan. Sedangkan Dita kembali asyik menceritakan kelucuan Alvin di matanya. Padahal yang dia bicarakan masih itu-itu saja, Alisha hanya mengangguk memberi tanggapan. Sebesar itu rasa suka Dita. Hingga akhirnya mereka sampai, mereka pun segera turun dari angkutan. Tak seperti biasanya, hari ini klinik dokter Dinar tidak banyak pengunjung. Hanya satu dua. Yang satu sedang diperiksa, satunya lagi mengambil obat. Setelah mendaftar, Alisha hanya perlu menunggu beberapa menit untuk gilirannya. Dita sudah tak pernah lagi ikut mengantar ke dalam, ia hanya menunggu di kursi tunggu seraya memainkan ponsel pintarnya. Setelah Alisha selesai, barulah dia akan bertanya tentang apa yang dibahas di dalam bersama dokter Dinar. Tibalah giliran Alisha, ia segera masuk kemudian melakukan pemeriksaan tahap awal. Cek berat badan, suhu tubuh dan tekanan darah. Setelah itu, ia akan diminta berbaring untuk mendeteksi detak jantung janin serta memeriksa posisinya. Setelah serangkaian itu, barulah Alisha berkonsultasi. "Semua normal," ucap dokter Dinar. Senyuman mengembang di wajahnya. "Dok, sekarang perutku makin besar, ya?" "Iya, tapi pake sweater gini gak keliatan kok," ucap dokter Dinar santai memberikan ketenangan. "Kalau makin besar lagi nanti gimana? Aku kayaknya udah gak bisa menyembunyikan lagi." "Sebentar lagi kamu libur semester kan? Setelah libur jangan masuk dulu sampai lahiran. Gimana?" "Sepertinya akan jadi masalah. Aku kan mau ujian." "Inilah sebabnya. Awalnya saya kenalkan kamu sama temen saya itu biar nanti ada yang jadi wali kamu." "Tapi aku takut, Dok." "Takut kenapa?" "Emmm, itu … ya, pokoknya aku lebih memilih jalan lain aja." "Tapi apa? Saya gak bisa bantu jagain jika sampai lahir nanti. Kamu sendiri kan tahu, saya sibuk dengan pasien saya. Dan teman yang saya percaya satu-satunya hanya dia. Dia sendiri punya gadis seusia kamu. Jadi saya harap kamu pikirkan ini kembali. Tapi kalau bersikukuh untuk mencari jalan lain, maaf Alisha, aku sayang kamu dan hanya bisa membantu sampai lahiran saja." Alisha bergeming. Memang, tak ada yang bisa ia paksakan sesuai kehendaknya. Di sini ia harus bersyukur dan berterima kasih karena masih ada yang mau membantunya. Jika tanpa bantuan dokter Dinar, mungkin janinnya tak akan tumbuh dan berkembang sebaik ini. "Baiklah, Dok. Aku ingin bertemu dulu dengan teman dokter." "Bagus! Itu yang saya harapkan!" "Jadi kapan kita bisa bertemu, Dok?" "Mungkin Minggu depan." Sebetulnya Alisha sendiri kebingungan, apa yang membuat Dita sangat menolak. Bahkan dia malah menyarankan untuk ke panti asuhan. Walau alasan yang diucapkannya cukup menguatkan. Namun, menolak sebelum bertemu dengan orang yang dimaksud pun tak masuk akal. Selain itu, apalah kuasa Alisha yang tak punya apa-apa. Dia hanya bisa bergantung akan kebaikan Tuhan melalui orang-orang terdekatnya. Tak bisa menentukan ini itu sesuai kemauan. Alisha keluar dari ruangan setelah mendapat resep untuk diambil di apotek. Dita segera menghampiri begitu melihat sahabatnya keluar. Setelah mengambil obat, barulah Dita memburu sahabatnya itu dengan beberapa pertanyaan. "Jadi gimana?" tanya Dita. "Ya, gitu." "Gitu gimana?" "Aku memutuskan bertemu dulu sama orangnya. Ya, siapa tahu dia emang orang yang baik, Dit." "Ah," keluh Dita ia mengusap kasar wajahnya. "Kenapa mau ketemu?" "Ya, mau gimana lagi, Dit. Aku gak bisa apa-apa, atau aku akan kesusahan sendiri." "Aku bakal bantu, Ca. Aku bakal bantu. Gimana kalau kita bawa ke panti asuhan aja?" "Tapi, Dit. Nanti siapa yang jadi wali aku? Aku harus cuti beberapa bulan karena perutku membesar!" "Mama, mamaku yang akan jadi wali kamu." "Tapi nanti apa alasannya? Emangnya mamamu gak bakal nanya?" "Ah, benar sih." Dita turut bingung memikirkannya. Bukan apa, dia takut jika mamanya yang nyaris setiap hari memberi pujian pada Alisha, berubah jadi benci dan kecewa. "Lagi pula, aku heran kenapa kamu sangat melarang aku melakukan pertemuan, menerima tawaran dokter Dinar?" tanya Alisha kemudian. "Sudahlah. Temui saja dulu orang yang dimaksud dokter Dinar. Semoga semua berjalan sesuai yang diharapkan," ucap Dita. Ia sendiri tak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Mama Dita memang baik, sangat baik. Namun, ia sangat membenci kebohongan. Benci jika dirinya dibohongi. Dita sendiri tak tahu apa sebabnya. Hanya saja, semua itu pernah terjadi padanya. Mereka menaiki angkutan untuk pulang tanpa banyak bicara. Keduanya kalut dengan pikiran masing-masing. Dita sibuk memikirkan bagaimana nanti jika mereka bertemu, dan Alisha sibuk memikirkan Dita yang bersikap sedikit aneh. Tibalah mereka di rumah, hari ini memang sedikit telat karena obrolan Alisha dan dokter Dinar tadi. Mereka baru sampai rumah menjelang sore. Mama Dita tengah duduk di kursi teras rumah dengan ponsel pintarnya. "Apa kalian memang sering telat pulang seperti ini? Dan tanpa Pak Jon?" tanya mama Dita sedikit mengintrogasi. Alisha tak bisa menjawab. Lagi-lagi ia hanya ketakutan bahwa ini akhir dari semua kebohongannya. "Kita ada kerja kelompok tadi, Ma, di rumah temen. Jadi telat deh." "Benarkah begitu, Alisha. Sepertinya cukup sering, ya?" "Emmm … i-itu …." Alisha tak mampu menjawab. "Mama, kita kan udah mau semesteran. Tugas udah pasti numpuk, jadi guru-guru banyak ngasih tugas buat melengkapi nilai nanti di akhir," jelas Dita secepatnya. "Lain kali, bilang dulu. Kalau ada tugas kerja kelompok gitu, kerjakan di sini aja. Kan biasanya gitu!" "Siap, Ma. Ya udah, kita mau ganti baju dulu. Gerah." Dita segera mengajak Alisha masuk sebelum diinterogasi lebih lanjut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD