Semua siswa kompak berbaris di lapangan begitu suara yang berasal dari sound sekolah menggema untuk menyuruh mereka berkumpul lagi di lapangan. Ini adalah saat yang sangat mendebarkan bagi Cinta. Hal negatif terus berputar di kepalanya. Sulit untuk ditepis walau ingin.
Cinta berdiri di antara siswa lain, berbaris dalam barisan yang rapih. Bibir Cinta masih terkatup rapat. Ia juga belum berani untuk mengajak berkenalan siswa lain. Cinta masih takut dan bingung memulai perkenalan dirinya.
Apel pagi yang dipimpin oleh Kepala Sekolah telah berakhir bersamaan dengan sesi arahan dari pihak sekolah untuk semua murid baru SMA Angkasa.
Cinta menolehkan kepalanya mencari sosok Vino. Entah ada di mana Vino, Cinta tak tahu. Dengan cepatnya lelaki itu menghilang begitu saja tanpa memberitahu Cinta.
"Kalau kakak lihat, ternyata masih ada yang belum memakai atribut perlengkapan MOS!" Pertanyaan yang berasal dari senior yang memegang toa itu langsung membuat pandangan semua siswa fokus. Mereka saling berbisik dan mencari-cari siapa yang dimaksud kakak senior itu.
"Kakak jadi penasaran, apa kira-kira alasan siswa yang masih belum taat peraturan." Semua siswa kembali riuh penasaran.
Cinta yang sedari tadi diam sendiri dalam lamunannya tak sadar, bahwa kini semua pasang mata sedang menatapnya.
Cinta mengerjap dan menoleh ke samping, seorang perempuan menoel bahunya dari belakang. Alis Cinta terangkat sebelah karena bingung.
"Kamu dipanggil kakak itu di depan."
Kepala Cinta akhirnya menghadap ke depan. Detik itu Cinta baru sadar, jika semua mata memang tengah menatapnya. Berbisik dan menatap intens tubuhnya dari kepala hingga ujung kakinya.
"Kamu! Yang di belakang, coba maju ke depan!"
Cinta menelan salivanya susah payah. Cobaan apa yang tengah semesta siapkan untuknya? Apakah di hari pertamanya ini, semesta tak bisa mengabulkan harapan kecilnya? Ia hanya ingin bisa bersekolah layaknya orang normal. Ia hanya ingin bersekolah tanpa menjadi pusat perhatian. Ia hanya ingin bersekolah dengan tenang dan penuh semangat ingin belajar.
"Kamu, sini ke depan." Kakak panitia yang ada di depan, kembali menyuruh Cinta untuk maju. Kakak senior tersebut tak membentak, tak memarahi, juga intonasi nada suaranya tidak meninggi sedikitpun pada Cinta. Lelaki itu bahkan tersenyum ramah pada Cinta yang jauh berdiri di barisan belakang. Tapi Cinta tetap takut melihatnya.
Cinta menoleh ke sekitarnya, mencari sosok Vino, tapi tak ada. Vino tak ada dalam barisannya. Entah di mana laki-laki itu berada.
Seketika Cinta jadi merasa semakin gugup dan takut. Tangannya bergetar tiba-tiba. Kepalanya semakin menunduk dalam saat beberapa anak mendorong tubuhnya pelan agar segera maju ke depan.
Suara semua temannya mendadak semakin riuh saat kakak senior di depan kembali menyuruh Cinta ke depan. Mereka semua memasang tatapan aneh, bingung, kasihan, juga mengejek. Cinta seperti manusia tertuduh yang telah melakukan kesalahan besar dan berimbas kepada semua orang.
"Lo tuli atau apa sih?" Bertepatan saat Cinta yang ingin mencoba berani untuk mengangkat kepala, sebuah suara dari arah belakang mengagetkan Cinta. Cinta menelan ludah susah payah. Belum ada sehari ia menjadi siswa SMA di sana, tapi ia sudah merasakan jika dunianya tak akan lagi sama seperti dunianya sebelumnya yang aman dan tentram.
"Maju woy! Bikin lama aja sih, lo!"
Tangan seorang perempuan mendorong punggung Cinta, hingga gadis itu terpaksa maju beberapa langkah karena dorongan yang sedikit kasar barusan. Dan dorongan itu terus terjadi hingga Cinta berada tepat di depan altar bendera. Cinta benar-benar sulit mempercayainya. Ia masih belum mengerti mengapa orang-orang harus sampai berbuat seperti itu padanya. Apakah seperti itu cara anak SMA memperlakukan seseorang di sekolah formal?
Gemas dengan langkah kaki Cinta yang sangat pelan, tangan senior tersebut menarik lengan gadis itu hingga berdiri tepat di sampingnya.
"Sekarang Kakak mau tanya nih sama kamu. Kira-kira apa alasan kamu tidak menggunakan atribut perlengkapan MOS sama sekali? Padahal kan sudah diberi tau sebelumnya, bahwa untuk MOS ini, adik-adik wajib mematuhi dan memakai semua yang ada di dalam peraturan selama MOS."
Cinta hanya bisa diam sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya tertaut rasa gugup yang seakan menguburnya.
"Sebutkan nama dan alasan kamu kenapa kamu melanggar peraturan?"
Cinta diam dan semakin gugup. Kedua tangannya yang saling terkepal mengeluarkan keringat dingin. Cinta takut. Ia mengangkat kepalanya sedikit demi sedikit. Mencari keberadaan Vino di antara ratusan siswa yang kini masih menatap dirinya.
Kini Cinta baru tahu, sebesar itulah peran dan keberadaan Vino di hidupnya. Cinta ingin Vino, dan Cinta butuh Vino. Cinta mau Vino ada di sampingnya dan membawanya pergi dari tempat yang sudah membuatnya takut bahkan di hari pertama. Mungkin sang bunda benar, bahwa seharusnya Cinta tidak pernah menginjakkan kakinya ke sekolah formal.
"Haloo!" Kakak senior itu menggerakkan tangannya di depan wajah Cinta, hingga Cinta berhasil mengerjap dari lamunannya. "Kok kamu bengong? Tenang aja, Kakak nggak akan hukum kamu kok. Kakak cuma tanya, siapa nama kamu dan alasan kenapa kamu tidak memakai atribut MOS."
Haruskah Cinta menjawab pertanyaan itu? Jujur, Cinta ingin menjawabnya. Tapi Cinta bisa apa? Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata apa pun. Sekuat apa pun Cinta berusaha, tak pernah ada kata yang mampu Cinta keluarkan.
"Bisu kali," celetuk salah satu siswi yang berdiri di barisan paling depan. Padahal niatnya siswi tersebut hanya ingin mengatakan pada teman-temannya, tapi ternyata itu mampu di dengar oleh beberapa baris siswa di sekitarnya, juga Cinta yang berada di panggung kecil.
"Nggak mungkinlah bisu. Masa iya di sekolah begini ada orang bisu." Ujar siswi lainnya.
"Orang bisu mah adanya di SLB (Sekolah Luar Biasa)." Celetuk salah satu siswi lainnya. Dan hanya karena celetukan itu, rupanya semua siswa mendadak tertawa. Padahal celetukan itu sama sekali tidak ada yang lucu. Tidak ada yang pantas untuk ditertawakan.
Kening Cinta mengerut gelisah. Kemana perginya rasa berani yang mau ia munculkan? Kemana perginya kepercayaan diri Cinta yang sudah ia bangun?
"Kamu nggak bisu, kan? Bisa bicara?" Tanpa disangka, kakak senior itu malah melanjutkan apa yang ketiga siswi tadi katakan. "Dek, Kakak nanya sama kamu. Kamu harus jawab dong," kata senior itu mendesak. Wajah ramahnya sedikit berubah.
"Apa kamu beneran nggak bisa bicara?" tanya senior itu, lagi.
Vino.... Ingin rasanya Cinta berteriak memanggil nama Vino. Rupanya Cinta belum siap jika hanya berdiri seorang diri tanpa ada Vino. Cinta masih membutuhkan Vino untuk membantunya berpijak lebih kuat menghadapi semua skenario yang telah semesta siapkan untuknya.
"Cewek itu emang bisu." Semua siswa termasuk Cinta sontak terperangah dengan suara seorang gadis yang suaranya membuat semua siswa tercengang kaget.
Mira?!
Cinta menatap bingung wajah Mira. Cinta mengenal Mira, begitupun Mira yang mengenal Cinta. Mira adalah anak dari Pak RT, juga teman satu sekolah Vino di SMP. Cinta dan Mira bukanlah teman akrab, hanya sebatas saling mengenal.
"Hah? Jadi seriusan bisu?"
"Bisu yang bisa ngomong itu kan?"
"Kok bisa sih ada orang bisu di sekolah kayak gini?"
Para siswa berbisik, tapi anehnya Cinta bisa mendengar semua bisikan mereka. Dan itu sangat menyebalkan untuk didengar.
"Saya kenal dia." Mira maju melangkah lebih dekat ke arah panggung, membuat semua pasang mata menjadi fokus menatap Mira. "Namanya Cinta, dan dia memang gadis bisu. Bisu dari lahir, dan tidak bisa bicara sama sekali."
Kedua tangan Cinta yang berada di sisi tubuhnya saling mengepal erat. Memaksanya untuk berhenti bergetar, juga menahan matanya yang mulai memanas. Cinta merasa bahwa ada yang menutupi penglihatannya hingga samar untuknya melihat ke depan.
"Jangan suruh dia bicara, karena sampai kapanpun dia tidak akan pernah bisa berbicara."
Air mata mulai membuat pandangan Cinta mengabur. Apakah semesta memang terbiasa seperti ini? Mengapa semesta kadang begitu egois? Tega menghilangkan kebahagiaan yang bahkan belum berani diharapkan?
***