Chapter 18 - PERJANJIAN

1086 Words
"Ketidakbaikannya mungkin akan menggagalkan hidupku. Tetapi tidak akan pernah menodai cintaku." [William Shakespeare] ••••• Darren Morrano Smith Pov Dua hari dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah diizinkan pulang. Diana sudah bisa berjalan sendiri meski masih tertatih. Dia masih belum mau menyusui Aaron. Emosi Diana juga pasang surut, tidak bisa diberi nada tinggi. Semua keinginannya harus diutamakan melebihi kebutuhan Aaron. "Tolong pangku Aaron ya di," ucapku yang akan memberikan Aaron pada pangkuannya. "Bangku belakang kan masih kosong," jawab Diana melihat ke bangku belakang. "Kalau nanti jatuh gimana?" Nggak habis pikir juga kadang sama dia, bayi masih sekecil itu kok disuruh sendirian di kursi belakang. "Sampingnya dikasih tas biar nggak jatuh," jawab Diana enteng. "Kamu yang pangku, nggak ada bantahan!" Aku menaruh Aaron pada pangkuan Diana dan langsung kututup pintunya. Aku berlari kecil menuju bangku kemudi. Sepanjang perjalanan Diana masih menggerutu tidak jelas. Sedikit kutangkap, dia sedang mengajak ngobrol Aaron. Tak terasa bibir kusunggingkan, terharu bahagia. Akhirnya Diana mau mengajak Aaron bicara. Meski terkesan seperti memarahi tapi itu sudah kemajuan yang bagus. "Sekalian mampir beli makan aja ya, jadi nanti nggak usah keluar rumah lagi," usulku. "Bebek goreng enak kayaknya," katanya. "Kamu dari kemarin makan yang digoreng terus di, kurang kurangin lah. Coba ganti sama sayur, biar produksi ASI nya lancar." "Lagian Aaron juga minumnya s**u formula." "Makanya, mulai sekarang dibiasakan minum ASI." "ASI nya nggak keluar." "Kamu aja makannya yang nggak sehat gitu, nggak mau makan sayur kok mau keluar ASI nya," omelku. Dia itu kalau nggak digitukan susah sadarnya. Akhirnya kami mampir di salah satu restoran jepang. Aku membeli sushi untuk makan malam. Sushi mengandung ikan salmon yang memiliki banyak kandungan asam lemak yang baik bagi otak bayi. Selain itu, aku juga membeli smooties pisang dicampung almond dan granola. Smooties untuk pengganjal perut sampai nanti waktu makan malam tiba. *** "Jangan nangis terus dong," bentak Diana pada Aaron. "Namanya juga bayi, kerjaannya cuma nangis sama tidur." "Ya tapi berisik Darren. Aku nggak bisa tidur" "Kamu tutup pintu kamarnya, biar nggak kedengeran," kata Darren. Kamar rumah Darren memang didesign kedap suara. Darren sepanjang malam tidak tidur karena mengurusi bayinya. Bayinya itu jika ditidurkan pada box bayi akan terbangun dan menangis. Untuk saat ini masih tidak apa karena dia masih dalam masa cuti, tapi gimana nanti kalau dia sudah bekerja. Siapa yang akan menjaga Aaron. Sedangkan Diana masih tidak bisa diharapkan begitu. Darren menyerah, dia sudah berusaha menimang-nimang Aaron tapi nampaknya mata Aaron tidak mau terpejam. s**u formula dalam botol ukuran tujuh puluh lima mili iti juga sudah habis. Popok pun juga sudah diganti. Namun Aaron tidak mau tidur. "Diana," panggil Darren pada Diana yang belum terlelap di kamar. Diana tidak menyaut. "Coba deh kamu kasih ASI Aaron, mungkin dia mau minum ASI kamu," ucap Darren penuh percaya diri. Dia yakin ASI Diana keluar. Pasalnya tadi dia memberikan Diana makanan untuk memperlancar ASI ditambah suplemen ASI booster. "Nggak mau!" jawab Diana. "Kenapa? Jangan bilang ASI nya nggak keluar lagi," kata Darren. Dia menarik nafas, "Coba dulu, aku yakin ASI bisa keluar," lanjut Darren. "Aku nggak mau kasih ASI ke Aaron." "Tapi kenapa? Kamu tega lihat dia nangis bengini?" tanya Darren geram. "Aku cuma nggak mau buat Aaron ketergantungan sama aku," ucap Diana ambigu. "Aaron anak kamu, sudah sewajarnya dia ketergantungan sama kamu." "Bukan! Aaron anak kamu. Aku cuma membantu dia terlahir ke dunia," jawab Diana. Apa maksudnya? Pernyataan Diana berhasil membuat Darren bingung. Dia masih tidak bisa memahami ucapan barusan. Tangisan Aaron semakin kencang. Darren tentu saja lebih mementingkan Aaron, meskipun dia begitu menginginkan penjelasan Diana. Darren lantas berlalu meninggalkan Diana, lebih baik menenangkan Aaron dengan caranya sendiri tanpa meminta bantuan Diana. *** Pagi yang cerah. Mentari menampakkan dirinya secara sempurna tanpa ditutupi mendung. Seakan sedang menyaksikan rutinitas setiap penghuni bumi tak terkecuali Darren. Darren sudah bisa memandikan bayinya sendiri. Sewaktu di rumah sakit, dia meminta diajari oleh suster. Setelah mandi, Aaron akan tertidur. "Apa maksud perkataan kamu semalem?" tanya Darren. Mereka sedang menonton siaran televisi di ruang keluarga. "Yang mana?" tanya Diana. Sambil menonton televisi, sesekali dia memasukkan granola ke dalam mulutnya. "Tentang Aaron yang anak aku, kamu hanya perantara terlahirnya ke dunia." kata Darren ketus. "Emang begitu kan? Aaron anak kamu bukan aku." "Maksudnya, jelas jelas kamu yang mengandung dan melahirkan. Itu artinya Aaron juga anak kamu." "Kamu inget perjanjian kita?" tanya Diana berusaha membuka memori tentang perjanjian yang telah mereka sepakati. "Yang mana?" tanya Darren. Dia tidak memiliki minat untuk mengingat yang lalu. "Kalau anak dalam kandunganku lahir, maka kamu akan menceraikanku." Pandangan Darren meremang. Perjanjian yang dimaksud Diana adalah tentang perceraian. Dia saja bahkan lupa dengan perjanjian itu. Dia malah berfikir akan menjadikan Diana satu-satunya wanita yang akan mendampinginya sampai maut memisahkan. Harus diakui, keberadaan Diana membuat hidupnya berwarna. Darren merasa nyaman dengan kepribadian Diana. "Tapi bukan berarti Aaron bukan anak kamu," ucap Darren lirih "Aku hanya ingin membiasakan. Aaron tidak boleh ketergantungan denganku." "Kamu benar-benar ingin bercerai?" tanya Darren. Sungguh Dia tidak ingin mendengar jawaban 'iya' dari Diana. Tapi mulutnya berkhianat untuk menanyakan itu. Diana mengangguk mantap. Dari raut wajahnya terlihat sama sekali tidak menampilkan kesedihan. "Tidak bisakah kita lupakan saja perjanjian itu? Jadilah istriku selamanya, kita sama-sama merawat Aaron ya," pinta Darren memohon. Dengan erat dia menggenggam kedua tangan Diana. "Ayolah, janji tetap janji, kamu harus menepatinya." "Apakah ada perbuatan atau perkataanku yang membuat kamu sakit hati?" tanya Darren. "Nggak! Hanya saja____," kalimat Diana menggantung. Darren harap harap cemas mendengarkan perkataan selanjutnya. "Hanya saja kak kevin sudah menungguku. Dia cinta sejatiku. Aku dan dia sudah berjanji akan menikah," lanjut diana lancar. Sepertinya di sini Darren terlihat layaknya pengganggu hubungan dua orang sejoli. Bisakah dia egois mempertahankan istrinya? Salahkan dia jika tidak mau melepaskan istrinya? "Apakah dengan begitu kamu akan bahagia?" tanya Darren. Dia mengingat, selama ini kehidupan Diana jauh dari kesan membahagiakan. Banyak orang disekitarnya yang ingin mencelakai dan menghancurkannya. "Pasti, selama ini aku menunggu kak kevin. Sekarang dia sudah lulus sekolah dan akan pulang ke Indonesia untuk menikahiku." Baiklah, Darren menyakinkan hatinya. Dia tidak boleh egois. Bagaimanapun kebahagiaan Diana lebih penting. Kalau memang dengan melepaskan Diana akan membuat wanita itu bahagia, maka di akan lakukan. "Baiklah, tapi kamu harus janji," pinta Darren. "Apa?" tanya Diana. "Jangan pernah lupain aku sama Aaron. Ingatlah bahwa kamu pernah melahirkan seorang malaikat kecil bernama Aaron." "Aku janji." "Jika nanti suatu saat kenyataan tidak seperti yang kamu harapkan, pulanglah! rumah ini akan selalu terbuka untuk kamu," tukas Darren menyiratkan kepedihan. ••••• Sorry Typo ? WARNING !!! Jangan lupa tekan ? True Love ©2020 laelanhyt All rights reserved
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD