BAB 14

2086 Words
Hasil dari kedatangan mendadak Marquis di kediaman Gilbert adalah kesepakatan mutlak atas kehadiran keluarga Gilbert di istana kerajaan. Tentu saja terjadi sedikit cekcok antara Marquis dan Arthur. Perdebatan alot di antara mereka akhirnya membuahkan kemenangan bagi Marquis. Arthur memang tidak akan pernah bisa menang melawannya dan Alice hanya bisa diam penuh kekecewaan.   Hall istana Kerajaan Ophelia diisi oleh pihak gereja, keluarga kerajaan, instansi pemerintah, kepala keluarga bangsawan tertinggi dan keluarga Gilbert. Pada tanggal 14 Februari 1913 yang diselimuti musim dingin ekstrim, sejarah baru akan terukir. Sejarah yang sebelumnya ditentang oleh Arthur karena menganggapnya sebagai sebuah omong kosong pihak gereja semata. Bila bukan karena paksaan Marquis, Arthur tidak akan sudi menyerahkan adik bungsunya untuk bertunangan dengan Pangeran Mahkota Kerajaan Ophelia, Ivander de Bloich. “Hari ini, tertanggal 14 Februari 1913, kita menyambut acara besar yang akan menjadi sejarah baru Kerajaan Ophelia. Untuk pertama kalinya, Gereja St. Church turut ikut andil dalam masa pemerintahan Kerajaan Ophelia. Membawakan berita besar terkait calon Ratu kedelapan yang dipilih langsung oleh Tuhan yang Maha Pengasih,” ujar Ronald, Penasihat Raja, membuka acara.   Alice beringsut merapat pada Arthur seraya mengeratkan gendongannya pada tubuh mungil adik bungsu mereka. “Arthur, aku tidak percaya kau akhirnya setuju-setuju saja melakukan hal bodoh ini.” bisiknya tajam. “Kau ingat dengan jelas betapa keras kepalanya Raja bodoh itu, Alice. Bahkan aku sudah tidak bisa melawan lagi saat Kepala Uskup ikut memaksaku,” keluh Arthur mendesis tajam, netra birunya menyorot tajam pada pihak gereja.   “Apakah akan menjadi masalah bila kita membunuh Kepala Uskup tua itu?” Sorot tajam Arthur berpindah ke Alice. “Kau ingin keluarga Gilbert mendapat laknat dari pihak gereja?” “Hei, anak-anak muda, bisakah kalian menahan bisik-bisik kalian terlebih dahulu agar acara ini segera selesai?” tegur Marquis menginterupsi perdebatan kecil Arthur dan Alice. Menarik perhatian seisi hall untuk mengalihkan netra kepada sepasang kembar tersebut. Alice mengernyit diikuti alis menaut tidak suka melihat seisi hall memasang wajah tidak sukanya secara terang-terangan. Tatapan-tatapan merendahkan dan bisik-bisik menghina tertangkap jelas oleh mata hijau Alice. Alice pun tahu bahwa pertunangan berdasarkan campur tangan pihak gereja ini sangat ditentang oleh mayoritas bangsawan karena kebencian mereka terhadap keluarga Gilbert. Namun, Alice tidak akan membiarkan mereka memandang rendah keluarga Gilbert begitu saja. “Jujur saja, Yang Mulia Raja, saya sangat menentang pertunangan ini,” ujar Alice tegas begitu saja membuat geger seisi hall. Sementara, Arthur dan Theo hanya bisa menghela napas berat di sisi Alice.   Alis Marquis naik sebelah, sepenuhnya sudah menduga sikap keras kepala Alice. “Begitukah? Jadi, kau ingin menentang kehendak Tuhan?” “Benar-benar keturunan Gilbert yang mengerikan. Buah memang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya.” “Dengan sifat yang sudah mendarah daging seperti itu, Raja dan Ratu tetap memilih bayi itu untuk menjadi calon Ratu kedelapan. Bagaimana nasib kerajaan nantinya?” Beragam lontaran bisik caci maki memenuhi hall. Tentu saja ketiga bersaudara Gilbert mendengarnya dengan jelas. Alice semakin mengeratkan gendongannya pada tubuh mungil Elizabeth, sementara Arthur dan Theo mengedarkan sorot tajamnya ke seluruh sudut aula istana. Mereka seolah berada di tengah-tengah kandang musuh tanpa bisa mengacungkan senjata, hanya bisa berdiri diam menerima segala intimidasi. “Aku tahu kau tidak rela adik kecilmu direnggut oleh putraku, tapi jangan khawatir, kau masih bisa hidup bersama—“ “Apa maksudmu? Tentu saja kami akan selalu hidup bersama Elizabeth. Saya tidak akan menyerahkannya kepada putra anda yang baru lancar berjalan,” sahut Alice langsung memotong ucapan Marquis dan menghina Pangeran Mahkota tanpa gentar sedikit pun, semakin membuat bisik caci maki memenuhi hall.     Arthur melengos lelah, berbisik pelan menegur. “Alicia de Gilbert.” “Jangan menghalangiku, Arthur. Aku tidak percaya kau benar-benar pasrah saja menyerahkan adik bungsumu kepada keluarga kerajaan,” sahut Alice sewot dikuasai amarah.   Theo menipiskan bibir, menoleh ke Alice. “Bukankah sekarang tindakanmu sudah terhitung pemberontakan terhadap kerajaan?” “Apa peduliku? Ini menyangkut adikmu yang belum berusia tiga bulan, Theodoric,” balas Alice tegas. “Alicia de Gilbert, aku selalu percaya bahwa kau berbeda dari anak-anak seusiamu. Aku sudah mengenalmu dan Arthur sejak kalian masih sebatas bocah ingusan. Kau bisa berpikir lebih rasional dan dewasa, sekarang pun aku masih mempercayai hal itu,” tutur Marquis kembali menginterupsi perdebatan ketiga bersaudara tersebut, “aku memahami perasaan dan niatmu dalam melindungi adik bungsumu. Bila Eugene dan Ellie masih bersama kita di sini, aku sangat yakin mereka bertindak sepertimu. Terlepas dari hal itu, inilah yang terjadi, nak. Mau tidak mau kau harus memenuhi perintah-Nya.” Alice tersentak kaku melihat Marquis menyebut kedua orang tuanya. Perasaan sesak langsung memenuhi dadanya. Gadis kecil itu perlahan menoleh menatap wajah adik bungsu dalam gendongannya. Wajah terlelap damai dibuai mimpi, tidak terganggu apa pun. Kembali membuat Alice teringat oleh wajah kedua orang tuanya yang berpadu jelas di wajah Elizabeth. Alice sungguh tidak ingin menyerahkan adiknya. Secara naluri, Arthur merangkul pundak Alice. Membawa gadis itu merapat padanya. “Alice, aku juga tidak mau menyerahkan Elizabeth begitu saja.” Alice spontan menoleh. “Kalau begitu—“ “Tapi, ini perintah dari Tuhan. Heh, entah Tuhan mana yang menurunkan keputusan itu pada si Kepala Uskup tua bangka di sana,” dengus Arthur memotong ucapan Alice, “percayalah ini adalah hal baik untuk Lizzy.” “Lizzy?” Arthur tersenyum miring. “Nama kecil Elizabeth. Elizabeth terlalu panjang, bukan?” Sejenak, Alice termangu menatap seringai lebar Arthur. Perasaan sesak dalam dadanya perlahan sirna, tergantikan oleh perasaan yang entah apa namanya meringankan beban di d**a Alice. Padahal Arthur tidak melakukan apa pun selain mengklaim nama kecil adik bungsu mereka. Bahkan Arthur juga mengklaim ketidakpercayaan sepenuhnya pada pesan yang didapatkan Kepala Uskup dan menghina keberadaan Tuhan. Tapi, secara ajaibnya mampu meringankan d**a Alice. Marquis tersenyum miring menatap tiga anak kecil keturunan Gilbert di hadapannya. Sekali lagi melontarkan suara. “Jadi, bagaimana, nona kecil? Bisakah kau bertindak kooperatif demi Kerajaan Ophelia? Bagaimana juga dengan pendapatmu, Grand Duke Muda?” Arthur melengos menatap Marquis. “Aku tidak akan berkomentar lagi. Kutegaskan sekarang bahwa aku lebih memedulikan adikku daripada Ophelia. Bila sampai kalian macam-macam dan bertindak di luar batas padanya, aku tidak akan segan.”   “Benar-benar seperti ayahnya,” kekeh Marquis begitu saja, tidak menunjukkan kekesalan sama sekali, “lalu, bagaimana denganmu, nona kecil?”   Merasa sia-sia saja melawan keadaan, Alice melengos lelah. “Saya tidak memiliki komentar apa-apa lagi dan apa yang sudah kakak saya lontarkan, saya mengikutinya.” Ungkapan persetujuan dua bersaudara sulung keluarga Gilbert membuat seisi hall hanya bisa melengos pasrah. Persetujuan pertunangan antara Pangeran Mahkota Kerajaan Ophelia, Ivander de Bloich, dengan putri bungsu keluarga Gilbert, Elizabeth de Gilbert, resmi dilanjutkan. “Pengukuhan pertunangan ini adalah sebagai simbol utama landasan yang mendasari pertunangan antara Ivander de Bloich dan Elizabeth de Gilbert. Diberkati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, pengukuhan ini tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan kondisi apapun kecuali kesepakatan pembatalan resmi antar kedua belah pihak yang bersangkutan. Kepada Yang Mulia Raja Marquis dan Grand Duke Arthuria, dipersilahkan untuk menandatangani lembar pengukuhan.” ujar Kepala Uskup Benedictus lantang. Arthur melangkah menuju meja bundar berisi selembar pengukuhan pertunangan. Ratusan tatapan tidak suka menusuk Arthur secara terang-terangan. Tidak pernah ada yang menerima kehadiran Gilbert, Arthur tahu itu. Tidak pernah ada orang yang benar-benar berteman dengan keluarga Gilbert. Dunia menjauhi mereka. Arthur paham dan sempat menakutinya. Namun kemudian Arthur tersadar, tak seharusnya ia menakuti dunia. Dunia memang tidak pernah adil terhadap keluarga Gilbert. Bahkan dunia merenggut Eugene dan Ellie. Tapi Arthur tidak bisa selamanya diam dan lari. Sekarang gilirannya untuk menjaga keluarganya. Dan ia harap, dengan satu kali saja memenuhi perintah Tuhan, Tuhan akan berbaik hati pada keluarganya. Walau itu sangat naif. Tanda tangan Marquis dan Arthur disambut tepuk tangan. Inti acara selesai dilaksanakan. Pengukuhan pertunangan menjadi langkah awal resminya hubungan pertunangan antara Ian dan Lizzy. Keduanya akan melakukan pertunangan resmi ketika Lizzy berusia tujuh tahun. Hal itu sesuai kesepakatan antara Marquis dan Arthur yang terjadi di kediaman Gilbert tempo lalu. “Diberkatilah pengukuhan pertunangan Ivander de Bloich dan Elizabeth de Gilbert.” ujar Kepala Uskup Benedictus disambut tepuk tangan meriah. Kepala Uskup Benedictus undur diri. Meja bundar beserta lembar pengukuhan pun disingkirkan. Ronald maju dari posisinya, membuka gulungan. “Selanjutnya, pemberian gelar kepada Arthuria de Gilbert selaku pewaris sah gelar Grand Duke of Alterius dan kepala keluarga Gilbert.” Arthur bersimpuh satu kaki di hadapan Marquis dengan kepala menunduk hormat. Jubah hitamnya menyapu karpet merah. Pada akhirnya, anak kecil berusia 12 tahun itu akan resmi mengemban segala beban yang telah menunggunya. Arthur yang masih kecil, dipaksa mendewasa. Arthur yang masih butuh bimbingan Eugene, dipaksa berdiri tegak seorang diri. Arthur yang memiliki banyak ketakutan, dipaksa menutupinya dan mengemban beban adik-adiknya juga. Marquis memberikan pedang milik Eugene, kemudian diterima oleh Arthur. Arthur bangkit berdiri, menerima pin lambang keluarga disematkan di kerah lehernya. Arthur membungkuk hormat disambut tepuk tangan. Arthur resmi menjadi Grand Duke of Alterius. Marquis menyentuh pundak kiri Arthur, tersenyum miring. “Selamat menjalankan tugasmu, Grand Duke kecil. Aku menantikan kerja sama di antara kita ke depannya.” Arthur membalas senyum iblis Marquis. “Tentu saja, Yang Mulia. Aku menantikan tugas-tugasmu dengan senang hati. Dan kuharap kau tidak akan melupakan kesepakatan kita.” “Tentu, tentu. Astaga, anak muda zaman sekarang bersemangat sekali.” kekeh Marquis dengan senyum miring semakin lebar. 14 Februari 1913, pukul lima sore, hubungan Ian dan Lizzy resmi terikat. Menyisakan banyaknya kekecewaan kaum bangsawan. Tidak ada yang menerima calon Ratu mereka berasal dari keluarga Gilbert. Sehingga di hari itu juga faksi aristokrat dibentuk. Di kemudian hari, 14 Februari 1913 dikenal sebagai hari perpecahan Kerajaan. *** Marquis baru saja memasuki kamar tidur kala menemukan Victorique duduk termenung di ranjang. Sang Ratu hanya duduk diam tanpa penerangan apa-apa selain cahaya bulan dari luar jendela. Marquis tidak terkejut. Wajar saja Victorique belum tertidur meski jam sudah melewati tengah malam. Wanita itu pasti sedang menunggunya kembali untuk menyampaikan beberapa hal setelah sekian minggu tidak bersuara. Marquis melepas jubah, mengganti seragam resmi kerajaan dengan pakaian lebih kasual. Beberapa kali mata hitamnya melirik Victorique, tak didapati pergerakan apa-apa. Helaan napas keluar dari hidung Marquis. Ia mendekati ranjang, duduk di samping istrinya. Tanpa aba-aba, Marquis menarik Victorique ke dalam pelukannya. Pelukan itu tidak dibalas oleh Victorique, ia benar-benar diam. “Berhenti memikirkannya,” bisik Marquis tepat di telinga Victorique. “Apakah ini memang jalan yang terbaik untuk mereka?” bisik Victorique lirih seiring kepalanya menunduk. “Aku tidak yakin.” “Victorique, percayalah ini yang terbaik untuk Ian dan Elizabeth.” Victorique menggigit kecil bibir bawahnya. “Bagaimana caranya? Bagaimana caranya aku bisa mempercayai itu, Marquis? Aku yakin Ellie tidak menginginkan hal ini juga. Tapi kau, kau—“ Marquis berhenti memeluk Victorique. Kedua tangannya menyentuh pundak Victorique. Matanya menatap Victorique yang masih menunduk, menyembunyikan raut sedih yang selalu ia sembunyikan. Pada akhirnya, sang Ratu tidak benar-benar menyetujui pertunangan putranya. “Aku tidak pernah mengingkari janjiku, Victorique,” ujar Marquis tegas membuat istrinya sedikit mendongak, “aku tidak pernah ingkar. Sesuai permintaanmu, sekali saja para bangsawan menyentuh Elizabeth, akan kubantai seluruh keluarga mereka tanpa perlu melalui persidangan.” Victorique mendongak sepenuhnya, membalas tatapan Marquis. “Aku memintamu melindunginya dengan cara apa pun.” Marquis tersenyum miring, terkesan sombong. “Kau paham bagaimana cara yang selalu kupakai, Ratuku.” Victorique menghela napas panjang, kembali menunduk. Jemari Marquis bergerak menyeka air mata sang Ratu. Mengantarkan kehangatan menyelimuti wajah Victorique, merasakan kasih sayang Marquis. Victorique pun memeluk Marquis erat-erat seakan hidupnya bergantung padanya. Tentu Marquis menyukainya. “Berjanjilah selalu, Marquis,” bisik Victorique. Marquis mencium puncak kepala Victorique. “Tentu, Victorique.” Di satu sisi, Emerald Palace, area istana yang ditempati Ian, tidak menunjukkan aktivitas kehidupan selayaknya jam malam. Sunyi dan sepi, sewajarnya terjadi. Akan tetapi Emerald Palace tidak sepenuhnya sunyi. Kamar Ian masih diselimuti penerangan lampu gantung. “Jadi begitu, mereka sudah meninggal.” Johan, asisten pribadi Ian, mengangguk. “Tuan dan Nyonya Gilbert wafat pada tanggal 26 Desember 1912, tujuh jam setelah kelahiran Nona Elizabeth. Kelompok teroris yang berhasil membunuh mereka masih belum ditangkap dan menjadi buronan tertinggi Alterius.” Ian mendengus pelan. “Itu menjelaskan semuanya.” “Maaf?” “Bukan apa-apa,” sahut Ian sebelum membaringkan tubuhnya di ranjang, “aku akan tidur sekarang.” Johan membungkuk. “Baik. Selamat malam, Yang Mulia.” Johan keluar dari kamar tidur Ian setelah mematikan lampu gantung dan menyalakan lilin aromaterapi. Wangi chamomile mulai menyelimuti kamar tidur Ian, membantu Ian lebih cepat terlelap. Namun rasa-rasanya untuk hari ini chamomile tidak dapat membantunya karena benak Ian penuh pikiran. Eugene dan Elliana sudah meninggal sejak akhir tahun lalu. Maka kejadian tadi sore di taman Istana Ratu menjadi masuk akal. Walau Ian pun masih sedikit tidak percaya hal semacam itu benar-benar terjadi. Seumur-umur, Ian tidak mempercayai keberadaan roh orang-orang masih menetap di dunia. Tapi siapa sangka, bukan? “Tolong jaga Elizabeth, putri saya.” Suara Elliana, mantan Grand Duchess of Alterius, terngiang kembali dalam benak Ian. “Bila itu Yang Mulia Pangeran, saya dapat memercayakannya dengan tenang.” Grand Duchess, kau benar-benar berpikir aku adalah orang yang tepat untuk putrimu? batin Ian menatap kosong langit malam. Sebuah pertanyaan yang tidak akan pernah Ian dapatkan jawabannya. END PROLOGUE [Iya, kalian nggak salah baca, kok! Bab ini adalah bab end prolog. Artinya, bab selanjutnya kita akan memasuki cerita sesungguhnya, yap. Ke depannya semoga kalian betah bersama The Queen Quality karena ini akan menjadi kisah yang panjang banget nget nget!]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD