Mama Tahu

1031 Words
"Eh, Ka. Tadi mama ketemu temen mama yang jadi dokter. Katanya dia punya pasien anak sekolah yang sedang hamil," ucap mama Dita saat mereka sedang bersantai di ruang tengah seraya menonton TV. Alisha tak ada di sana. Ia memilih diam diri di kamar dan mencari tahu seputar kehamilan menggunakan laptop milik Dita. "Eh?" Dita terperanjat. Tiba-tiba saja dia ingat dokter Dinar. "Nama temen mamanya siapa?" "Dinar. Namanya dokter Dinar. Ternyata dia masih tugas di sekitar sini dan punya klinik juga. Kapan-kapan mama mau berkunjung ke sana." Ah, mengapa dunia ini sangat sempit. Bagaimana bisa, mama Dita kenal dengan dokter yang memeriksa Alisha. Dari sekian banyak klinik yang susah payah Dita pilih, kenapa harus dokter yang dikenali mamanya yang dia pilih saat itu. "Eh? Dokter Dinar?" Dita menampakkan keterkejutan yang justru membuat mamanya heran. "Iya. Kenapa? Kamu kenal dia?" tanya mamanya kemudian. "Hehe, ya nggak sih. Aku merasa gak asing aja sama namanya, Ma." Dita mencoba mengalihkan. "Ya pastilah, kan dia itu temen mama waktu SMA. Kebetulan tadi ketemu di supermarket. Eh, tapi kalian pernah ketemu gak ya, mama lupa!" "Emm, udah mungkin makanya aku ngerasa gak asing sama namanya!" "Iya kali, ya! Duh, Mama udah tua nih sekarang jadi pelupa." "Itu mah dari orok kali, terus turun ke aku!" "Haha, anak gadis mama nih bisa aja!" "Emm, Ma. Terus dokter Dinar cerita apa aja?" tanya Dita kembali, ia ingin mencari tahu lebih dalam. Dita sedikit heran, kenapa dokter Dinar malah menceritakan hal ini pada orang lain. Padahal sudah berjanji pada Alisha untuk menyimpan rahasia ini. "Ya, dia menceritakan semuanya. Awalnya datang seorang pasien dengan ibunya. Ketika dinyatakan dia hamil ternyata ibunya malah mengusir dia. Terus sekarang dia tinggal di rumah temennya," jelas Dewi, mama Dita. Ia sama sekali tidak merasa jika sebenarnya orang tersebut adalah Alisha. Mendengar temannya menceritakan pasien tersebut, Dewi hanya mengira sebagai cerita belaka. "Hmmm, kasian juga ya, Ma!" tanggap Dita pura-pura merasa iba. Padahal ia tahu lebih dari itu. "Iya, terlebih dia korban p*********n. Malang sekali nasibnya," tambah Dewi kembali. "Terus dokter Dinar bilang apa lagi, Ma?" tanya Dita terus menggali informasi. "Dia minta bantuan mama," ucap Dewi santai. Namun, Dita malah memberi tanggapan berlebihan. Ia menunjukkan rasa keterkejutan untuk yang kesekian kalinya. "Hah? Bantuan mama? Bantuan apa?" tukas Dita. Ingin sekali ia temui dokter Dinar saat itu juga. "Ya, kata dia. Anak ini tidak mungkin melahirkan dan merawat anaknya sendiri, jadi dia minta mama bantu rawat karena kan gak mungkin juga dia rawat sendiri. Masalahnya dia mau menghadapi ujian. Kayaknya sih seusia kamu," jawab Dewi. "Selain itu, anak itu membutuhkan seorang wali juga." "Kenapa harus mama? Mama kan sibuk?" "Entah, mungkin dia mengira mama tidak punya kesibukan." "Terus mama bilang apa?" "Ya, mama bilang boleh-boleh aja. Toh, di sini juga ada Alisha. Jadi kalian bisa saling berteman kan?" "Eh?" Dita semakin bingung. "Emmmm, iya sih." Dita semakin kebingungan. Jelas-jelas yang dimaksud dokter Dinar itu Alisha. Namun, jika mamanya tahu bahwa Alisha lah orang yang dimaksud, apa dia akan tetap menerima? "Mama bilang, mau kapan nerima gadis itu?" "Entah, belum bicara lebih lanjut lagi. Dokter Dinar bilang lebih baik kita ketemu dulu. Ya, benar sih. Takut malah malah anaknya gak mau kan?" "Ah, gitu ya." Dita merasa lega. "Eh, Ma. Aku ke kamar duluan, ya!" "Iya, Sayang. Selamat malam!" "Selamat tidur, Mama." Dita bergegas pergi menuju kamar untuk menemui Alisha. Sahabatnya tampak masih sibuk membaca artikel mengenai kehamilan. Ia begitu semangat menjaga kehamilannya itu. Dita menjadi tak enak membicarakan hal tadi padanya. Ya, Alisha sendiri akan takut dan merasa malu pada mamanya. "Eh, Dit, udah mau tidur?" tanya Alisha saat menyadari kedatangan Dita. "Eh, nggak sih. Aku pengen ke kamar aja." "Oh. Tugas-tugas udah beres semua, jadi gak banyak kegiatan ya!" tukas Alisha. "Ca, mengenai lahiran kamu nanti. Kamu mau gimana?" tanya Dita tiba-tiba tanpa menanggapi ucapan Alisha sebelumnya. "Kata dokter Dinar sih nanti dia yang urus." "Tapi gak mungkin kamu tinggal di rumahnya kan? Maksudku dia juga kan sibuk sama pasien." "Iya, aku rasa juga gitu. Tapi aku belum tahu apa yang bakal dilakukan dokter Dinar." "Kamu bakal nurutin arahannya?" "Ya, karena aku tak bisa melakukan apa-apa. Masalahnya kan kalau bayi ini lahir terus aku tinggal sekolah, dia siapa yang jaga?" "Iya, kamu bener. Tapi gimana kalau kita bilang sejujurnya aja sama mama aku. Mungkin mama mau bantu," usul Dita kemudian. Sebetulnya, ia hanya ingin jangan sampai terjadi kesalahpahaman sehingga mengakui hal ini lebih dulu akan lebih baik dibandingkan nanti ketahuan bahwa mereka menyembunyikan sesuatu yang besar. "Gak, Dit. Jangan! Mama kamu aku rasa akan marah jika tahu, karena selama ini kita berbohong sama dia." Di luar dugaan, Alisha justru menghindari hal itu. Ah, itu juga yang aku pikirkan jika kalian dipertemukan dokter Dinar nanti! batin Dita. "Gimana kalau kita kasih panti asuhan aja, Ca? Di sana kan emang khusus tempatnya. Kamu juga bisa tengok dia kapan pun kamu mau. Dan kalau kamu kelak udah siap ngurus, kamu bisa kembali mengambilnya," usul Dita tiba-tiba. Ia tak mau menceritakan yang sebenarnya, takut Alisha malah cemas dan panik lebih dulu. "Aku gak setega itu, Dit. Aku yang akan tetap mengurusnya di tengah-tengah kesibukan. Dan sepertinya setelah lulus nanti aku bakal kerja dulu." "Emmm tapi, Ca. Mending kamu tolak dulu aja tawaran dokter Dinar nanti. Bukan apa ya, aku takut dia berpikir untuk memberikan anak kamu ke orang yang susah punya anak. Kan pasti banyak pasien-pasiennya yang kontrol karena susah punya anak." Alisha terdiam. Ia tampak berpikir. Rupanya, perkataan Dita cukup mengusik hatinya. "Ya, mungkin nanti kita bicarakan lagi sama dokter Dinar," ucapnya setelah beberapa saat terdiam. "Ya. Kamu tenang aja. Apa pun jalan yang kamu pilih, aku akan ada buat kamu." "Makasih ya, Dit." "Ya, kita kan sahabat!" Keduanya saling tersenyum. Dita mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan Alvin yang mengusik hatinya akhir-akhir ini. Sepertinya ia sangat menyukai pria pemalu itu, hingga tak ada bosannya ada saja yang ingin ia ceritakan tentang dia pada Alisha. Alisha yang tidak terlalu berpengalaman soal cinta, menyarankan agar Dita melakukan pendekatan untuk sekadar berteman. Namun, tentu saja Dita menolak. Katanya, jika wanita mendekati pria duluan, tak ada tantangan untuk si pria itu. Mereka larut dalam perbincangan hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas malam, keduanya segera bersiap tidur karena besok harus sekolah seperti biasanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD