6. Rencana Pernikahan Berubah

1434 Words
Suara burung-burung yang riuh-rendah berkicau di pepohonan dan tanaman bunga-bunga di samping kamar, membangunkan Fathia yang sejak semalam tertidur di sudut kamar dengan duduk berjongkok bersandar di dinding memeluk kedua lutut. Setelah membuka mata dan merasakan kehangatan cahaya pagi hari dari sela jendela, perlahan dia menegakkan kepala. Lehernya terasa pegal. Begitu juga dengan tubuhnya. Fathia yakin, pasti ini karena efek tidur dengan posisi duduk berjongkok sejak semalam. Karena capek menangis, marah bicara dengan dokter Dewa, tidak terasa dia tidur nyenyak di sudut kamarnya itu. Dia memang telah memarahi dokter yang katanya tampan itu, mengapa harus mengingkari janji dan membocorkan niatnya untuk menjatuhkan diri dari atap gedung rumah sakt Mitra Medica kepada orang tuanya. Fathia kesal sekali dengan dokter matanya itu, gara-gara dia orang tuanya mengurung dirinya di kamar sendiri. Dokter Dewa memintanya untuk bersabar dengan keputusan orang tuanya yang mengurung dirinya di dalam kamar. Dia meminta Fathia memahami kekhawatiran orang tuanya. Mereka hanya tidak mau terjadi apa-apa dengan putri semata wayangnya. Dokter Dewa berkata pada Fathia, kalau dia yakin sebentar lagi Fathia pasti akan dibebaskan seperti dulu asal Fathia janji tidak akan melakukan tindakan tidak baik dan tidak benar itu lagi. Dokter Dewa bertutur pada Fathia bila mengakhiri hidup tidak akan menyelesaikan masalah. Selain di akhirat dia masih harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Fathia mau menyadari kesalahannya. Dia berjanji pada dokter Dewa dan dirinya sendiri untuk tidak melakukan perbuatan bodoh dan salah itu lagi. Dia akan menjalani ujian ini. Dia akan menghadapi dan menyelesaikan masalahnya satu persatu. Termasuk hubungannya dengan Abrar. Sebulan ini, dia akan terus mencari cara agar bisa membatalkan pernikahan dengan Fathia. “Tunggu pembalasanku, Mas Abrar. Kamu tidak bisa selamanya terus menjeratku. Aku tidak akan menyerah, Mas. Kamu dan Sonya tidak akan bisa terus menari-nari di atas lukaku. Aku akan bongkar kejahatan kalian. Dunia harus tahu kalian manusia berhati busuk dan munafik. Kalian pembohong besar yang pandai menyembunyikan pengkhianatan dengan memanfaatkan musibah yang aku alami sekarang,” ucap Fathia geram. Fathia tidak tahu dengan tepat sekarang pukul berapa. Tapi biasanya suara-suara burung dan cahaya matahari itu muncul di kamarnya sekitar pukul delapan pagi. Sejak kehilangan penglihatannya, dia mulai belajar mengetahui waktu dengan berbagai cara. Mulai dari suara burung, suara azan atau juga tanda-tanda dari alam seperti cahaya matahari yang masuk dari jendela kaca kamarnya yang lebar dan besar. Sebenarnya dia bisa mengetahuinya dengan mudah melalui aplikasi di handphone. Tapi, bisa saja sewaktu-waktu HP-nya mati atau hilang. Jadi Fathia merasa perlu belajar mengasah kepekaan indranya. Fathia ingin berdiri. Namun dia masih mencari-cari tongkatnya di lantai di sekitar tempat dia duduk dengan meraba-raba. Setelah mendapat benda itu, lalu dia bangkit dengan meringis-ringis. Sungguh, tubuhnya terasa sangat nyeri dan pegal. Hari ini dia sudah janji dengan dokter Dewa akan mencoba mengaktifkan lagi nomor ponselnya yang rusak. Dia ingin meminta chip yang baru. Dokter Dewa dan Fathia bermaksud mengunduh video yang sempat terkirim ke nomor Fathia dan sudah tersimpan secara otomatis pada akun Fathia yang dulu. Dokter Dewa akan membantu Fathia untuk melepaskan diri dari jeratan cinta palsu Abrar. Dengan bukti itu dia berharap bisa memberitahu dunia calon suaminya telah berkhianat. “Kita coba saja Fathia. Siapa tahu kita masih bisa mendapatkan video itu? Besok aku akan jemput kamu dan mengajakmu ke gerai kartu nomor ponsel milik kamu itu. Semoga saja orang tuamu memberi kita izin,” ucap dokter Dewa semalam melalui sambungan telepon genggamnya. Setelah Fathia marah-marah padanya, dia justru menanggapinya dengan tenang dan sabar. Bahkan pria itu mengajak Fathia untuk mencari bukti video panas antara Abrar dan Sonya. Dokter Dewa memberi saran pada Fathia supaya menggunakan video itu agar bisa lepas dari jeratan rencana pernikahan dengan Abrar. Fathia dan dokter Dewa sepaham. Mereka punya pandangan dan keyakinan yang sama bila seseorang yang suka selingkuh akan sulit untuk sembuh. Karena itulah, Fathia harus berusaha keras untuk memutuskan hubungan dengan Abrar. “Baik, Dok. Aku akan berusaha meyakinkan orang tuaku agar kita bisa keluar bersama-sama besok,” balas Fathia. Saat dia melangkah menuju ke kamar mandi, ada orang yang sedang membuka pintu dengan kunci kamarnya. Fathia berhenti dan menoleh ke arah datang suara. “Fathia, kamu belum mandi? Abrar datang menjemputmu, Nak. Dia sudah di ruang makan dengan Papa kamu. Saat ini mereka sedang sarapan,” ucap mama Fathia, Sundari Nugraha. “Memangnya kami mau ke mana, Ma? Mas Abrar tidak mengatakan apa pun semalam saat kami bertemu di restoran jepang,” ucap Fathia mengerutkan dahi. Karena seingat dia, Fathia tidak ada janji dengan calon suaminya itu. “Lho, masak kamu lupa? Hari ini, katanya, dia akan mengajak kamu mengambil cincin pernikahan. Katanya cincin yang kalian pesan beberapa waktu lalu sudah jadi,” jawab Sundari sambil melangkah mendekati putri dengan tersenyum sabar. “Bukan lupa, Ma. Tapi mas Abrar memang belum memberitahu aku. Lagian kita sudah sepakat dengan toko perhiasan itu cincin nikah kami baru diambil dua minggu lagi. Kenapa sekarang tiba-tiba dia mau ambil cincin itu?” jelas Fathia dengan raut sedikit kesal. “Bukan diambil, Fathia. Tapi katanya Abrar diminta untuk mencoba dulu. Udah pas apa belum? Udah sesuai yang diinginkan apa belum? Begitu, katanya, Sayang,” ucap bu Sundari lalu mengelus rambut putri yang panjang. “Iya, mungkin begitu, Ma. Baiklah aku akan mandi dulu. Tolong minta mas Abrar untuk menunggu sebentar,” ucap Fathia lalu melangkah ke kamar mandi dengan di bantu tongkat digital canggihnya. Sementara itu, mama Fathia bergegas menuju ke ruang ganti untuk menyiapkan baju yang akan dipakai putrinya. Sebelum keluar kamar dia beri tahu Fathia bila bajunya sudah disiapkan di dekat meja rias. Lalu wanita cantik berusia lima puluh lima tahun itu keluar. Sementara itu Fathia yang sudah berada di dalam kamar mandi segera menghubungi dokter Dewa. Dia ingin batalkan rencana mengaktifkan kembali nomor ponselnya yang dulu untuk hari ini. Tapi tiba-tiba saja ponselnya justru berdering. “Halo,” sapa Fathia. “Fathia, ini aku. Maaf, pagi ini aku belum bisa mengantarmu ke toko kartu ponsel kamu. Ada panggilan darurat dari rumah sakit. Salah satu dokter code blue di rumah sakit kami, tidak bisa datang karena sedang sakit. Aku diminta menggantikan dia untuk bertugas. Semalam ada pasien kecelakaan yang cukup parah. Saat ini dia juga membutuhkan tindakan operasi mata secepatnya,” jelas dokter Dewa terdengar sedikit panik sambil membuka pintu mobilnya. “Kebetulan sekali, Dok. Baru aku akan menelpon Dokter. Aku juga ingin membatalkan rencana itu untuk sementara. Karena tiba-tiba saja, mas Abrar pagi ini datang menjemputku,” ungkap Fathia. “Oh ya? Kamu diajak pergi kemana?” tanya dokter Dewa seraya menghidupkan mesin mobil. Sebelumnya dia sudah memasang ponselnya di atas dashboard dengan alat handphone holder. “Hanya mengambil cincin pernikahan kami, Dok,” jawab Fathia singkat. Dia tidak mengungkapkan ganjalan dihatinya. Fathia tidak mau mengganggu konsentrasi dokter Dewa yang sedang menyetir agar cepat sampai di rumah sakit. Akhirnya Fathia menutup sambungan telepon itu setelah sepakat akan bertemu lagi usai mereka selesai dengan urusan masing-masing. *** Fathia turun dari kamarnya ke lantai satu dengan ditemani Yuni, salah satu ART-nya melalui lift rumahnya. Setelah keluar dari lift, Fathia melangkah menuju meja makan tempat papa, mama dan juga Abrar menikmati sarapan. “Assalamualaikum,” ucap Fathia dari kejauhan. Membuat mereka yang sedang asyik berbincang sambil akan menoleh padanya. “Waalaikumsalam,” jawab Abrar, papa dan mama Fathia hampir bersamaan menoleh ke arah Fathia dengan raut terkejut. “Fathia! Mengapa kamu pakai baju muslimah dan berhijab? Mama sudah siapkan pakaian kamu di kursi meja rias,” ucap Sundari, mamanya Fathia. Yang kemudian berdiri menghampiri putrinya yang telah terlihat cantik dengan hijab dan baju panjangnya. “Iya, Ma. Fathia sudah tahu, kok. Tapi mulai sekarang aku mau belajar memakai pakaian yang lebih tertutup. Aku ingin lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Kemarin telah ditegur dengan sangat keras. Allah telah mengambil penglihatanku. Bukannya sadar tapi aku malah ingin mengakhiri hidup. Sekarang, aku sudah menyadari bahwa yang ingin aku lakukan kemarin itu salah. Aku ingin memperbaiki diri. Aku ingin lebih mendekatkan diri pada Allah,” jelas Fathia dengan masih berdiri di tempat yang sama bersama mamanya yang menatapnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki seolah tidak percaya. “Alhamdulillah,” ucap Danu Nugraha seraya menoleh pada calon mantunya, Abrar, yang juga berucap demikian. Kemudian dia beralih menatap Fathia lagi. “Momennya benar-benar sangat pas, Fathia. Pas Kamu memutuskan untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi manusia yang lebih baik. Pas Abrar ingin mempercepat waktu pernikahan kalian. Papa benar-benar merasa sangat lega mengetahui kabar bahagia ini. Semoga pernikahan kalian nanti samawa, Nak,” ucapnya lagi, dengan mata berbinar bahagia. “Apa? Pernikahan kami akan dipercepat?” tanya Fthia terkejut. “Iya, Fathia. Aku dan Papa telah sepakat akan mempercepat pernikahan kalian seminggu lagi,” jawab Abrar. Lalu bangkit dari tempat duduknya berjalan menghampiri Fathia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD