Chapter 6 - KITA HARUS NIKAH !

1157 Words
"Have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become." Steve Jobs (Milikilah keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisimu. Mereka entah bagaimana sudah tahu akan jadi apa kamu sebenarnya.) ••••• "Diana," teriak Darren ketika memasuki rumah. "Kok udah pulang, katanya mau pulang minggu besok," kata Diana. Dia baru dari halaman belakang rumah untuk menjemur baju. "Udah selesai kerjaannya." Jawab Darren sambil menaruh tas ke atas meja. "Kamu udah makan? Aku belum masak," ujar Diana merasa bersalah. Dia pikir Darren akan pulang besok, jadi dia tidak memasak. "Nanti beli aja." "Ini bajunya kotor semua kan," katanya sambil akan membuka tas Darren. "Nanti aja, aku mau bicara penting sama kamu." Darren menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh Diana untuk duduk. "Mau bicara apa?" "Dia bener anak aku?" Darren memegang perut Diana yang agak membuncit. "Kamu ragu? apa yang harus aku lakukan biar kamu percaya?" "Kalau dia anak aku, kita harus secepatnya menikah," putus Darren. "Nggak perlu, kamu cukup mengakui anak ini, aku udah bersyukur," tolak Diana. "Ini Indonesia, kamu nggak mikirin status anak ini nanti?" kata Darren memicingkan mata ke Diana. "Dia nggak bisa dapet akta lahir kalau kita nggak nikah," lanjut Darren. "Tapi kan kita tidak saling mencintai," gumam Diana sambil menundukkan kepalanya. "Kamu mencintai seseorang?" tebak Darren. Diana mengangguk "Namanya kak Kevin, dia janji mau nikahin aku setelah masa kuliahnya selesai," ujar Diana. "Oke, kita nikah, setelah anak ini lahir kita urus perceraian." "Terus nanti yang rawat anak ini siapa?" "Aku, kamu bisa pergi tanpa membawa anak." "Janji ya," ujar Diana. "Iya." "Tapi aku nggak bawa surat surat buat pengajuan nikah." "Aku yang akan cari. Tapi kamu bawa KTP kan?" "Sebentar aku lihat." Diana berdiri, berlalu menuju kamarnya untuk mencari KTP. Beberapa saat kemudian Diana datang, "ini." Dia memberikan KTPnya kepada Darren. Darren mengeluarkan ponselnya untuk memotret KTP itu. Setelahnya dia kirim gambar KTP Diana ke Ivan dan Andre. Semoga dengan ini mereka bisa cepat menemukan asal usul Diana. Tidak lama pesan Darren mendapat balasan di grup w******p mereka bertiga. [Andre] Nggak salah bro? Soerjodiningrat? Setau gue itu marga masih keturunan ningrat deh. Punya perusahaan gede di daerah Jababeka. Sumpah? Jangan bercanda ndre Pastiin dulu baru bilang [Andre] Iya iya, gue akan pastiin segera [Ivan] Yang perusahaan perabot rumah tangga itu bukan ndre? Yang punya brand orilic [Andre] Wah, lo juga tau van Iya itu yang gue maksud [Ivan] Coba tanya bokap lo ndre Sesama pengusaha biasanya tau [Andre] oke [Ivan] gue lagi nungguin bokap pulang ni, semoga bokap gue juga tau si Diana ini Sipp ? Gue tunggu kabar baiknya bro "Darren," panggil Diana canggung. Darren mengangkat dagunya untuk melihat Diana. "Kamu capek nggak?" tanya diana malu-malu. Dia berdiri di depan Darren. "Enggak, kenapa?" "Boleh minta pijitin? Kepala aku agak pusing deh, kayaknya masuk angin." "Di sini apa di kamar?" Darren menaruh ponselnya di sofa. "Di sini aja." Diana lalu duduk di sova sebelah Darren. Dia duduk membelakangi Darren. Jemari darren mulai memijit tengkuk Diana. "Kamu udah cek kandungan belum?" tanya Darren disela pijitannya. "Belum" "Besok cek ya, aku mau lihat keadaan adek." "Iya, tapi kan biasanya kamu pulang malem." "Pagi aku bisa izin sebentar, habis itu balik kantor." "Udahan pijitnya, aku mulai ngantuk." "Yaudah sana tidur, nice dream," kata Darren. Dia mengusap puncak kepala Diana dengan penuh kelembutan. "Iya, makasih buat pijitannya," ucap Diana. *** "Anak saya yang mana dok?" tanya Darren melihat layar monitor usg. Mereka saat ini tengah ada di sebuah rumah sakit besar di Bandung. Sesuai dengan janjinya, Darren menemani Diana untuk memeriksakan kandungannya. Seorang dokter wanita bernama, dr. Amara, SPOG yang menjadi dokter pilihan mereka. "Yang warna hitam pak, usianya baru memasuki minggu ke 15, jadi belum bisa dilihat jenis kelaminnya," jelas dokter. "Nggak papa dok, yang penting dia sehat," kata Darren Antusias. Dia tidak pernah menyangka jika hanya dengan melihat calon anaknya melalui layar monitor akan sebahagia ini. "Bayinya sehat pak, detak jantungnya kuat. Tapi meskipun begitu, ibu harus selalu menjaga kesehatan. Makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup. Setiap hari usahakan bergerak, tapi jangan diforsir." "Semalam saya pusing banget dok, apa itu tidak membahayakan perkembangan janin?" tanya Diana. "Itu karena terjadi peningkatan jumlah darah dan cairan seiring berkembangnya janin, mengakibatkan tekanan darah meningkat. Penyebabnya banyak, bisa karena dehidrasi, anemia, kurang istirahat, juga bisa karena stress. Nanti akan saya buatkan resep, ibu dan bapak bisa tebus di apotik." "Apa lagi yang kamu rasakan, mumpung masih di sini bilang aja semua," kata Darren. "Aku rasa sudah nggak ada lagi." "Diana kadang kadang masih mual gitu gimana dok? karena yang saya baca kalau kehamilan sudah menginjak empat bulan, rasa mualnya akan hilang." Diana tidak menyangka bila Darren akan memperhatikannya. Bahkan sampai mencari tahu perihal kehamilan, yang dirinya saja tidak pernah mencari tahu. "Memang benar. Tapi di beberapa kasus ibu hamil, masih ada yang kadang mual namun intensitasnya tidak terlalu sering. Tidak apa-apa, mungkin tingkat kontrol stress ibu yang perlu diperhatikan. Yang menjadi masalah itu adalah ketika mual ini terjadi secara terus menerus, setiap waktu, setiap hari." jelas dokter. Sang dokter menulis beberapa resep pada sebuah kertas. Lalu memberikannya pada Darren. "Ditebus ya pak, diminum sampai habis." *** Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas siang. Waktunya jam makan siang, jam rawan macetnya kota. Seusai menebus resep yang ada di apotik dalam rumah sakit, mereka lantas meninggalkan rumah sakit. Tujuannya adalah restoran untuk makan siang. "Kamu stress kenapa di? Apa yang kamu pikirin?" tanya Darren perlahan. "Enggak?" "Kamu mikirin orang tuamu?" Diana menggeleng. "Kamu mikirin kekasihmu itu?" Diana melihat Darren di sampingnya, dan kemudian menggeleng. "Terus mikirin apa, jangan dipendem sendiri nanti tambah stress. Kamu inget kan pesan dokter tadi?!" "Pernikahan kita," gumam Diana. "Kamu nggak usah mikirin berkas berkasnya, biar aku yang usahain, kamu tinggal terima beres." "Bukan itu." Diana menggeleng. "Terus apa?" "Bagaimana nasibku nanti, apakah kalau nanti aku janda, kak Kevin akan menerimaku. Bahkan aku tidak pernah membayangkan akan menjadi janda di usia sembilan belas tahun." "Terus kamu mau gimana?" ucap Darren dengan nada tinggi, "Kamu mau kita nggak usah nikah, kamu egois banget, gimana nasib anak ini nantinya. Kamu nggak mikir," bentak Darren. Mata Diana berkaca, Darren menyadari akan hal itu. Diana mengedipan matanya, air mata itu perlahan menetes. Dia tidak mampu berkata, semua yang Darren katakan benar adanya. "Kalau misalnya laki-laki itu bener-bener cinta sama kamu, dia akan nerima kamu apapun keadaannya." Ucapan darren melembut. Darren mengusap puncak kepala Diana. Tapi justru air mata Diana semakin banyak keluar. Darren menepikan kendarannya. Dia merengkuh tubuh Diana ke dalam pelukannya, "Jangan nangis, aku minta maaf udah bentak kamu." "Kamu bener, harusnya aku lebih mikirin nasib anak ini daripada diriku sendiri," kata Diana ditengah isak tangisnya. Dia merasakan semakin cengeng dalam masa kehamilannya ini. "Siap nggak siap, kita harus nikah. Nanti kalau udah lahir, kita langsung urus perceraian ya," ucap Darren menenangkan Diana. Diana menangangguk dalam pelukan Darren. ••••• Sorry Typo ? WARNING !!! Jangan lupa tekan ? True Love ©2020 laelanhyt All rights reserved
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD