Awal Mula

1089 Words
Satu bulan berlalu dari kejadian itu. Kini Alisha menduduki kelas XII. Itu artinya ia sudah harus mulai fokus dalam belajar karena akan dihadapkan ujian nasional. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya. Kemudian mengambil kalender kecil yang disimpan di atas meja belajarnya. Alisha tersenyum karena kurang lebih satu tahun lagi cita-citanya untuk berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah akan segera terlaksana. Alisha membolak-balik kalender tersebut mengatur jadwal belajar satu tahun ke depan. Ia harus lebih giat dan menambah waktu belajarnya agar nilainya kelak memadai. Ya, Alisha memang harus segiat itu untuk menggapai cita-citanya karena ia lahir dari keluarga yang serba kekurangan. Walau begitu, ia tetap menjadi kebanggaan orang tuanya selama ini. Terbukti, dengan Alisha bersekolah di SMA favorit kala teman-teman sebayanya tak ada yang meneruskan sekolah sama sekali. Hingga ia kembali membalik kalender untuk mengembalikannya ke posisi semula. Ia terlewat satu lembar hingga membuka kalender bulan sebelumnya. Beberapa angka dicoret sebagai tanda saat ia datang bulan. Ya, begitulah wanita. Alisha tertegun sesaat, menghitung ulang serta mengingat-ingat. Sudah lebih dari satu bulan, tapi belum ada tanda-tanda datang bulan. Di bulan sebelumnya Alisha haid di awal bulan dan bulan ini sudah hampir habis tanggal tapi masih juga belum terlihat tanda-tandanya. Apa mungkin aku telat? Sepertinya bulan ini aku terlalu banyak melakukan aktivitas! Ia tak menghiraukannya, kembali diletakkannya kalender di atas meja. Alisha segera beringsut bangun untuk kemudian bersiap sekolah. Jam dinding yang ada di kamarnya menunjukkan pukul 05.00 pagi, Alisha pun segera membersihkan diri. Kepalanya terasa pusing begitu ia menginjakkan kaki ke dalam kamar mandi, bau kamar mandi membuat perutnya sedikit mual tapi masih bisa ia tahan hingga tak sampai muntah. Namun, yang pasti ia sedikit tak nyaman dengan perutnya saat ini. Selesai membersihkan diri, Alisha segera mengenakan pakaian seragam sekolah. Seragam khas anak SMA yakni baju putih serta rok abu-abu, tak lupa jilbab putih segi empat digunakannya dengan dilipat ke belakang. Dasi khas sekolahnya ia sematkan di kerah baju, serta sabuk dibagian pinggang. "Selesai!" ujarnya semangat melihat pantulan diri yang sudah rapi. Ia segera keluar kamar untuk kemudian sarapan nasi kuning buatan ibunya. Ya, setiap pagi Sarah, ibunya Alisha membuat nasi kuning untuk kemudian ia titipkan di warung-warung di kampung. Cukup lumayan untuk biaya hidup mereka. Alisha memang terlahir dari keluarga pas-pasan nyaris kekurangan. Ayahnya sebagai buruh tani di ladang sedangkan ibunya sebagai penjual makanan yang disimpan di warung-warung. Jika di pagi hari ia membuat nasi kuning, maka sore membuat gorengan. Namun, walau begitu mereka tetap senang, terlebih memiliki anak secerdas Alisha. Mereka yakin masa depannya akan berubah, kedua orang tua Alisha menaruh harapan besar pada putri tunggalnya. "Sini makan dulu!" ajak Sarah begitu melihat putrinya keluar dari kamar. Bau kunyit khas nasi kuning langsung tercium oleh indera penciuman Alisha. Aroma makanan yang biasa menggugah selera makannya kini justru malah membuatnya terasa mual. Jangankan memakannya, melihatnya saja sudah membuat pait tenggorokan. "Aku gak sarapan deh, Bu. Nanti aja di sekolah," ujar Alisha ia segera menjauh kemudian mengambil sepatu dan memakainya. "Ya udah, bawa satu bungkus untuk makan di sekolah!" ucap Sarah ia memasukkan satu bungkus nasi kuning ke dalam kantong plastik kemudian memasukkannya ke dalam ransel putri tunggalnya. "Aku pamit berangkat dulu ya, Bu!" Gadis berkulit putih itu mencium punggung tangan ibunya sebelum kemudian berangkat ke sekolah mengenakan sepeda. *** "Nih buat kamu!" Alisha menyodorkan kantong plastik yang disimpan ibunya dalam tas pada Dita, teman sebangkunya. "Apa ini?" tanya Dita seraya menerima kantong plastik tersebut. "Nasi kuning buatan ibu," jawab Alisha singkat. "Wah, asyik!" seru Dita girang. "Ini sengaja bawa buat aku?" tanyanya heran sebelum kemudian membukanya. "Yaaaa … makan aja deh!" "Aaaa ... makasih!" Dita bergegas membukanya. Lagi aroma yang keluar mengganggu indera penciuman Alisha. "Ih, jauh-jauh sana! Jangan buka di sini!" protes Alisha membuat kedua alis Dita bertautan. "Kenapa?" tanya Dita acuh, ia tetap saja menyantap nasi kuning itu di samping Alisha. "Lagi gak enak perut, dari pagi mual!" jawab Alisha seraya menjauh. "Kenapa? Masuk angin?" Alisha mengedikkan bahunya, satu tangannya menutup hidung. "Iya, itu mungkin masuk angin. Wajarlah kamu pulang pergi sekolah naik sepeda," imbuh Dita. "Apa hubungannya?" tanya Alisha heran, selama dua tahun ini belum pernah ia masuk angin gara-gara bersepeda. "Iya kan kalo lagi naik sepeda kamu melawan angin, ini pasti kamu sambil gowes sambil teriak. Jadi tuh angin masuk semua lewat mulut!" seloroh Dita, sekejap kini nasi kuning telah habis dilahapnya. "Ngaco ah!" "Pantes aja tadi selama pelajaran kamu kayak yang gelisah. Bel masuk nanti gak usah belajar deh, istirahat aja di UKS." "Gak bisa. Kalau aku ketinggalan satu pelajaran, itu artinya aku ketinggalan kesempatan buat raih cita-cita!" tolak Alisha. "Sekali aja gak apa-apa kali! Liat tuh muka kamu pucat gitu!" Alisha bergeming sesaat. Ia menimbang-nimbang haruskah istirahat sejenak, karena memang sejak tadi badannya kurang enak terlebih kepalanya yang terasa sakit. "Udah, gak perlu banyak mikir! Ke UKS aja, yuk!" Dita kembali berbicara seraya beranjak dari tempatnya menghampiri Alisha. Ia lalu membopong sahabatnya mengantarnya menuju UKS. Siswi kelas XI sedang berjaga di sana. Dita pun menitipkan Alisha lalu setelahnya ia kembali ke kelas karena bel masuk sudah terdengar. *** Setelah hari itu, hari demi harinya Alisha lalui dengan keluhan yang sama yakni mual dan pusing di setiap pagi hingga siang. Namun, setelah pulang sekolah, di sore hari ia bisa makan seperti biasanya. Aneh! Aku ini kenapa? gumamnya. Hari ini merupakan senin ketiga dari sejak ia merasa mual. Bahkan saat ini tidak hanya mual dalam perut yang ia rasakan, bahkan sampai muntah. Sejauh ini Sarah masih belum tahu dengan apa yang terjadi pada putrinya, karena Alisha yang selalu memaksakan sekolah walau keadaannya tidak baik-baik saja. Seperti biasanya Alisha akan memberikan sebungkus nasi kuning pada teman sebangkunya. Belakangan Dita tahu, nasi itu bukan sengaja dibawa untuknya. Akan tetapi, nasi itu merupakan bekal Alisha karena ia yang tak sarapan di rumah. Namun, Alisha enggan memakannya sehingga ia berikan pada sahabatnya itu. "Aku seneng sih dapet nasi gratisan gini. Biar tiap hari, buatan ibumu gak bikin bosen! Udah gitu uang jajanku jadi irit juga. Cuma …." Dita diam sejenak, ia tatap lekat sahabatnya dalam-dalam. "Apa yang bikin kamu gak mau makan nih nasi bahkan sampai enggan mencium baunya aja?!" tanyanya kemudian dengan tatapan heran. "Entah … tapi Dit, apa ini ada hubungannya sama aku telat datang bulan, ya?" ujar Alisha ragu. Bagaimanapun ia tak bisa lepas pikiran dari hal itu. "Hah? Kamu, telat datang bulan?" tanya Dita hanya memastikan. "Ya, terhitung dari terakhir aku datang bulan sepertinya ada deh sekitar dua bulan," jawab Alisha seraya mengingat-ingat. Dita mendekati Alisha hingga mereka tak ada jarak. "Apa kamu hamil?" bisiknya. Spontan, Alisha menjauhkan diri tak terima dengan apa yang Dita bisikkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD