BAB 13

1917 Words
14 Februari 1913, musim dingin ekstrim di Kerajaan Ophelia masih menduduki puncaknya. Badai salju sering menghantam, suhu dingin ekstrim di luar nalar manusia, dan awan mendung sering menutupi cahaya matahari masuk. Dari tahun ke tahun alam semakin murka. Selalu ada saja bencana ekstrim yang terjadi dalam tiap musim, musim dinginlah yang terparah. Dan Ian tidak pernah menyukainya. Ian sangat membenci musim dingin lebih dari siapapun. Semua hal buruk selalu terjadi selama musim dingin melanda. Salah satunya adalah pertunangan Ian. Dua bulan berlalu sejak Ian mengetahui pertunangan telah ditetapkan. Tanpa kabar apa-apa. Marquis pun tidak pernah menemui Ian untuk membicarakannya seolah-olah kabar pertunangan itu hanyalah omong kosong belaka. Ian nyaris mempercayainya ketika memasuki bulan Februari belum ada yang terjadi. Sekarang tak disangka, semua terjadi secara nyata. “Yang Mulia, selamat atas pertunangan anda,” ujar Chester dengan sikap sopan seperti biasa. Ian tidak membalas. Anak kecil itu memilih fokus pada para pelayan yang mendandaninya. Sementara keempat pengawal pribadinya menunggu di pintu kamar. “Yang Mulia, anda tidak senang?” tanya Ben, membuatnya mendapatkan sikutan dari Dale dan Chester. Tidak terima, Ben melirik sinis. “Apa salahku?” Chloe mengembuskan napas pendek. “Sudah jelas Yang Mulia tidak menginginkan pertunangan ini. Kau ini benar-benar penghancur mood semua orang.” Ben mengernyit bingung. “Bukankah seharusnya Chester yang salah? Dia malah memberikan ucapan selamat.” “Kau tidak akan pernah mengerti, Ben. Pertumbuhanmu lambat sekali,” ledek Dale membuat Ben semakin mengernyit dan ingin memukul Dale. Ya, Ian tidak senang sama sekali. Dia tidak pernah benar-benar menginginkan pertunangan dengan putri bungsu keluarga Gilbert. Bukan karena tidak suka, Ian merasa hal semacam ini terlalu cepat dilakukan. Maksud Ian, dirinya masih empat tahun. Masih sangat kecil, butuh kebebasan. Bukannya malah dipertunangkan dengan perempuan yang juga masih bayi. Ian sudah biasa mendengar kegilaan ayahnya, tapi Ian tidak pernah menyangka kegilaan itu berjalan sejauh ini. Ya, Ian mengaku setuju kepada ibunya. Namun tidak lebih bertujuan meringankan beban pikiran Victorique. “Yang Mulia, acara akan dimulai dalam satu jam. Kehadiran anda di hall telah diminta oleh Yang Mulia Raja.” Laporan Ronald menginterupsi keadaan di dalam kamar Ian. Para pelayan bergegas menyelesaikan penampilan Ian. Keempat pengawal pribadi Ian keluar dari kamar, bersiap mengawal Ian ke hall istana. Sedangkan Ian menghela napas panjang dengan wajah semakin dingin. Terpampang nyata betapa tidak ikhlasnya Ian melakukan pertunangan. Ketika Ian keluar dari kamar, hanya ada empat pengawal pribadinya menunggu. Tidak ada Ronald. Ian asumsikan Ronald hanya ditugaskan untuk memanggil Ian tanpa perlu mengawal. Hal itu cukup membuat Ian lega karena ia tidak berniat langsung pergi ke hall. Saat Ian berjalan di koridor yang melewati taman bunga Istana Ratu, Ian bersuara. “Jangan mengikutiku. Tunggu di sini.” Ben mengerjap bingung. “Ada apa, Yang Mulia?” Ian mengambil langkah menuruni anak tangga koridor, memasuki jalan penghubung pintu masuk utama Istana Ratu. “Aku ingin ke taman sebentar.” “Tapi, acaranya akan—“ “Baiklah, nikmati waktu anda, Yang Mulia,” ujar Chloe memotong ucapan Ben seraya membungkuk hormat. Walau bingung, Ben mengikuti ketiga temannya untuk membungkuk hormat pada punggung Ian yang semakin menjauh. Mereka menyingkir, memilih menunggu di ujung koridor. Cukup jauh dari taman bunga yang dikunjungi Ian. Jujur saja, Ian tidak tahu mengapa tiba-tiba ia ingin mengunjungi taman bunga favorit ibunya. Padahal taman itu masih sama saja. Tertutup oleh salju, serba putih, tidak ada yang istimewa, dan bersuhu rendah. Selain itu baru kemarin sore Ian mengunjunginya. Tidak ada hal baru di sana. Tapi di sinilah Ian, lebih memilih pergi ke taman bunga itu daripada ke hall istana saat acara pertunangannya akan segera dimulai. Sialan, semakin lama aku semakin tidak ingin pertunangan bodoh ini terjadi, umpat Ian dalam hati seiring langkahnya semakin mendekati gazebo beton. Ck, memangnya aku punya pilihan atas segala keinginan ayah. Ian terlonjak kaget tiba-tiba mendengar sebuah suara datang dari arah gazebo. Kakinya otomatis berhenti beberapa meter dari gazebo. Mata merahnya mengerjap cepat, mengamati sekitar. Suara-suara yang terdengar seperti suara rengekan anak kecil kembali memasuki gendang telinga Ian. Pangeran muda itu dilanda bingung. Tidak ada anak kecil di istana kerajaan selain dirinya dan Noah. Jika memang ada, bagaimana bisa anak kecil memasuki area pribadi Ratu. Sedikit ragu-ragu, Ian kembali melangkah mendekati gazebo. Degup jantungnya mulai menderu seiring suara-suara itu terdengar semakin jelas. Selesai menaiki anak tangga gazebo, mata Ian membulat melihat kereta bayi di sebelah kursi. Kereta itu tidak kosong, terdapat seorang bayi di dalamnya, sumber suara yang terdengar Ian. Kepala Ian menoleh kanan-kiri mencari seseorang yang bertanggungjawab atas bayi tersebut, namun nihil. Tidak ada seorang pun. Ian tidak habis pikir. Hari pertunangan yang sudah dianggap buruk, jadi semakin buruk saja. Ian menghela napas panjang, duduk di kursi, bersebelahan dengan kereta bayi. Anak itu menatap bayi perempuan yang masih merengek sedih. “Hei, bagaimana caranya kau bisa sampai di sini?” tanya Ian datar, tentu tak mendapat jawaban. Bayi perempuan berambut pirang itu semakin merengek dan seolah-olah hendak menangis. Tentu saja Ian tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ian tidak pernah berurusan dengan bayi. Situasi ini pun tidak terduga olehnya. Niat hati ingin menenangkan diri di taman, malah menemukan masalah baru. Tidak tahan dengan rengekannya, Ian menyentuh pipi bulat bayi tersebut. “Berhenti merengek. Kau berisik sekali.” Bayi itu membuka kelopak matanya, memamerkan mata berlian berwarna biru muda. Sukses mengejutkan Ian. Secara otomatis, tangannya berhenti menyentuh pipi sang bayi. Mata merahnya mengerjap kaget bertemu tatap dengan mata biru berlian tersebut. Mata biru adalah mata lazim manusia, tapi Ian tidak pernah melihat seseorang bermata berlian biru. “Selamat sore, Yang Mulia Pangeran.” Jantung Ian nyaris melompat keluar kala suara wanita memasuki gendang telinganya. Bocah empat tahun itu langsung menoleh ke depan, menemukan figur seorang wanita bergaun merah dan bertopi besar berwarna hitam. Wanita itu berdiri di anak tangga tertinggi gazebo, penuh aura kewibawaan dan tata krama. Ian tidak mengenalinya. “Siapa kau?” tanya Ian setelah mampu mengendalikan degup jantungnya. Wanita itu tidak menjawab. Tanpa merasa sungkan berhadapan dengan Pangeran Mahkota, ia berjalan mendekat. Hal itu membuat Ian turun dari kursi, was-was. Mata merah Ian mendelik tajam mengamati wanita asing itu mendekat. Sudah tidak menghormati statusnya sebagai Pangeran Mahkota, lancang pula memasuki area Istana Ratu. Bagaimana caranya dia bisa masuk? Apa yang dilakukan empat pengawal bodoh itu? batin Ian kesal bercampur bingung. Dari fisiknya, Ian benar-benar tidak mengenalinya. Rambutnya sama seperti Victorique, hanya saja berwarna pirang. Perawakan fisiknya pun mungil seperti Victorique. Suaranya sedikit lebih lembut dari suara Victorique. Kening Ian jadi mengernyit menyadari wanita asing itu mirip seperti ibunya. “Bagaimana bisa kau memasuki area Istana Ratu,” tegur Ian kala jarak wanita asing itu dekat dengannya. Lagi-lagi wanita itu mengabaikan Ian. Secara tiba-tiba, tubuhnya berbelok mendekati kereta bayi. Mata Ian sedikit membulat. Tidak menyangka sasaran wanita itu adalah bayi asing tersebut.   Buru-buru, Ian menegur keras. “Hei, aku sedang berbicara padamu.” Si wanita asing berhenti di samping kereta bayi. Kepalanya terangkat, membalas tatapan Ian. Ia tersenyum tipis. “Ah, maafkan ketidaksopanan saya, Yang Mulia.” Lagi-lagi Ian dibuat terkejut karena warna bola mata wanita itu sama seperti bola mata bayi perempuan di kereta. Otaknya langsung menyimpulkan wanita itu adalah ibu dari bayi tersebut. Sudah sewajarnya seperti itu, bukan? Itu sebabnya ia mendekat pada kereta bayi, alih-alih menanggapi Pangeran Mahkota. “Kau ibunya?” tanya Ian dengan nada dan sikap lebih tenang. Wanita itu tersenyum lagi seraya mengangkat bayinya dari kereta, mendekap penuh kasih sayang. “Terima kasih banyak karena telah menemaninya, Yang Mulia.” “Seharusnya kau tidak meninggalkannya sendirian di sini,” Ian mendelik kecil, “daripada itu, bagaimana bisa kau memasuki area ini?” “Ah, maafkan kelancangan saya. Saya sangat mengagumi keindahan taman Istana Ratu sehingga terlalu bersemangat memasuki area ini.” Kernyitan Ian semakin dalam. “Sampai kau tega meninggalkan bayimu sendirian?” Wanita asing itu terkekeh dengan senyum lebar. Tangan kirinya melambai mengajak Ian mendekat. “Kemarilah. Bukankah menurutmu dia sangat cantik?” “Huh?” “Kemarilah, Pangeran Ian.” Ian mengerjap pelan, terheran-heran melihat sikap tidak sopan ibu muda di hadapannya. Seumur hidup Ian, tidak pernah ada yang memerintah seenaknya kepadanya selain Marquis dan Victorique selaku orang tuanya. Tidak pernah ada juga yang bersikap tidak sopan sejauh itu kepadanya. Ian semakin tidak habis pikir. Mau tidak mau Ian mendekat, memenuhi permintaan wanita itu. Wanita itu menurunkan tubuhnya, mensejajarkan tubuhnya dengan Ian. Ia memperlihatkan bayinya kepada Ian bertepatan dengan mata bayi itu terbuka lebar. Bola mata yang berhasil menarik perhatian itu kembali membius Ian, membuatnya terpaku. “Cantik, bukan?” ujar sang ibu membuat Ian mengerjap tersadar. Ian mendengus pelan. “Ya.” “Sepanjang hidup saya, dia adalah anugerah terindah terakhir yang saya dapatkan. Saya sangat bersyukur dapat melahirkannya ke dunia yang indah ini,” wanita itu tersenyum bahagia menatap putrinya, “saya harap, Elizabeth dipenuhi kebahagiaan sepanjang hidupnya.” Ian langsung mengernyit menatap wanita itu. Elizabeth, katamu? Sang ibu menoleh ke Ian. “Yang Mulia, jika anda tidak keberatan, saya memiliki permintaan kepada anda.” “Permintaan?” tanya Ian cukup bingung. “Tolong jaga Elizabeth, putri saya,” jeda, wanita itu tersenyum penuh keibuan, “bila itu Yang Mulia Pangeran, saya dapat memercayakannya dengan tenang.” Benak Ian langsung berkecamuk menyatukan potongan-potongan. Nama Elizabeth memang nama yang lazim dimiliki anak perempuan, bahkan salah satu pelayan istana ada yang bernama Elizabeth. Namun, melihat penampilan ibu dari bayi bernama Elizabeth itu sudah jelas mereka kaum bangsawan. Sekali lagi, nama Elizabeth adalah nama yang lazim. Tapi, hari ini adalah hari pertunangan Ian dengan putri bungsu keluarga Gilbert, Elizabeth de Gilbert. Sejauh informasi yang didapatkan, acara pertunangan ini diadakan secara tertutup. Sebab, acara ini bukan acara pertunangan resmi. Melainkan hanya pengukuhan kesepakatan pertunangan antar kedua belah keluarga. Maka, tidak mungkin ada kepala keluarga bangsawan membawa anak-anaknya menghadiri acara. Tubuh Ian kaku di tempat. “Kau Nyonya—“ “Hormat kepada sang matahari Kerajaan, Yang Mulia Pangeran Mahkota!”   Kepala Ian menoleh ke belakang, masih berwajah sedikit syok. Di depan gazebo hadir pengawal pribadi Ian, beberapa ksatria berseragam hitam, dan dua pelayan yang tidak Ian kenali. Ian hanya mengenali seragam hitam ksatria tersebut, penunjuk identitas mereka sebagai ksatria keluarga Gilbert. Dua pelayan beserta ksatria tersebut bersimpuh satu kaki dan menunduk hormat. “Yang Mulia, kami sebagai pelayan dan ksatria keluarga Gilbert, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada anda karena telah menemukan dan menemani Nona Elizabeth.” ujar salah satu pelayan yang diduga kepala pelayan. Sikap pelayan dan ksatria Gilbert membuat Ian bingung. Mereka tidak memberi salam hormat kepada Elliana de Gilbert, Nyonya mereka. Jelas-jelas sang Nyonya berdiri di belakang Ian, namun mereka tidak memberikan salam. Selain itu, apa yang dikatakan kepala pelayan benar-benar aneh. Kalimatnya semakin menunjukkan ketidaksopanan mereka terhadap Nyonya Gilbert. Menemukan? Jelas-jelas Elizabeth bersama ibunya sebagaimana wajarnya terjadi. “Apa maksud kalian?” tanya Ian heran membuat seluruh pekerja Gilbert mendongak menatapnya. “Menemukan? Memangnya dia menghilang?” Charles bangkit berdiri diikuti Hera dan para ksatria Gilbert. “Benar, Yang Mulia. Nona Elizabeth tiba-tiba berada di luar jangkauan kami. Kami sudah mencarinya selama satu jam dengan mengelilingi seluruh istana. Kami sangat bersyukur Nona Elizabeth bersama anda.” Ian mendelik bingung. “Huh? Kalian buta? Jelas-jelas dia bersama—“ Lidah Ian langsung kelu setelah menoleh ke belakang seiring sensasi dingin menjalar di tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang. Matanya tidak menemukan siapa pun di sana. Tidak ada sosok Nyonya Gilbert. Elizabeth pun tidur terlelap di kereta. Kepala Ian menoleh ke seluruh penjuru taman mencari figur Nyonya Gilbert. Nihil. Tidak ada siapa-siapa. Bagaimana bisa wanita itu langsung menghilang begitu saja? “Yang Mulia, apakah ada masalah?” tanya Chester menginterupsi Ian yang kebingungan sendiri. Ian menatap raut bingung terpasang di wajah mereka. Mengindikasikan tidak ada yang melihat sosok Nyonya Gilbert saat mereka mendatangi gazebo. Jeda waktu nol koma satu detik bukanlah waktu yang cukup untuk melarikan diri. Terlebih bagi wanita bergaun dan berpenampilan semencolok Nyonya Gilbert. Lantas, bagaimana bisa hal aneh itu terjadi tepat di depan mata Ian? Ian menoleh ke kereta bayi. Menatap Elizabeth yang terlelap. Jemari Ian kembali menyentuh pipi bulat Elizabeth, kini sedikit menekannya. Kau benar-benar merasakan dekapannya, bukan? Semua itu bukan hanya halusinasiku semata, bukan?  TO BE CONTINUE [Sebagai permintaan maaf, double update ya]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD