MALAM YANG SULIT

944 Words
“Awalnya, sejak SMP aku udah ikut balapan liar. Waktu itu belum punya motor sendiri, masih jadi joki. Setelah beberapa kali ikut balapan, ada bengkel yang nawarin aku jadi joki tetap. Nama bengkelnya TJM, Tanjung Jaya Motor. Dari sana aku dikasih motor pribadi sama motor buat balapan, sampai lulus SMP. Nah! Pas masuk SMA, ada yang nawarin buat ikut balapan sirkuit. Sampe sekarang, deh ikut balapan sirkuit.” “Lha, terus kenapa kemaren ada di tempat balapan liar?!” “Nggak apa-apa. Itu cuma buat refreshing. Lagian, latihan seminggu cuma tiga kali. Itupun waktunya siang. Jadi, kalo malem aku bisa bebas mau ngelakuin apa aja!” “Oh! Lagi gak sibuk ya sekarang-sekarang?” “Iya! Soalnya baru beres bulan kemarin olimpiade. Biasanya yang sibuk itu pas olimpiade!” Ayah mengangguk, menghisap rokoknya. “Kalo kamu gimana?!” “Apanya?!” “Dari dulu balapan liar?!” Ayah tertawa terbahak-bahak. Maria keheranan. “Kenapa? Salah, ya pertanyaannya?” “Aku bukan pembalap! Jangankan balap, nonton balapan ajah gak suka!” “Terus, tadi kenapa ada di jalanan?!” “Nyari kamu!” “Kemarin?!” “Nahh! Itu dia!!!” Ayah kembali menghisap rokoknya. “Gak tau kenapa, kemaren bawaannya jadi pensaran sama balapan liar. Terus pengen nonton! Sumpah! Seumur hidup aku baru nonton balapan liar!” “Oh… Gitu, yah?!” tanya Maria agak sedikit murung. “Kenapa?!” “Hemmm! Berarti, sama pembalap juga gak suka, yah?!” “Kalo itu, sih tergantung!” “Tergantung apanya?!” “Ya, tergantung!” ayah menunda jawabannya. Ia menyeruput kappucinonya terlebih dahulu. “Serrppppp!!!” Di samping itu, Maria dengan antusias menunggu jawaban ayah. “Kalo itu tergantung…” “Iya tergantung apa?!” “Ya… Kalo pembalapnya kayak kamu, aku suka!” lanjutnya sambil tersenyum. Maria kembali tersipu malu. “Hahaha! Lucu banget!” sahut ayah sambil terbahak-bahak. “Pasti, ketauan kalo lagi malu! Pipinya cepet merah!” lanjutnya sambil tertawa. Maria tambah tersipu. Maria memang aneh. Dia itu ganas dan pemberani di jalanan. Tapi di sisi lain, ia juga sangat sensitif. Hatinya cepat baper! Setelah cukup lama ayah tertawa, dan Maria yang tersipu malu. Obrolan pun berlanjut. “Oh, ya. Tato kamu bagus…” ucap Maria sambil memandang pelipis ayah. “Ini, yah…” sahutnya sambil memegang tato tersebut. “Itu... Ada maknanya?!” “Ada! Maknanya sangat dalam!” “Boleh diceritain?!” “Nggak bisa sekarang!” Tiba-tiba seseorang berteriak mengagetkan mereka dari belakang Maria. “Gua dapet, Ya! Gua dapet!” ucap Lela sambil memeluk Maria. “Dapet apanya?!” sahut Maria. “Nomor HP, sama akun medosos si Juna! Seneng banget gua, La!” “Dikasih, tuh?!” “Iya! Padahal gua gak minta!” “Serius?! Emang gimana ceritanya?!” “Jadi kan gua ikutin terus tuh dia ke mana-mana. Sambil nanya-nanya tentang hal-hal pribadinya dia. Eh, udah lama kelamaan, tiba-tiba dia ngasih kertas yang ada tulisan nomor HP sama akun medsos. Terus dibalik kertasnya juga ada tulisan lain. Tulisannya; pergi!” Ayah dan Maria terbahak-bahak setelah mendengar cerita tersebut. “Itu artinya, dia risih dengan sikap, Lu! Jadi dia ngasih nomor HP sambil nyuruh, Lu pergi!” Maria melanjurkan tawanya. “Semua pelayan dan barista di sini memang diharuskan bersikap ramah. Jadi wajar saja kalo tadi si Juna ramah sama, Lu!” Ayah dan Maria melanjutkan tertawanya. “Gak apa-apalah. Siapa peduli?! Yang penting gua dapet nomor HP-nya!” sahut Lela sambil mencium kertas yang bertuliskan nomor HP, medsos, dan usiran dari Juna. Tak terasa mereka menghabiskan waktu di sebuah kafe yang sangat nyaman. Kafe sudah hampir tutup. Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Semua pengunjung pun segera bergegas pulang. “Pulang ke mana?” tanya ayah kepada Maria. “Di Cibinong au tinggal di kontrakan. Gak terlalu jauh dari sini, cuma setengah jam-lah…” sahut Maria sambil mempersiapkan motornya. “Kalo aku tinggal di Perum Indah Mewangi. Jalan Anggrek Nomor 32.” “Oke! Bye!” Maria dan ayah pun pergi ke arah yang berlawanan. Sepanjang jalan, mereka masih mengingat kebersamaan mereka di kafe. Karena hal itu merupakan sebuah kenangan yang telah mereka ukir. Lebih parah lagi, ayah memikirkannya hingga beberapa hari selanjutnya. Akan tetapi anehnya, raut muka ayah selalu khawatir dan gelisah. Seperti sedang berada dalam sebuah pilihan yang sangat serius. Setiap malam, ayah mernerima telpon dari seseorang. Tapi tak pernah ia angkat. Yang ia lakukan hanyalah diam, melamun dan menghabiskan berbatang-batang rokok. Terkadang, ia memandang foto Maria yang terdapat dalam gawainya. “Cantik…” ucapnya pelan kepada foto Maria. Ketika mentari terbit. Ia tidur terlelap hingga sore hari. Setelah bangun, ia kembali lagi kepada lamunannya yang mendalam. Malam-malam ayah terus berlanjut seperti itu selama tiga minggu. Hingga akhirnya, seseorang datang dan merubah malam ayah. Malam itu, ayah kedatangan seseeorang berbadan besar dan menyeramkan. Dan orang itu adalah Paman Greg. Ia datang dengan membawa dua botol minuman. “Bos! Whiskey, Bos!” tawar Paman Greg. “Masuk!” sahut ayah. Di dalam rumah, mereka pun mabuk bersama. Meminum whiskey yang dibawa Paman Greg. “Tambah lagi, Bos!” ucap Paman Greg sambil menyodorkan satu gelas takar berisi whiskey kepada ayah. Ayah pun meminymnya. Ia bersandar di atas kursi sofa. Sedangkan Paman Greg, ia mondar-mandir sempoyongan di sepanjang ruang tamu. “Yang lain udah pada nyariin, Bos! Kemana aja? Ditelpon gak diangkat. Udah berapa misi gak ikutan, Bos?!” Ayah diam tak menjawab pertanyaannya. Ia malah meminum kembali segelas whiskey. “Gak apa-apa, Bos! Keluarkan saja semuanya! Kita bebas! Dunia ini memang kejam! Keluarkan saja, Bos! Keluarkan!” ucapnya dengan mata terpejam. Saat Paman Greg berjalan mendekati ayah. Ia ditampar keras oleh ayah, lalu diseret untuk duduk di sampingnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD