AYAH

1169 Words
Kini tetangga baruku adalah seorang pengusaha. Namanya Pak Harfan. Ia tinggal seorang diri, belum menikah sampai sekarang. Padahal usianya sudah sangat cukup dan bahkan kekayaannya pun sudah bisa untuk menafkahi seorang istri. Akan tetapi, entah kenapa ia tak mau menikah. Yang ia fokus lakukan hanyalah berdagang dan berdagang. Usahanya di bidang jual beli sepatu sudah berhasil membuka cabang di berbagai daerah di pulau jawa. Totalnya adalah empat usaha. Dan yang di Bogor ini adalah cabang nya yang keempat. Sedangkan tiga usaha sebelumnya bertempat di Bandung, Jakarta dan Karawang. Pak Harfan sangat jarang berada di rumah. Bahkan ia sangat sulit jika diajak bersosialisasi atau pun jika ada kerja bakti sekomplek. Lebih parahnya lagi ia belum mengenal tetangga samping rumahnya. Maka tak heran jika tetangga yang lainnya pun kurang memperhatikan dan mempedulikannya. Selepas perpisahan itu, aku kembali ke rumah. Aku lupa belum meberi makan Flash dan ikan-ikan hias lainnya. Bahaya kalau mereka tak diberi makan, bisa mati mereka! Apalagi kalau Flash, jika ia terlambat makan biasanya ia akan mogok makan selama beberapa hari. “Menyusahkan saja kau, Flash!” pikirku.  Hari ini jadwal makan Flash adalah cacing sutra. Seperti biasa, ia makan di tempat yang hangat, yang terkena sinar matahari. Dan lagi, aku juga menunggu sampai makanan mereka habis. Karena kalau tidak, bisa-bisa ia dimakan kucing. Hari sudah siang. Ayah masih belum datang. Perasaanku mulai tak enak. “Kemana ayah pergi?!” Aku pun mencoba menghubunginya melalui telpon tetangga, tapi tak diangkat. Hingga beberapa saat kemudian, saat mentari mulai condong ke arah barat. Sebuah mobil ambulan datang dan berhenti tepat di depan rumahku. Sopir dari mobil tersebut adalah orang yang sudah kukenal. Dan ialah Paman Greg. Ada apa gerangan Paman Greg datang membawa ambulan? Langsung saja aku segera menghampirinya. “Paman! Ada apa?!” tanyaku ketika Paman Greg turun dari mobilnya. “Ayahmu, Rid! Ayahmu!” sahutnya dengan penuh kesedihan. “Ayah?! Ada apa dengan ayah?! Ke mana ayah pergi? Ia belum datang sejak kemarin!”? sahutku semakin cemas. Paman Greg tak memberi jawaban. Ia berjalan dengan tergesa-gesa ke pintu belakang mobil. Lalu membukanya. Aku pun mengikuti ke mana Paman Greg pergi. Paman Greg menarik roda yang ada di dalam ambulan. Perasaanku semakin cemas. Pikiranku semakin kacau. Apa yang berada di dalam ambulan itu adalah ayah?! Apa yang terjadi dengan ayah?! Paman Greg menarik roda itu keluar. Di atasnya, aku melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri. Seseorang terkujur di atasnya, orang itu dibaluti kain samping, persis seperti orang mati. Tak banyak tanya, karena rasa penasaranku yang semakin memuncak, aku membuka sendiri kainnya untuk mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Dan ternyata, setelah kubuka kain tersebut, serentak jantungku tersentak melihat ayah terkujur di atasnya. Matanya sudah tertutup dan hidungnya disumbat oleh kapas. Seluruh badannya tak bergerak sedikit pun, nafasnya pun tak berhembus. Apa mungkin ayah meninggal? Aku jadi teringat dengan memori beberapa tahun silam, saat ibu meninggal karena tabrakan. Tapi bedanya, saat ibu meninggal terdapat banyak bekas luka dan berlumuran darah. Kalau ayah tidak sama sekali. “Apa yang terjadi dengan ayah, Paman?!” teriakku kepada Paman Greg. “Ayah,” sahutnya pelan. “Ayah kenapa?!” sambarku tak sabar. “Cepat jawab, Paman! Cepat!” “Ayah meninggal. Ia keracunan, Rid!” Setelah mendengar penjelasan Paman Greg, air mataku bercucuran tak tertahankan. Aku memeluk dan mencium ayah penuh penghayatan. Kini, kedua orangtuaku telah pergi meninggalkanku. Betapa teganya mereka melakukan itu. Apa yang harus kulakukan? Mungkin aku masih bisa tinggal tanpa ibu. Tapi aku takkan bisa hidup tanpa ayah dan ibu. Apa yang bisa kulakukan?! Apa yang akan kulakukan?! Ayah! Ibu! Aku ingin menyusulmu! Kenapa kalian pergi tanpa mengajakku?! Apa kalian tak menyayangiku?! Mungkin kini aku bukanlah Farid yang penuh semangat, harapan, dan keceriaan. Farid sekarang adalah Farid yang akan penuh keputus asaan, hidup tanpa tujuan dan tak punya dorongan. Lebih baik aku mati! Tuhan, tolong ambil nyawaku seperti kau mengambil nyawa ayah dan ibuku. Jika engkau masih tak menghendaki, aku akan mengusahakannya sendiri. Mungkin, jatuh dari gedung setinggi sepuluh lantai cukup, ditusuk d**a oleh pisau, tenggelam di samudra atau tak makan selama berminggu-minggu. Ahhhhhh! Aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Tak ada yang bisa kulakukan. Pikiranku, perasaanku sepanjang hari adalah tentang ayah. Ibu. Ayah. Ibu. Ayah dan ibu seterusnya. *** Tiga hari berlalu sejak ayah meninggalkanku. Waktu berjalan terasa sangat lambat. Saat hari pertama sebelum ayah dimakamkan, banyak orang berdatangan ke rumahku untuk takziah. Mereka membawa beras dan makanan lainnya. Selain itu, mereka juga banyak mengucapkan turut berduka cita dan ucapan-ucapan lainnya. Aku tak mempedulikan apa yang mereka ucapkan. Aku hanya diam, melamun memikirkan kepergian ayah dan ibu. Heru juga datang ke rumahku untuk takziah. Ia memelukku erat. Banyak yang ia ucapkan. Aku tak bisa mengingat semuanya. Saat orang lain pergi, Heru masih terdiam menemaniku hingga larut malam. Ia selalu mencoba menghiburku. Tapi aku tak banyak meresponnya. Aku hanya diam. Diam dan diam tanpa kata. “Rid! Kalo butuh apa-apa, bilang sama aku! Jika aku bisa membantunya, aku pasti membantu…” ucap Heru. Aku menganggukkan kepalaku, pertanda aku mengerti dengan apa yang Heru katakan. Setelah itu, Heru pergi meninggalkanku sendirian. Dan perkataan itu adalah satu-satunya perkataan yang aku ingat dari sekian banyak perkataan lainnya. Kini aku benar-benar sendirian. Tanpa satu pun orang menemaniku. Kakek-nenekku tak kuketahui keberadaannya. Seingatku, sepanjang hidupku tak pernah ku dipertemukan bersama mereka. Dan sekarang mereka pun tak hadir saat salah satu anaknya meninggal dunia. Apa mungkin aku tak memiliki kakek dan nenek? Sudahlah! Tak ada lagi sesuatu yang bisa kuharapkan. Meski pun aku berharap, harapan itu adalah sesuatu yang mustahil. Setelah tiga hari ayah meninggal. Ternyata banyak sesuatu terjadi yang tak sesuai dengan dugaanku. Kukira, jika ayah pergi takkan ada makanan di rumah. Tapi itu semua salah. Tiga hari terakhir ini, banyak makanan tersedia di rumahku. Makanan itu adalah pemberian dari orang-orang yang takziah. Tapi dari sekian banyaknya makanan tersebut, tak satu pun di antaranya masuk ke mulutku. Tiga hari aku tak makan, tak terasa sedikit pun lapar. Aku masih hidup, tenagaku masih banyak. Ah! Kenapa aku tak sakit?! Atau kalau bisa, mati saja! Kemarin Heru memberiku nasi padang, ia tahu kalo aku suka nasi padang. Lauknya sama rendang kesukaanku. Jika ayah masih ada, aku pasti sudah menghabiskannya. Tapi tidak dengan kali ini, aku membiarkan nasi padang tersebut sampai esok hari. Sampai basi. Tak ada sedikit pun hasrat dalam diriku untuk memakannya. Jangankan untuk makan, untuk bernafas pun kalau bisa aku ingin berhenti. Berhenti dari semuanya. Berhenti berkedip, berpikir, merasakan dan berhenti menjalankan kehidupan. Betapa beratnya hidup sendirian ditinggalkan ayah dan ibu. Tidur pun susah. Ayah dan ibu tak ingin pergi dari pikiranku. Aku tak bisa berhenti memikirkannya. Hingga tiga hari terakhir ini, aku tak bisa tidur. Mataku merah, lemas tak berdaya. Jika dipikir kembali tiga hari kebelakang, hari itu adalah hari yang paling tak pernah kuharapkan. Aku ditinggalkan oleh dua orang sekaligus. Oh, tidak. Bahkan tiga orang yang aku sayangi. Pertama, sejak pagi buta aku ditinggalkan Bi Idah dan Pak Arif ke Karawang. Setelah beberapa jam dari itu, kabar buruk kembali menghampiriku. Ayah pergi meninggalkanku selamanya. Benar-benar hari yang sangat sulit untuk kujalani. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD