SECARIK JANJI

1065 Words
“Arghhh!” Heru kembali merintih kesakitan. Sementara aku sudah selesai dengan lembar janji yang kubuat dengan darahku sendiri. Dua puluh jemari lengan dan kakiku semuanya terluka, dilukai oleh jarum yang kugunakan sendiri. Bahkan, lebih dari itu. Karena tak cukup dengan jemari lengan dan kaki, aku juga melaukai betis dan pahaku. Tadinya, aku ingin melukai pembuluh darah, biar cepet banyak darahnya. Tapi setelah dipikir ulang, aku belum ingin mati. Tertulis di sana, di atas secarik kertas bertuliskan; “Farid & Heru. Sahabat selamanya.” Setelah itu, di bawah tulisan tersebut terdapat dua buah kolom untuk tanda tanganku dan Heru. Semua tangan dan kakiku terasa sangat perih. Karena luka yang kubuat sebenarnya tak dalam. Hanya dangkal tapi banyak jumlahnya. Sempat terbayang dalam benakku, jika luka-luka tersebut terkena air. Itu pasti akan terasa sangat perih dan menyakitkan. Dan kulihat, lembar janji milik Heru belum mencapai lima puluh persen menuju selesai. Ya, mungkin tiga puluh persen lah. Ia baru sampai kepada tulisan “Farid”, sedangkan sisanya belum. Ia teru-terusan merintih kesakitan. Matanya yang sudah ia pejamkan tetap megundang khawatir, ragu dan rintihan. Bahkan, bisa dibilang sama parahnya antara menutup mata dan tidak. Karena setelah menutup mata, imajinasi Heru akan terbang ke mana-mana. Bahkan ke arah yang tak diinginkan olehnya sendiri. “Cepet, Ru!” kataku. Heru masih saja merintih. Sesekali ia lirih mengatakan “Aku tak kuat”. Sedangkan matanya, sudah berbinar, berkaca-kaca seperti hendak meneteskan air mata. Aku tak tega sebenarnya melihat ia tersiksa seperti itu. Tapi apa boleh buat, aku sudah mengerjakannya. Dan lagi, hal tersebut merupakan usulan dari dirinya. Karena keburu sakit, aku tuntaskan dulu seluruh gambar yang harus aku tulis. Setelah itu, aku izin tidur pada Heru. Soalnya, ia lama sekali dalam mengerjakannya. Ia mengizinkanku dengan diamnya. Aku pun tertidur di atas sofa, sambil beberapa kali terasa sakit karena luka-luka yang kubuat sendiri. Setelah beberapa lama aku mencoba untuk tidur, ternyata tak bisa. Kerap kali, rasa sakit itu menjerit membangunkanku. Aku tak bisa tidur dengan kondisi seperti ini. Sedangkan kulihat Heru masih sangat tekun menulis janjinya. Ya, aku tahu. Meski pun itu sangat berat baginya, karena hal tersebut adalah hal yang sangat ia takuti, tapi ia akan menyelesaikannya. Karena aku tahu betul seperti apa Heru sebenarnya. Ia adalah anak yang tak pernah melalaikan janji yang pernah ia buat kepada siapa pun. Sekarang, tulisannya sudah mencapai lima puluh persen. Hmm, lama sekali kalo dipikir. Aku tak sabar menunggunya. Akhirnya, aku pun menawarkan bantuan. “Ru, gua bantu, ya?” tanyaku kepada Heru. Heru tak menjawab sepatah kata pun. Ia tetap fokus melanjutkan pekerjaannya. Aku pun menawarinya terus berulang kali. Tapi Heru masih tak menjawab. Hingga pada tawaran kelima, Heru baru mengucapkan sesuatu dari mulutnya. “Ini janjiku! Bukan janjimu!” sahutnya tegas. Kini terbalik. Giliran aku yang terdiam. Setelah mengatakan hal tersebut, Heru semakin serius mengerjakannya. Tak terdengar lagi suara rintihan. Tangannya begitu cakap menyakiti diri sendiri kemudian menuliskan darahnya di atas secarik kertas yang diperuntukkan untuk sebuah janji. Dengan begitu, janji yang ia tulis pun semakin cepat selesai. Kecepatannya hampir dua kali lipat dari kecepatan sebelumnya. Aku pun tersenyum, bangga mempunya teman seperti Heru yang begitu tekun dan tak pernah menrik janjinya. Aku tak perlu khawatir dengannya. Karena ku yakin ia pasti biasa melakukannya. Dan sekarang, aku menunggu Heru menyelesaikan janjinya sambil memberi makan Flash dan ikan-ikan hiasku di luar. Aku lupa, belum memberinya makan pagi ini. “Arghh!” Lukk-luka di tanganku menjerit begitu kencang saat aku memegang pelet ikan. “Haduh! Jangankan kena air, kena pelet juga sakit!” ucapku pelan. Setelah aku memberi makan Flash dan ikan-ikan tersebut, seperti biasa aku memperhatikan mereka yang begitu laap menyantap makanan. Terutama Flash, aku sangat suka ketika ia bisa membuka mulutnya. Ia nampak sangat pemalu. Untuk makan saja terkadang ia harus pelan-pelan dan memutarkan bola matanya ke segala arah. Mungkin ia takut jika ada seseorang yang melihatnya sedang makan. “Flash! Flash! Emang ada apa sih di dalam mulutmu?! Pake malu segala!” gumamku sambil tersenyum. Tak lama kemudian, tiba-tiba Heru menghampiriku. “Selesai!” tukasnya pendek. Aku tersenyum, lalu segera menghampiri Heru dan melihat hasil dari apa yang telah ia tulis. “Ehh! Tunggu!!!” Aku berlari ke luar rumah. Aku lupa, Flash tidak boleh sendirian di luar rumah. Dia bisa hilang dimakan kucing atau terbang dibawa burung atau menghilang dengan caranya sendiri dengan cara yang tak kuketahui. “Huh! Ternyata kau masih ada!” ucapku lega. Aku pun langsug membawanya ke dalam kamar dan menyimpannya di aquarium yang terletak di atas meja di samping ranjangku. Setelah itu, aku kembali menghampiri Heru. Heru menunjukkan hasil dari janjinya kepadaku. Ya, dan hasilnya sama seperti janjiku. Semuanya sudah selesai termasuk dengan tanda tangannya. Kulihat tangan dan kakinya masih mengeluarkan darah. Bukan hanya dari jemari, tapi dari tangan bagian tengah pun juga ia sakiti. “Gua tau itu sakit, Ru!” sucapku sambil menatap lengannya yang engeluarkan darah. Heru diam, ia menyembunyikan tangannya di belakang baadan. Aku pergi menuju kotak P3K yang berada di dapur. Aku membawa obat merah, plester dan kassa. Setelah itu aku suruh Heru untuk membersihkan lukanya terlebih dahulu. Lalu aku mulai mengobati lukanya. Heru tak merintih kesakitan. Anhe sekali, biasanya jika ia berdarah sedikit saja akan merintih. Tapi sekarang tidak. Aku tahu persis bagaimana rasanya dicuci luka. Itu adalah hal yang paling menakutkan. Tapi Heru, melaluinya dengan sangat tenang. Tanpa rintihan sedikit pun. “Kuat sekarang, yah?!” Heru mengangguk. “Selamat! Kau bukan anak manja!” candaku sambil terkekeh-kekeh. “Emang siapa yang manja?!” elaknya tak terima. Setelah aku mengobati luka Heru. Kami berdua mulai melipat secarik kertas tersebut hingga lupatan paling kecil. setelah itu membalutnya dengan lakban bening. “Selesai, Rid! Kita tinggal cari kalungnya!” ucap Heru. “Ya, betul!” “Nanti aku cari di kota. Aku beli dua!” “Ya! Terserah kaulah!” Heru mengangguk. “Simpan benda ini dengan hati-hati. Jangan sampai hilang, sampai kapan pun! Ini adalah bukti yang sangat berharga bagi pesahabatan kita.” “Oke! Aman!” Aku segera menimpannya di kotak kecil yang berada di kamarku. Sedangkan Heru, untuk sementara ia menyimpannya di dalam saku celananya. Setelah itu, kami duduk di atas sofa sambil menonton TV. Kami menonton kartun favorit kami yang berjudul Ninja Hatori! Luar biasa bukan? Siapa yang tak kenal dengan ninja berwarna biru itu? Aku yakin semua anak di dunia ini mengenalinya. Aksi-aksi yang ia lakukan dalam menyelamatkan setiap orang begitu heroik dan mengagumkan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD