CARI DI TEMPATNYA

1244 Words
Beruntung, polisi tak mengejar ayah. Sepertinya orang yang tertinggal di arena balapan pun masih banyak. Ditemui polisi seperti itu, ayah nampak biasa saja. Seperti tak menghiraukan apa pun. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Ayah pun bergegas untuk pulang ke rumah. “Gua harus pulang, besok harus bangun pagi!” Keesokan harinya, saat jarum pendek arloji menunjuk ke angka dua, ayah sudah rapi dengan pakaiannya. Ya, maksud dari rapi tersebut bukan seperti rapinya orang kantoran yang memakai kemeja panjang, celana kain panjang, dasi, jas, kaus kaki hitam selutut dan sepatu pantopel yang hitam mengkilap. Tapi, rapinya ayah memakai kaos hitam, celana levi’s, jam tangan, jaket, rompi levi’s dan sepatu khusus touring. Ia berencana untuk mencari Mariaa di daerah puncak. Sebenarnya rencananya, sih mau berangkat pagi. Tapi apa boleh buat, bangunnya juga kan jam dua belas siang. Ayah mengendarai motor kesayangannya. Motor matic bermerk NMAX itu selalu ia gunakan untuk berkendara jarak jauh. Body nya bersih mengkilap, suara mesin halus, tentu keceptannya pun bukan main. Motor itu adalah satu-satunya benda yang ada di rumah yang ia rawat. Selain itu, ia membiarkannya. Meski pun seperti itu, rumah ayah tetap bersih dan rapi. Soalnya satu minggu sekali ia, menyewa pembantu untuk membersihkan seisi rumah secara menyeluruh. Namanya Bi Inah, ia sudah menjadi langganan ayah. Biasanya, pembersihan itu dilakukan dari pukul lima pagi hingga pukul lima sore. Ya, dua belas jam. Kebayang betapa capeknya Bi Inah melakukan itu semua. Tapi jangan salah, gaji yang diberikan ayah pun setimpal dengan apa yang dikerjakan. Bahkan bisa dibilang lebih. Yaitu delapan ratus ribu rupiah sehari. Kupikir, takkan ada pembantu seberuntung Bi Inah. Tepat jam dua siang. Matahari sedang sangat fit. Ia menyemburkan sinarnya yang sangat panas. Tak ada awan-awan berarakan mendekatinya. Menjadikan leluasa menyemburkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia. Namun, meski demikian ayah tetap memutuskan untuk berangkat. Mengingat jarak dari Cibinong ke daerah puncak yang cukup jauh. Ayah mengenakkan helm berwarna hitam dangan beberapa strip putih salur-salur. Setelah itu, ia menambah perlengkapan perjalanannya dengan kaca mata hitam untuk meminimalisir teriknya mentari. Motor mulai dinyalakan. Selagi menunggu mesin motor panas, ayah menyulut terlebih dahulu sebatang rokok dari saku rompinya. Ia menyalakannya dengan pemantik yang bermodel kuno. Katanya, pemantik itu tak mudah didapatkan. Hanya ada satu toko di Indonesia yang menjual barang seperti itu, dan toko tersebut juga sangat menutup diri. Karena penjual tidak mau menjual barangnya kepada sembarang orang. Ia hanya menjual kepada orang-orang yang sudah dekat dengannya. Selain itu, ayah juga menamai pemantik itu dengan nama “Farket”, entah apa maksud dari nama tersebut. Dan hingga sekarang, pemantik itu masih selalu ada berdampingan dengan sebungkus rokok. “Huuuhhhh…” asap mengepul melewati area wajah ayah. Cara ayah menghisap pun sangat khas. Ia selalu mengawalinya dengan mata terpejam penuh penghayatan. Kemudian saat asap dikeluarkan dari mulut dan hidungnya, ia akan membuka matanya secara perlawan, melepaskan semua beban yang ia pikul. Sepuluh menit berlalu. Mesin motor sudah panas, gas sudah siap ditancap. Ayah pun menaiki motor, mengenakkan sarung tangan, memegang stang dengan erat, melipat standar kemudia melaju meninggalkan rumah. Ayah mengendarai motornya dengan kecepatan 80 km/jam. Ia sangat lihai dalam berkendara. Meski pun ia bukan pembalap seperti Maria. Tak ada halangan baginya untuk ngebut. Kecuali satu, yaitu macet. Dan kebetulan, dari Cibinong menuju Puncak, ayah melewati jalan-jalan yang selalu padat. Dari yang tadinya berencana untuk berkecepatan 80/km jam menjadi 30 sampai 40 km/jam. Banyak mobil-mobil truk dan mobil besar pengangkut barang lainnya. Bau asap knalpot dari mobil-mobil itu sangat menyengat hidung. Meski pun ayah sudah memakai masker, asap itu masih terisap. Belum lagi, dengan suara bising klakson dari pengendara-pengendara yang sudah tak sabar berada dalam kemacetan. Setelah melwati jalan Cisarua, jalanan mulai agak longgar. Tak ada truk besar atau pun mobil pengangkut barang lainnya, yang ada hanyalah mobil bak, engkel yang membawa sayuran, teh dan buah-buahan yang diambil dari Puncak untuk didistribusikan ke pasar atau ke luar kota. Tapi biasanya, kalau sudah sore, mobil pengangkut sayuran dan buah-buahan itu bergerak ke arah puncak untuk kmbali pulang. Beberapa jam menit kemudian, sampailah ayah di Puncak Bogor. Kini ia kebingungan untuk mencari Maria yang tak jelas alamatnya di mana. Ia hanya tahu bahwa Maria tinggal di Puncak Bogor. Akhirnya ayah jadi teringat kembali dengan apa yang dikatakan Maria terakhir kali. “Kamu pasti tahu di mana bisa menemukanku.” Bagaimana dia bisa begitu yakin bahwa ayah bisa menemukannya, sedangkan ia tak memberi tahu ayah alamat rumahnya dengan jelas. “Tetttt!” suara klakson motor yang hendak menyalip ayah. Nampaknya, ayah melamun. Pikirannya tentang Maria benar-benar mengganggunya. Akhirnya, dari pada melamun saat mengemudi, ia pun berhenti di salah satu warung yang ada di tepi jalan. “Kopi hitam satu, Pak!” ucap ayah kepada pemilik warung. “Siap, A!” sahutnya. Tak lama kemudian, pemilik warung mengantarkan pesanan ayah. “Makasih, Pak!” “Mau ke mana, A?!” “Lagi nyari orang, Pak.” “Ohh, di mana alamatnya?” “Nggak tau.” Pemilik warung kebingungan. Ia menggaruk garuk kepalanya. “Terus gimana cara nyari orangnya, A?!” “Nggak tau.” Pemilik warung tambah kebingungan. Suasana hening sesaat. “Bapak tau yang namanya Maria?!” tanya ayah sambil menoleh ke pemilik warung. “Maria?!” “Iya, Pak!” “Tahu, lah… Si Neng Maria mah tetangga bapak atuh, A.” Mendengar jawaban seperti itu, ayah langsung terbangun dari duduknya. “Yang bener, Pak?! Di mana Maria sekarang? Bisa anter saya ke rumahnya, Pak?!” tanya ayah bertubi-tubi. “Kela, kela, A!” sahut si Bapak. “Ini téh Maria yang mana dulu? Kalo yang bapak maksud mah Maria anaknya Pak Wahyu, masih kecil, seumuran SD!” “Yahhh!!! Gimana, sih, Pak! Bukan itu, Pak! Itu anak kecil namanya…!” ketus ayah. Ia pun duduk kembali. Si pemilik warung tersenyum lebar. “Kan bapak bilang juga apa… Untung belum bapak anatar ke rumahnya. Emang Maria yang dicari téh saha, A?!” Ayah tak menjawab. Ia malah menyulut rokok, menyalakan lalu menghisapnya dengan hisapannya yang khas. Setelah itu ia menyeruput kopi hitamnya. “Serrpppp!” “Pasti kabogohnya…!” Si bapak tukang warung kembali berbicara. “Si Neng Maria téh orangna pasti geulis! Yakin bapak, mah, lah! Soalnya si aa nagé ganteng pisan!” Masih tak ada respon dari ayah. Ayah melamun, memikirkan Maria, Maria dan Maria sedalam-dalamnya. Tak lama kemudian, seorang anak perempuan memasuki warung. Warna kulitnya putih seperti kain. Serangkan wajahnya halus seperti sutra. Rambutnya diikat tunggal di belakanh. Tingginya kurang lebih 110 cm. “Pak! Kata si mamah nyimpen panci yang kemaren dipake sama bapak di mana?” tanyanya sambil menghampiri tukang warung. Nampaknya tukang warung itu adalah bapaknya. “Di dapur,” sahut si bapak singkat. “Nggak ada, Pak! Si mamah juga udah cari-cari tadi di dapur. Tapi tetep nggak ada!” “Iya nanti dicariin!” “Tapi, Pak! Si mamah téh mau masaknya sekarang. Tadi disurug cepet-cepet. Kalo Nita pulang masih gak tahu di mana panci, nanti pasti disuruh balik lagi!...” Wanita itu sama cerewetnya seperti si bapak. Buktinya, sekarang mereka malah berdebat. Mendengar suasana yang seeprti itu, ayah pun agak sedikit risih. Ia pun bergegas untukbmeninggalkan warung. Sebelum itu, ia menghampiri si bapak untuk membayar kopi hitamnya. “Berapa, Pak?!” Si bapak belum merespon ucapan ayah, ia masih sibuk ngomel kepada anaknya. “Dengerin! Nyari sesuatu itu harus ditempatnya! Pasti ketemu! Nyari motor, ya di garasi! Nyari panci, ya di dapur! Cari dulu yang bener!!!” pungkas si bapak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD