Part 12 POV Marina

1040 Words
Part 12 POV MARINA "Hei mertuaku itu orangnya cerewet sekali. Aku salah milih suami. Nyesel banget. Aku juga yang selalu disuruh membersihkan luka gangrennya!" "Mana baunya nyengat banget lagi, sampai-sampai aku muntah karena tidak tahan dengan baunya. Kadang juga nih ya, aku tidak nafsu makan, karena selalu tergiang-giang luka gnagrennya itu!" "Hahaha, iya aku memang beg*. Dulu aku menikah dengan mas Rifal karena dia anak orang terkaya di kampung ini. Sawahnya tiga hektar dan punya kolam pemancingan. Lumayan kalau entar mertuaku mati, mas Rifal pasti dapat warisan." "Iyalah. Aku berharap mertuaku cepet mati saja. Enak kan dapat warisan. Daripada aku merawat lukanya terus. Mana bau banget!" "Caranya? Gampang! Dia kan seharusnya kuberi masakan dengan gula diet, tetap saja kuberikan dia gula biasa." Aku menelepon sahabatku, Farah. Aku sebenarnya sudah lelah merawat Sulastri, mertuaku. Beliau menderita gangren, karena kecelakaan setelah aku dan Mas Rifal menikah. Karena suamiku adalah anak paling kecil, jadi harus tinggal di rumah ibu mertuaku, dan akulah yang merawatnya. Aku menilah dengan suamiku, Rifal, karena dia adalah anak orang terkaya dikampung, memiliki puluhan hektar sawah. Aku berpikir untuk membuat mertuaku itu cepat mati saja, biar tidak merepotkan ku. Tapi aku harus menggunakan cara yang bagus agar tidak ketahuan oleh Mas Rifal. Diam-diam aku memasukkan gula manis kedalam setiap teh yang aku buat untuk Ibu mertuaku, yang seharusnya gula diet aku sengaja masukkan gula manis. Suatu hari, aku sengaja membuat status w******p dimana hanya aku bagikan kepada Ibu Mertuaku, aku membuat status dengan kata-kata sangat tajam menusuk hati. Ketika aku sedang telepon dengan sahabatku di kamar, aku mendengar ada benda jatuh tepat didepan pintu kamar. Lalu aku perlahan membuka pintu, dan ternyata Ibu mertuaku sudah ada didepan pintu, dan yang jatuh adalah ponsel miliknya. Aku bisa melihat dari mimik wajah Ibu mertuaku sangat ketakutan. "Ibu! Kenapa di depan kamar saya?!" ucapku kasar sambil membelalakkan mata padanya. "Ibu ...," jawab Ibu mertua dengan tenang. Sebelum beliau menjawab, aku sudah menarik tangannya dengan kasar. "Nguping ya? Iya?! Ibu kok gini sih sama mantu? Oh, Rinda tahu, mentang-mentang Marina numpang disini, jadi menurut Ibu, Marina tidak perlu mempunyai privasi?" Aku semakin berani sambil terus menatap tajam pada Ibu mertua. "Ibu cuma mau nanya status kamu di w******p tentang Ibu. Tidak enak kalau dibaca oleh saudara. Nanti takutnya malah jadi salah paham." jawabnya langsung mengatakan apa adanya padaku "Status w******p saya? Coba yang mana? Bisa tunjukkan kalau memang Ibu tidak sedang memfitnah saya?!" sungutku. Untung saja tadi sebelum aku membuka pintu, sudah kuhapus status whatsappku, kalau tidak bisa gagal semua rencanaku. Aku yakin Ibu mertuaku itu tidak bisa mengelak lagi, karena sudah tidak ada bukti. Hahahaha. Ketika aku dan Ibu sedang debat, tiba-tiba Mas Rifal, suamiku datang dan wajahnya merah seperti mengerti apa yang sedang terjadi. "Ada apa ini?" Mas Rifal bertanya sambil menghampiri aku dan Ibu. "Ini loh, Mas, ibu mau dibuatkan teh." Aku langsung merangkul pundak Ibu mertua dan sedikit menekannya. "Benar begitu, Bu?" Mas Rifal bertanya kepada Ibu. Aku berharap semoga Ibu tidak menjawab dan memberitahu yang sebenarnya pada Mas Rifal, aku menekan lebih keras pundak Ibu. "Benar kok, Fal," jawab Ibu dengan tersenyum. "Syukurlah, dia tidak membongkar semuanya," gumamku dalam hati merasa tenang. "Oh, gitu. Okay, Bu," jawab Mas Rifal. "Yasudah ayo kita kedepan saja, sekalian aku buatkan teh biat Ibu dan Mas Rifal," jawabku. "Mari, Bu!" Mas Rifal menggandeng tangan Ibu. Aku menuju dapur, dan kulihat ibu dan Mas Rifak sudah berada diruang depan. Aku membuat teh untuk Ibu seperti biasa menggunakan gula manis dan es teh untuk suamiku. Setelah selesai, aku menuju ruang depan. Aku duduk disebelah Ibu. "Mas, sebenarnya ada yang mau aku obrolin sama, Mas?" Aku membuka pembicaraan diantara kami bertiga. "Soal apa, Dek, ngomong saja?" jawab Mas rifal dengan santainya. Aku menatap Ibu lama, lalu menjawab, "soalnya aku ingin hidup mandiri, Mas. Kata teman-teman, selepas menikah itu, lebih enak kalau tinggal misah dari keluarga inti, kalau belum bisa bangun rumah sendiri, ya ngontrak gitu, Mas." "Hahaha...jadi karena itu toh, kamu ingin pindah dari sini, Dek? Kupikir, tadi kamu ingin pindah dari sini, karena sudah malas merawat Ibu," ucap Mas Rifal sembari kembali meminum es tehnya. Tanpa ada rasa curiga sedikit pun. Dia terlihat begitu tenang. Aku yakin kalau Mas Rifal tidak akan menuruti kemauanku ini, karena bagaimanapun dia adalah anak terakhir yang punya kewajiban untuk merawat Ibunya. *************************************** Keesokan harinya, aku mendengar pembicaraan Ibu dan Mas Rifal. Aku mendengar kalau Ibu minta dicarikan perawat oleh Mas Rifal, ternyata mertuaku itu pintar juga ya. Aku berusaha untuk meyakinkan Mas Rifal agar tidak menuruti kemauan Ibu, tapi itu sia-sia karena Mas Rifal menyetujuinya. Dia langsung membawa Putri, seorang perempuan yang masih baru lulus sekolah. Dan nanti dialah yang akan bekerja di rumah ini sebagai perawat Ibu. Tapi aku tidak hilang akal, aku harus tetap menjalankan semua rencanaku. Aku melihat Putri masuk kedapur untuk membuatkan teh Ibu. Dan aku yakin, Ibu mertuaku itu sudah memberi tahu kalau teh khusunya menggunakan gula diet yang ada didapur. Aku langsung pergi kedapur menghampiri Putri, aku memberitahu kalau gula yang biasa digunakan teh untuk Ibu ada disebelah kiri, padahal sebenarnya gula diet ada disebelah kanan. Aku sengaja pergi keluar untuk memastikan apakah dia benar-benar menuruti kemauanku atau tidak. Aku bersembunyi dibalik tirai dan menyibaknya sedikit untuk mengawasinya. Dan ternyata Putri menukar gula itu kembali, dan rencanaku gagal untuk hari ini. Oke, aku pastikan mulai besok rencanaku pasti berhasil. Ternyata Putri tidak sepolos yang aku kira, aku tidak boleh dengan Putri. Aku harus mencari rencana lain. Aku menghubungi sababatku, Farah untuk mengajaknya bertemu. Karena hanya dialah orang yang paling mengerti aku selama ini. Aku bergegas keluar untuk menemui Farah di tempat kita janjian. Aku langsung menghampiri Farah dan menceritakan semua rencanaku ini. "Jadi gini, Mar. Kamu masukkan saja gula manis itu kedalam setiap masakan kalian, pasti tidak ketahuan," jawab Farah. Farah memberiku saran yang terbaik, dan itu membuatku tercengang, aku menghadiahi nya dengan membayar semua makanan yang dipesannya dan bisa makan sepuasnya. Ketika asyik mengobrol dengan Farah aku melihat sosok perempuan duduk diseberangku, dengan wajah ditutup masker dan kacamata hitam. Aku sepertinya kenal dengannya, itu seperti Ibu merrtuaku tapi tidak mungkin rasanya kalau itu Ibu. Karena dia tidak boleh pergi terlalu jauh karena penyakitnya itu. Lalu siapakah dia? Aku lalu pamit pulang terlebih dahulu pada Farah untuk memastikan bahwa Ibu sedang dirumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD