PEMAKAMAN

1037 Words
Andai saja, Bi Idah dan Pak Arif masih ada. Mereka pasti sudah bisa menghiburku dan bisa membuatku melupakan kesedihan. Setiap pagi dan sore akan selalu ada orang yang memarahiku untuk mandi dan makan. Selain itu, mungkin setiap pagi juga akan ada kecupan dan pelukan. Aku menyayangi mereka. Aku merindukan mereka. Andai saja mereka belum pindah. Andai saja Pak Arif tak dipindahkan. Apa mereka tahu kondisiku saat ini? Apa mereka tahu bahwa ayah meninggal? Apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menghubunginya? Oh, tidak! Aku hanya akan menyusahkan mereka. Aku pusing sendiri di atas kasur kamarku. Dengan selimut lembut menghangatiku. Flash, aku melihatnya juga sedang melamun di atas batu yang aku simpan di dalam aquarium. Apa mungkin ia juga merasakan apa yang aku rasakan. Flash, apa kau baik-baik saja?! Kau juga belum makan selama tiga hari ini. Tak ada cahaya mentari menghangatkan tubuhmu. Maafkan aku, Flash! Apa kau merasa kelaparan?! Maafkan aku, Flas! Maafkan aku! Hei, Flash! Kau sendirian sedari dulu, bukan?! Aku mengambilmu dari keluargamu di toko ikan. Apa kau merasakan hal yang sama sepertiku? Apa kau merasa kesepian atau rindu akan ibu dan bapakmu di sana?! Betapa kejamnya aku, Flash! Maafkan aku! Aku benar-benar bersalah Flash! Mungkin suatu saat aku harus mengembalikanmu ke toko ikan. Atau melepaskanmu ke alam bebas dan membiarkanmu mencari makan sendiri. Huftt! Air mataku tak bisa lagi keluar. Padahal, hatiku ini sangat menangis, merintih dan berteriak. Tapi karena aku terlalu sering menangis jadi air mataku tak bisa keluar lagi. Air mataku kering kemarau. Saat itu, setelah selama tiga hari aku tak tidur. Aku pun akhinya bisa tertidur di atas kasur kesayanganku. Dan terakhir kulihat waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Waktu berjalan begitu cepat saat aku tertidur. Perasaanku, aku hanya tertidur selama beberapa jam. Tapi nyatanya, saat kubuka kembali mataku, hari sudah berlalu selama dua hari dua malam selama au tertidur. Lalu, sejak saat itu barulah aku bisa merasakan kelaparan. Lapar, sangat lapar. Perutku terus berbunyi menggerutu. Akhirnya, aku pun bangun dan berjalan menuju dapur. Aku melihat banyak makanan di sana tapi semuanya sudah basi.  Percuma, tak bisa dimakan. Aku pun berjalan ke luar mencari udara segar. Saat aku membuka pintu, terdapat dua bungkus nasi di depan pintu. Kulihat dan kucium, dan tak salah lagi. Itu adalah nasi padang. Siapa yang mengirim nasi padang kepadaku? Ternyata, terdapat tulisan tertempel di sana. “Selasa. Heru.” Dan satunya lagi bertuliskan “Rabu, Heru.” Apa maksudnya ini? Heru? Apa mungkin ini pemberian Heru? Lalu apa maksud dari selasa dan rabu ini? Oh, ya! Ia tahu kalau aku tak makan. Ia menyimpannya di luar setiap hari. Dan yang bertuliskan selasa ini adalah pemberiannya di hari kemarin. Sedangkan yang satunya lagi, adalah pemberiannya hari ini. Ya, aku betul! Karena yang bertuliskan selasa itu baunya sudah tak enak. Sesuatu melintas dipikiranku. Ternyata masih ada yang memperhatikanku. Walau pun tak banyak, dan perhatiannya pun tak sama seperti kasih sayang ayah dan ibu. Tak bisa dibandingkan. Tak kuat aku menahan lapar. Hasratku untuk makan kembali hadir, apalagi untuk makan nasi padang. Aku pun segera membuka dan memakannya di dalam rumah. Setelah perutku terisi oleh sebungkus nasi padang. Aku pun hendak membuang semua makanan basi yang ada di dapur. Baunya sangat tak enak dan menyengat. Aku pun membuangnya ke tempat sampah besar yang berada di depan rumahku. Lalu, ingatanku kepada ayah kembali hadir. Aku kembali merindukan kehadirannya. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk pergi ke tempat di mana ayah dipendam. Tempat pemakaman ayah cukup jauh dari rumah. Tempatnya berada di arah belakang rumahku. Tak ada jalan tembok atau pun aspal untuk menuju ke sana. Perjalanan harus ditempuh dengan jalan kaki karena jalannya hanyalah tanah yang naik turun. Banyak semak-semak tinggi tak terurus. Mereka menyimpan embun-embun dingin di pucuk daunnya. Dan setelah menempuh jalan penuh ilalang, jalan selanjutnya adalah jalanan yang penuh dengan rimba pepohonan tinggi nan besar. Banyak burung-burung cantik yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka bernyanyi dengan keras dan lantang. Suaranya melengking merdu penuh melodi dan irama yang tak stagnan. Warna bulunya beragam. Ada yang berwarna warni penuh warna dengan paruhnya yang mungil. Ada juga yang berwarna hitam, tubuhnya kecil, sedangkan paruhnya panjang. Dan masih ada banyak burung-burung lainnya yang tak bisa kujelaskan. Karena di antara mereka ada yang hinggap di pucuk pohon besar itu. Jadi aku tak bisa melihatnya dengan jelas, hanya bisa melihat gerak gerik dan suaranya yang sangat merdu. Selain burung, aku juga menemukan tupai melompat dengan pandai dari ranting satu ke ranting lainnya. Tubuhnya yang ringan tak memberikan suara. Sedangkan kakinya yang mungil sangat lincah dalam pergerakan. Tupai itu dikejar oleh tupai lainnya yang berukuran lebih besar. Apa mereka sedang bertengkar? Atau mungkin mereka sedang berpacaran? Ah, entahlah. Aku tak tahu pasti tentang apa yang mereka lakukan. Selain itu, hewan-hewan lainnya adala serangga-serangga tanah. Seperti kalajengking. Ya! Pertama kali aku melihatnya, ia sangat gagah dan keren. Apalagi saati ia sedang dalam ancaman. Ekornya akan ia angkat bersiap untuk menyengat. Sedangkan kedua lengannya bersiap siaga untuk menangkap dan mengunci mangsanya. Di selokan pinggir jalan, airnya yang cukup jernih menghidupi beberapa ekor ikan kecil. Aku tahu ikan itu, ikan itu adalah ikan jeler. Dan terus kupandangi selokan itu, barangkali ada ikan lain yang lebih besar. Akan tetapi, setelah kususuri, ada seekor ular sedang meliuk-liuk di atas air. Ukurannya tak besar, warnanya hijau tua. Ketika aku mendekatinya, ular itu pergi dengan cepat meninggalkan perairan. “Apa kau takut? Padahal aku juga tak berani kepadamu!” ucapku pelan ular yang sudah pergi entah ke mana. Rimba penuh hewan-hewan cantik dan unik itu berakhir setelah sekitar dua puluh menit menempuhnya. Kini, sampailah aku di pemakaman umum.  Hewan-hewan cantik itu kini berubah menjadi serangga-serangga kecil menjengkelkan. Mereka para pencuri darah banyak beterbangan, berisik di telinga dengan bunyinya yang nyaring. “Plak!!!” Dasar, nyamuk payah. Aku ingat di mana ayah dimakamkan. Ia berada di pojok. Di antara dua makam yang besar. Makam ayah masih sangat polos, belum ada batu nisan apalagi batu penanda makam. Aku tak punya uang untuk membelinya. Satu-satunya tanda bahwa itu adalah makam hanyalah ranting pohon hanjuang. Halaman makam ayah masih sangat bersih dari rerumputan. Aku duduk di samping kuburan ayah, kemudian menatapnya dalam penuh penghayatan. Air mataku mulai menetes memebasahi pipi, dagu kemudian jatuh ke tanah yang mengubur ayah. Aku menangis tersedu-sedu dan merengek di hadapan kuburan ayah. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD