BAB 12

1634 Words
“Arthur, kita perlu bicara!” Arthur sedikit mengembuskan napas ketika mendengar pintu ruang kerjanya didobrak cukup keras diikuti oleh suara Alice. Kepalanya menegak, menatap wajah marah Alice. Adik kembarnya itu melayangkan delikan tajam seraya menutup pintu, lalu duduk di sofa dengan napas sedikit memburu. Kurang lebih, Arthur sudah menduga hal ini akan terjadi. Jadi, Arthur tidak terlalu terkejut. Charles menghela napas berat. Kepala pelayan itu membungkuk kepada dua majikan mudanya sebelum keluar dari ruangan. Meninggalkan mereka berdua untuk membuat teh dan mengambil cemilan Alice. Sama seperti Arthur, Charles sudah memperkirakan tindakan Alice. Sudah sewajarnya Alice seperti itu. “Kau tidak lihat aku sedang sibuk?” tanya Arthur bernada datar, kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya. Sukses memancing amarah Alice. “Kita perlu bicara,” tegas Alice dengan penuh penekanan pada tiap kata, “bawa pantatmu ke sini, Arthuria.” Arthur mendengus pelan. “Begitukah sikapmu kepada kakakmu sendiri? Tampaknya di rumah ini adik-adikku jadi semakin berani padaku.” Alice menggeram kesal. “Jangan main-main denganku. Kubilang, kita perlu bicara, sialan.” “Alice, kau tahu siapa aku?” tanya Arthur tiba-tiba mengalihkan pembicaraan membuat Alice mengernyit. Alice mendelik tajam. “Kau bercanda?” Walaupun nada suara Alice semakin dingin, Arthur tetap tidak peduli. “Siapa aku?” tanyanya ulang. Melihat Arthur tidak berniat berhenti melontarkan pertanyaan aneh itu, mau tidak mau Alice menjawab. “Arthuria de Gilbert.” “Statusku?” “Anak pertama sekaligus kepala keluarga kedua.” Seringai mulai tercipta di wajah Arthur. “Lebih spesifiknya?” Menyadari maksud Arthur, Alice mendecak penuh geram. “Pewaris sah gelar Grand Duke of Alterius.” Senyum puas tersungging lebar. Arthur meletakkan pena ke kotak tinta. Laki-laki berambut hitam itu merenggangkan kedua tangannya sambil menggemeletukkan tulang-tulang jemari. Sebuah gestur yang semakin memicu luapan emosi Alice. Alih-alih meladeni permintaan Alice untuk berbicara, Arthur justru melontarkan pertanyaan kepada Alice untuk memperjelas statusnya. Seharusnya Alice sudah paham betapa menjengkelkannya saudara kembarnya tersebut. “Nah,” Arthur menyangga rahangnya, kini sepenuhnya membalas tatapan Alice setelah sekian menit mengacuhkannya, “kau sudah mengerti, Alice?” “Kau tidak bisa melakukan segalanya seenak egomu tanpa persetujuanku,” sahut Alice penuh penekanan lagi. Membuang segala tata keeleganannya akibat dikuasai oleh murka. “Begitukah? Atas dasar hak apa yang kau miliki sampai-sampai aku harus mendengarkanmu?” Arthur tersenyum geli, meremehkan, “kita bukan pasangan suami-istri. Kau bukan Grand Duchess, Alice.” Tanpa aba-aba, jarum beracun melayang menargetkan wajah Arthur. Arthur berhasil menghindar dengan mudah sehingga jarum itu menusuk kaca jendela di belakang Arthur. Sepetak kaca yang tertusuk jarum langsung meretak. Mengantarkan suara keretakan kaca memenuhi ruangan, membuat atmosfer ruangan menegang.   “Aku saudaramu yang hanya berjarak lima menit,” ujar Alice dingin, “masalah yang terjadi sekarang menyangkut adikku. Aku sangat berhak mencampuri urusannya.” Arthur mendengus pelan, tersenyum miring. Anak itu bersandar dengan tangan kanan bertumpu guna menyangga kepalanya. “Tak ada gunanya, Alice. Aku lebih berhak mengurus seluruh kehidupan kalian. Waktu lima menit itu sudah menunjukkan dengan jelas siapa yang menduduki posisi tertinggi dan itu bukan kau.” “Oh, lalu apa gunanya kau menyembunyikan sesuatu dariku? Aku sangat berhak tahu sebagai kakak Elizabeth.” “Setelah kau tahu, apa yang akan kau lakukan? Kurasa sudah cukup bagimu untuk tahu pengajuan lamaran konyol itu. Kau tidak perlu tahu lebih jauh lagi.”   Alis Alice menaut tidak suka. “Kau membuatku menjadi seperti orang bodoh di rumah ini. Bahkan Cecilia tahu segala hal.” Alis Arthur naik sebelah. “Cecilia?” “Begitu cara mainmu, Tuan Grand Duke terhormat? Kau berlagak berkuasa atas hidup adik-adikmu, tapi diam-diam mengonsultasikan segala masalahmu kepada orang luar?” Tuduhan Alice membuat kening Arthur mengernyit, sedikit terpancing emosi. “Jaga bicaramu.” Alice bangkit berdiri, telunjuknya menunjuk wajah Arthur. “Selama sepuluh hari keluarga Gilbert tiba-tiba punya urusan dengan gereja St. Church dan aku tidak tahu apa pun. Sebenarnya, apa masalahmu? Sampai di masalah terakhir, kau masih membicarakan segalanya denganku. Kenapa kau tiba-tiba seperti ini, huh?” Untuk pertama kali dalam hidup Alice, bola mata Arthur menghindari tatapannya. Sukses membuat Alice semakin curiga. “Kembali ke kamarmu.” perintah Arthur, amat sangat melenceng. “Apa yang kau sembunyikan?” tuduh Alice menekan situasi. Arthur bergerak, kembali berkutat pada tumpukan pekerjaannya. Ia mengambil pena, mulai mengerjakan tugasnya. Memberi gestur menolak melanjutkan pembicaraan. “Aku masih memiliki banyak pekerjaan. Keluar.” Alice mendelik tidak percaya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Arthur menyembunyikan sesuatu darinya. Tidak hanya menyembunyikan, kembarannya itu pun benar-benar berusaha tutup mulut. Dalam sekejap saja Arthur langsung mengabaikan Alice demi menutup mulutnya rapat-rapat. Arthur yang awalnya memasang lagak berkuasa, tiba-tiba menciut memilih diam serta menghindar. Benar-benar bukan Arthur yang Alice kenal. Kaki Alice melangkah mendekati meja Arthur. Mata hijaunya mengamati Arthur tanpa melewati celah. Dalam pandangannya, tak ada yang salah dalam diri Arthur. Arthur masih berpenampilan seperti Arthur yang Alice kenal, serba hitam dan mencekam. Hanya saja perubahan sikap Arthur memancing emosi Alice. Arthur dan menghindar jelas bukan hal yang selaras. Ketika Alice berdiri tepat di depan meja, Arthur masih memasang ketidakpeduliannya. Maka, Alice membuka suara duluan, “Kau berniat menyembunyikan keluarga Gilbert dari dunia?” Saat itu juga tangan Arthur berhenti menggoreskan tinta. Tanpa aba-aba dan keinginan Arthur, tubuhnya merespon tuduhan Alice. Bibir Alice menipis melihat respon tubuh Arthur menjelaskan semua pertanyaan Alice. “Jadi itu benar? Kau takut pada orang luar?” tuduh Alice lagi, sebelum Arthur sempat membalas, Alice kembali bersuara, “kau tidak menyangka ada orang yang bisa menghabisi ayah? Lalu akhirnya kau ingin menyembunyikan kita semua?” Arthur berdiri. Mata birunya membalas mata hijau Alice sama tajamnya, tidak terima. “Kau melewati batasmu, Alicia.” “Apa? Kau akan menghukumku di ruang penyiksaan? Aku tidak takut, Arthuria,” balas Alice menantang, “aku tidak perlu takut pada orang pengecut.” Arthur menggeram kesal. Dengan mata mendelik tajam, amarahnya siap meledak. “PERGI DARI—“ TOK TOK Suara ketuk pintu menginterupsi bentakan Arthur kepada Alice. Keduanya terdiam sejenak, napas mereka sama-sama sedikit memburu. Adu tatap tajam di antara mereka terputus. Menghela napas panjang, Alice menjauh dari Arthur, kembali duduk di sofa. Sementara Arthur menatap pintu, menunggu suara yang akan datang berikutnya. “Saya Charles, datang untuk—“ “Masuk,” perintah Arthur begitu saja tanpa menunggu Charles menyelesaikan kalimatnya. Charles mematuhinya. Kepala pelayan itu datang dengan membawa kereta makanan berisi teh dan cemilan. Ia menyeduh teh Alice, menyerahkannya bersama kue. Kemudian, berdiri menghadap Arthur yang berekspresi tidak tenang sama sekali. “Anda memiliki tamu, Tuan Muda,” lapor Charles setelah membungkuk hormat. Arthur berdecak. “Sudah kubilang singkirkan mereka. Aku tidak akan pernah menerima kedatangan b***k-b***k Tuhan itu lagi.” “Petinggi St. Church memang datang. Namun, bukan mereka yang saya maksud.” “Sudah kubilang jangan menerima siapa pun yang datang tanpa membuat janji temu denganku.” Charles mengangguk pelan. “Ya, benar seperti itu perintah anda. Namun kali ini tamu yang datang adalah Yang Mulia Raja dan Ratu, Tuan Muda.” Mata Arthur dan Alice membulat kompak menatap Charles, terutama Arthur. Anak itu mulai mendelik, memastikan keseriusan Charles melalui sinyal mata dan dibalas anggukan takzim Charles. Hal semacam ini sudah Arthur perkirakan, namun dengan anggapan kemungkinan kecil karena watak Marquis yang tidak suka mengurus hal-hal merepotkan. Arthur cukup yakin Marquis tidak akan turun tangan dalam masalah pertunangan konyol ini.   Taruhan Arthur gagal total. Orang yang paling ingin Arthur hindari dalam masalah pertunangan ini adalah Marquis. Menghadapi petinggi gereja bukanlah masalah besar bagi Arthur. Beda cerita bila itu Marquis. Bukan karena kedudukan Marquis sebagai Raja, namun karena sifat manipulatif Marquis yang jauh dari jangkauan Arthur. Arthur tidak akan pernah bisa menang melawannya. “Untuk apa mereka ke sini?” tanggap Arthur setelah sekian menit terdiam. Charles berdehem sejenak. “Sudah jelas beliau ingin membicarakan pertunangan Nona Elizabeth, Tuan Muda.” Arthur mendecih. “Sialan, kenapa Raja bodoh itu turun tangan.” “Tuan Muda, anda tidak bisa menolak kedatangan Yang Mulia Raja dan Ratu. Hal ini berbeda jauh dengan menolak kedatangan petinggi St. Church.” “Aku tahu—“ “Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Ratu datang!” Arthur dan Alice spontan berdiri dengan jantung terperanjat kaget mendengar pengumuman ksatria dari balik pintu ruangan. Tanpa menunggu perintah Arthur, pintu dibuka lebar menampilkan figur sepasang pemimpin Kerajaan Ophelia. Arthur jadi mendelik tajam dengan bingung melanda benaknya. Ia belum memberikan persetujuan untuk menerima kehadiran Marquis dan Victorique. Bahkan Charles baru saja melaporkan kehadiran mereka. Lantas, kenapa mereka sudah tiba begitu saja di ruang kerja Arthur? Atas izin siapa? Marquis tersenyum simpul menatap Arthur yang masih mendelik bingung kepadanya. “Halo, nak. Bagaimana kabarmu?” sapanya kasual. Mengabaikan Marquis, Arthur menoleh ke Charles. “Kupikir aku masih belum memberikan persetujuan untuk menerima mereka masuk.” Charles membungkuk. “Maafkan ketidakbecusan saya, hal ini pun di luar kendali saya, Tuan Muda.” “Ah, kau pasti sedikit terkejut melihat kami bisa masuk,” celetuk Marquis membuat Arthur menoleh, “maaf, nak. Aku terpaksa menggunakan sedikit otoritasku.” Arthur menggeram pelan. “Apa maumu? Aku yakin aku sudah memberikan tanggapanku atas pertunangan Elizabeth padamu.” “Halo, Alice,” sapa Marquis tiba-tiba mengabaikan Arthur membuat Arthur dan Alice sedikit terkejut, “kau tidak keberatan kami ikut duduk di sampingmu?” Alice melirik Arthur sekilas, mengirimkan sinyal. Kemudian dibalas delikan oleh Arthur. Mereka tidak punya pilihan lain, tidak bisa berbuat banyak. Menggunakan kalimat nonformal adalah hak istimewa tertinggi yang mereka miliki, tak ada lagi. Bagaimanapun juga, Arthur dan Alice pun sadar betapa jauhnya kekuasaan mereka dengan kekuasaan Marquis dan Victorique. Maka, Alice mengangguk takzim. “Silahkan, Yang Mulia.” Dengan tenang Marquis dan Victorique duduk di sofa. Diikuti oleh Arthur dan Alice duduk berhadapan dengan mereka. Pintu pun ditutup. Tidak ada yang mengeluarkan suara. Hanya terdapat suara denting sendok dan teko ciptaan Charles yang sedang menyeduhkan teh. Keheningan itu memicu degup jantung Arthur dan Alice sedikit tidak tenang. Cemas bukan main. “Pertama-tama, kami turut berbela sungkawa atas wafatnya Eugene dan Elliana. Kuharap kalian bisa mengerti keterlambatanku dalam menanggapi kabar duka mereka,” ujar Marquis menjadi pembuka suara setelah Charles menyajikan teh di meja. Arthur mengangguk pelan. “Tentu saja. Terima kasih atas perhatian anda.” Marquis meraih cangkir, menyesapnya pelan. “Lalu, maafkan kedatangan kami yang mendadak dan tanpa prosedur ini. Kami tidak memiliki cukup banyak waktu, kuharap kalian bisa mengerti lagi.” Arthur dan Alice hanya mengangguk takzim. Kurang lebih mereka sudah menduga apa yang akan Marquis bicarakan setelah ini. Sebentar lagi bom waktu akan meledak. “Jadi, kita langsung ke inti pembicaraannya,” Marquis meletakkan cangkir kembali di meja, kemudian kembali menegak. Wajah tersenyumnya menatap Arthur dan Alice penuh pesan berbahaya, “karena aku tidak punya banyak waktu.” Bom waktu telah diledakkan. TO BE CONTINUE
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD