DURJANA
Dengarlah bisikkan lirih angin perbukitan
Tentang cerita burung-burung yang terbang di perbatasan hutan
Rumput liar adalah saksi
Ketika caci maki dari batang merunai yang rimbun rapat, tak sempat terucap
Gairah basah, kadung mencipta
nyawa baru
Jiwa yang dikultuskan ada
Namun dibiarkan tersesat tanpa sempat merindu
Aduhai, kuncup melati redup
Kau, tak perlu lagi menjilati aibmu!
Sebab cacing tanah telah menggemburkan duka.
Langit tercurah meneteskan darah.
Angin tergerai menabur musibah.
Dan Ombak terangkum melebur binasa.
Bumi, tak seharusnya melahirkan bidadari kecil dengan setengah darah iblis mengalir di tubuhnya…
*******
AWAL
Agustus 1980
Wanita berkerudung dan anak lelakinya itu tampak melangkah lesu menuju ruangan bayi. Dari jendela kaca, seorang perawat nampak tergesa meletakkan bayi putih pucat dengan pipi bulat kemerahan di atas tempat tidur, tepat di hadapan mereka.
"Bagaimana mungkin dia telah menyebabkan begitu banyak masalah besar bahkan sebelum dia lahir?" tanya anak lelaki yang masih remaja itu.
Tetapi Ibunya, tampak diam saja. Kepalanya mendadak pusing saat memandang bayi berselimut kain merah itu.
Itu, cucunya. Tetapi bukan cucu yang diinginkannya. Dia telah punya seorang cucu sebelumnya dari putra sulungnya. Cucu kesayangan, karena hadir dari sebuah pernikahan. Berbeda dengan bayi yang kini tergolek lelap di hadapannya. Bayi itu anak hasil perzinahan putri keduanya dengan pemuda berandalan. Bayi yang menyebabkan musibah beruntun, bahkan sejak dia masih terkandung.
Anak pertamanya jadi pembunuh bapak biologis bayi itu. Lalu berlanjut mati di penjara, yang membuat suaminya juga mendadak mati terkena serangan jantung. Membuat Pondok Pesantren besar mereka kini seakan lumpuh.