Kediaman keluarga Gilbert resmi berpindah sejak sepuluh hari lalu. Keluarga bangsawan bergelar Grand Duke yang semula menempati istana Alterius di pusat kota Alterius itu berpindah ke gunung Kuujira. Gunung merapi yang sudah tidak aktif itu terletak di pinggiran area Alterius Barat. Benar-benar tempat yang terpelosok dan jauh dari kehidupan manusia.
Dengan pindahnya kediaman pemimpin Alterius membuat Alterius sempat geger. Seluruh rakyat berpikir keluarga Gilbert akan mengundurkan diri dan tidak memerintah Alterius lagi. Kabar itu ditepis oleh Arthur dengan menegaskan perpindahan kediaman tidak ada sangkut pautnya dengan kedudukan pemerintahan Alterius. Keluarga Gilbert tetap memerintah Alterius, itu hal yang pasti.
Istana Alterius tetap menjadi pusat pemerintahan. Bedanya, seluruh instansi pemerintah Alterius bekerja secara terpusat di istana. Istana itu berubah dari kediaman Grand Duke menjadi kantor pemerintah. Arthur mengerjakan tugasnya sebagai pemimpin Alterius dari kediaman Gilbert dan hanya pergi ke istana bila sangat diperlukan. Perubahan sistem pemerintahan ini tidak menjadi masalah berlarut-larut di Alterius. Seluruh instansi menerima dan segera beradaptasi.
Maka, yang menjadi perhatian saat ini adalah letak kediaman baru keluarga Gilbert.
Sejak kabar perpindahan kediaman, tidak ada satu pun surat kabar yang mengetahui dengan pasti alamat kediaman keluarga Gilbert yang baru. Hanya belasan rumor simpang siur yang tentu tidak benar. Satu-satunya yang seluruh rakyat Kerajaan Ophelia dan penjuru dunia tahu hanyalah gunung Kuujira menjadi area kekuasaan keluarga Gilbert. Dari situ mereka menyimpulkan di sanalah kediaman Gilbert meski tidak tahu pula tepatnya di sebelah mana, bahkan Raja sekalipun tidak tahu-menahu.
Tepat sesuai keinginan Arthur.
Arthur selaku kepala keluarga sudah bisa bernapas lega karena satu masalah telah diatasi. Tidak perlu lagi mengkhawatirkan penyusup maupun penyerangan massal yang selalu terjadi di Istana Alterius terjadi di kediaman baru. Rumah baru keluarga Gilbert benar-benar aman dari segala ancaman. Jadi, sekarang kepala Arthur berpindah fokus ke masalah lain, rencana pertunangan Elizabeth.
“Bakar, buang, singkirkan, apa saja. Aku tidak akan menerima pemberian mereka.”
Sudah sepuluh hari berlalu sejak Arthur bertemu dengan perwakilan pihak gereja St. Church. Sepuluh hari yang tidak ada tenang-tenangnya sejak perbincangan alot terakhir mereka. Dalam perbincangan pertama dan terakhir itu, Arthur sudah menyatakan secara tersirat keputusannya untuk menentang keras rencana pertunangan adiknya dengan Pangeran Mahkota. Perbincangan alot itu diakhiri dengan Kepala Uskup Benedictus pamit undur diri dengan wajah penuh aura kebapakan yang menyebalkan di mata Arthur.
Arthur pikir semua sudah selesai. Pihak gereja tidak akan mendesak dan rencana pertunangan otomatis dibatalkan.
Ternyata tidak.
Pihak gereja masih berusaha menemui Arthur di esok-esok harinya. Tanpa putus asa mereka berusaha memasuki kediaman baru keluarga Gilbert selama sepuluh hari berturut-turut. Padahal mereka telah mendapatkan penolakan dan pengusiran mentah-mentah dari para ksatria dan Charles atas perintah Arthur. Namun, mereka tidak menyerah sedikit pun hingga membuat Arthur sakit kepala.
Contohnya saja hari ini, bertepatan hari kesepuluh, lagi-lagi Charles melaporkan kedatangan pihak gereja kepada Arthur yang sudah dipusingkan dengan pekerjaan.
“Tuan Muda, mereka selalu datang setiap hari tanpa putus asa sama sekali. Menurut saya, membiarkan mereka begitu saja tidak akan menyelesaikan masalah ini. Mereka tidak akan menyerah,” ungkap Charles mengutarakan pendapatnya senormal mungkin agar tak menyinggung Arthur.
Arthur mendengus kasar. “Bukan urusanku. Tidak mau menyerah adalah keputusan mereka, aku hanya perlu menolak mereka.”
“Tapi, Tuan—“
“Yang harus kau lakukan sekarang adalah menyelidiki kelompok teroris yang menyerang istana Alterius tahun lalu dan berhasil membunuh orang tuaku. Mereka berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Kau pikir, sudah seberapa banyak kesabaranku dihabiskan untuk menahan diri tidak membunuh semua ksatria, huh?” sembur Arthur tiba-tiba sudah ditelan oleh sifat temperamentalnya.
Charles membungkuk. “Maafkan ketidakbecusan saya, Tuan Muda. Sejauh ini, informasi yang berhasil saya dapatkan masih sangat terbatas. Penyusup yang berhasil kami tangkap pun menutup mulutnya rapat-rapat sehingga tidak ada yang bisa dikorek sama sekali. Caesar dan Raymond masih melakukan investigasi, maafkan kelambatan kami. Saya harap Tuan Muda bisa sedikit lebih bersabar lagi.”
Arthur berdecak kasar dengan intonasi keras. “Daripada meladeni pihak gereja sialan itu, kau harus lebih memerhatikan orang-orang yang sudah berhasil membunuh orang tuaku. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi darimu, kau mengerti?”
“Saya mengerti, Tuan Muda.”
***
Alicia de Gilbert sangat menyayangi adik bungsunya, Elizabeth de Gilbert. Rasa sayangnya sangat mendalam melebihi rasa sayangnya ke Arthur dan Theo. Mungkin didasarkan pada kesamaan jenis kelamin membuat Alice begitu protektif terhadap Elizabeth. Didukung pula oleh faktor tidak adanya figur orang tua membuat Alice berusaha merawat Elizabeth sebaik mungkin.
Tidak ada perlakuan atau didikan abnormal ala Eugene diterapkan pada Elizabeth. Elizabeth dirawat selayaknya bayi-bayi normal pada umumnya. Tidak ada sengatan listrik maupun pemberian dosis racun. Benar-benar berbanding terbalik dari yang terjadi pada Arthur, Alice dan Theo. Semua itu semata-mata karena Alice menginginkan Elizabeth tumbuh normal.
Tidak perlu mendidik Elizabeth selayaknya manusia pembunuh seperti ketiga saudaranya. Elizabeth harus menjalani hidup yang normal penuh kebahagiaan.
Sebuah harapan yang cukup naif.
“Oh, lihatlah. Betapa menggemaskannya melihat seorang pembunuh kecil sangat menyayangi adiknya.”
Tanpa jeda waktu sama sekali, Alice melempar sebuah jarum beracun ke arah suara bernada ledek itu datang. Mata hijaunya menajam dingin menatap siluet seseorang perlahan mendekat diiringi suara kekehan lembut yang memuakkan. Alice tahu siapa yang datang dan dia tidak suka.
“Apa maumu, Cecilia?” tanya Alice tajam bernada tidak bersahabat.
Cecilia de Gilbert, adik angkat Eugene. Seorang wanita rupawan dengan tubuh molek yang menjadi pemikat jutaan pria. Menjadi adik angkat Eugene membuat Cecilia secara otomatis berstatus bibi dari empat anak Eugene. Satu-satunya kerabat yang dimiliki oleh mereka, namun tidak ada jalinan kekeluargaan di antara mereka.
Bagi Alice, Cecilia tidak lebih dari sekedar ular yang seharusnya tidak menyandang nama Gilbert.
“Kau masih saja tidak sopan padaku, huh? Begini-begini aku adalah bibimu. Secara sah, aku adalah wali kalian berempat. Hal yang wajar bila aku datang mengunjungi kalian, bukan?” ujar Cecilia kasual setelah duduk di samping Alice tanpa repot-repot meminta persetujuan gadis itu. Membuat wajah Alice semakin mengeruh.
“Wali dalam mimpimu, dasar ular,” hujat Alice sinis seraya bergeser menjauh dari Cecilia. Alice juga menjauhkan kereta bayi yang berisi Elizabeth dari jangkauan Cecilia, “kedatanganmu selalu membawa masalah. Apa lagi sekarang, huh?”
Bibir tipis Cecilia tersenyum miring di sela menggigit pipa porselen berisi bubuk cerutu yang tersulut oleh api. Asap-asap cerutu berhembus keluar dari bibir Cecilia seiring senyum miringnya melebar. Sebuah raut muka yang sangat dibenci oleh Alice sejak mengenal kepribadian Cecilia sepenuhnya.
“Dingin sekali sikapmu,” dengus Cecilia sebelum berhenti menggigit pipa porselen. Tatapannya berubah ke kereta bayi, menatap Elizabeth. Membuat Alicia semakin mengarahkan kebencian pada matanya kepada Cecilia, “dia akan bertunangan dengan Pangeran Mahkota, huh? Beruntung sekali.”
Alice menggeram kesal. “Elizabeth tidak akan bertunangan.”
“Kenapa? Tidak ingin diloncati oleh adikmu sendiri?” kekeh Cecilia jenaka membuat Alice mendecak kesal, “tenang saja, jangan khawatir. Akan tiba saatnya kau akan menemukan pangeranmu sendiri.”
“Jangan main-main denganku.”
Cecilia menghela napas sebelum kembali menghisap cerutu. “Ketika aku datang, ada tiga petinggi gereja St. Church di pos penjaga gerbang.”
Kening Alice mengerut, bingung. “Petinggi St. Church?”
“Tampaknya mereka tidak diizinkan masuk. Tapi, mereka masih keras kepala hingga rela tertahan di gerbang entah dalam waktu berapa lama.”
Alice tidak pernah mendengar kabar ini. Ini pertama kalinya dia mengetahui pihak gereja mendatangi kediaman Gilbert. Sejauh yang Alice tahu, gereja St. Church merupakan gereja katolik tertua di Kerajaan Ophelia yang memisahkan diri dari hubungan sosial. Gereja itu bahkan lebih tua dari umur Kerajaan Ophelia dan tidak pernah terlibat perpolitikan maupun berhubungan dengan bangsawan.
Mendengar mereka mendatangi kediaman Gilbert tentu hal paling aneh yang Alice dengar. Sejak kapan keluarga Gilbert berurusan dengan gereja St. Church? Keluarga Gilbert tidak menganut agama apa-apa dan pihak gereja tidak berhak memermasalahkannya. Lalu, urusan apa yang membuat petinggi gereja datang ke kediaman Gilbert hingga tidak diterima oleh Arthur? Apakah hari ini adalah kedatangan pertama mereka? Mengapa Arthur menolak kedatangan mereka?
Terlalu banyak yang Alice tidak ketahui.
Kekehan Cecilia membuyarkan lamunan Alice. “Mereka meminta—lebih tepatnya memaksa kakak kecilmu untuk menyetujui pertunangan adik kalian.”
Mata hijau Alice spontan mendelik. “Apa?”
“Kau tentu tahu adikmu dipilih oleh Tuhan sebagai calon Ratu Ophelia. Dia ditakdirkan menjadi pasangan Pangeran Mahkota. Arthur tidak menyetujuinya sejak kedatangan pertama pihak St. Church sepuluh hari lalu.”
“Sepuluh hari katamu?”
Cecilia mengangguk kecil. “Kau sungguh tidak tahu? Tampaknya rahasia kecil antara sepasang kembar terlihat menyenangkan bagi kakak kecilmu.”
Alice mengerjap cepat dipacu emosi. “Jadi, kau mengatakan pihak gereja sudah datang ke kediaman Gilbert sejak sepuluh hari lalu, sejak kediaman Gilbert masih di Istana Alterius. Dan aku yang selalu di rumah tidak tahu-menahu tentang masalah ini. Bagaimana bisa—“
“Arthur tidak ingin kau tahu, dugaanku. Selain itu aku tidak tahu alasan spesifik dia merahasiakannya,” Cecilia menyeringai, “harus kukatakan, kalian sungguh berandalan keras kepala yang merepotkan.”
Alice melirik tajam. “Perhatikan lidahmu.”
Pundak Cecilia mengedik kasual, terkesan sedang meremehkan. “Aku mengatakan fakta. Memang benar kalian sangat berhak sebagai saudara kandung Elizabeth. Tapi, alasan yang mendasari keputusan kalian terlalu egois, bukankah begitu?”
Mata hijau Alice sedikit membulat mendengar tuduhan Cecilia. Tuduhan yang terdengar asal-asalan, namun entah mengapa menancap tepat pada titik terlemah dalam diri Alice. Menimbulkan rangsangan-rangsangan aneh yang memicu bulu kuduk berdiri merinding. Seolah tuduhan itu tepat sasaran.
Cecilia memegang pipa porselen, berhenti menggigitnya. Wanita cantik itu berdiri. Langkahnya tercipta beberapa. Ia memberi punggung pada Alice yang diam menatap. Tersenyum lebar menatap hamparan salju menutupi rerumputan, tangan kiri Cecilia bersedekap menyangga siku kanannya yang tegak berujung memegang pipa porselen. Sudah tertera dalam kepalanya beragam lontaran kalimat yang akan dilemparkan ke Alice. Membuatnya bersemangat sendiri.
“Keputusan kalian semata-mata didasarkan pada ketidakwarasan Raja. Mengajukan surat lamaran pertunangan pada bayi baru lahir tepat setelah orang tua kalian tiada. Bagi semua orang, tindakan kalian sekarang masuk akal, hal yang wajar dan seharusnya terjadi,” jeda, Cecilia menghisap pipa, mengembuskan asap dari bibirnya, “tapi sebenarnya tidak. Kalian sedang berusaha melarikan diri dengan tekad pengecut.”
Tentu saja Alice menyangkal. “Omong kosong apa itu? Jaga mulutmu, Cecilia.”
“Kalian bisa membohongi semua orang, tapi tidak denganku, gadis kecil,” kekeh Cecilia, “tanpa kalian sadari, sudah tertanam trauma dalam kepala kalian. Trauma terhadap orang-orang di luar. Ketakutan pada mereka yang ternyata sanggup merampas nyawa Eugene, Prajurit Kematian kebanggaan Ophelia. Kenyataan itu membuat kalian ketakutan dan memilih melarikan diri.
“Hal itu tampak dari kalian yang tidak ingin menyerahkan Elizabeth ke keluarga kerajaan. Kalian berdalih ingin menjaga Elizabeth, ingin Elizabeth mendapatkan hidup normal, ingin Elizabeth bahagia tanpa tertekan menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Sebenarnya, kalian hanya memikirkan diri kalian sendiri.”
Alice menggeram tak kuasa menahan diri. Gadis itu melempar jarum beracun ke arah Cecilia dan sukses dihindari dengan mudah oleh targetnya. Sebuah tindakan yang semakin memicu amarah Alice.
“Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Kau hanya orang luar yang sangat disayangkan bisa menyandang marga Gilbert. Sadarilah posisimu, dasar b******n!” sembur Alice penuh amarah, jemarinya sudah kembali siap melempar jarum lainnya, “kami tidak pernah menganggapmu sebagai bibi, apalagi wali kami. Kami bisa membunuhmu kapan saja. Jangan tinggi hati, kau bukan Gilbert murni.”
“Tujuan Arthur sekarang adalah bersembunyi dari semua orang. Didukung oleh rumah baru kalian yang sangat tersembunyi dan terjaga seperti ini, Arthur ingin kalian semua tersembunyi dari dunia luar. Termasuk kau juga. Makanya kalian tidak ingin menyerahkan Elizabeth. Menyerahkan Elizabeth sama saja membuat kalian harus—“
“DIAM! DIAM!”
Cecilia gesit menghindari lemparan jarum racun Alice. Wanita itu berputar badan, menatap Alice yang sudah dipenuhi aura membunuh. Napas Alice memburu. Tidak ada ketenangan yang selalu menjadi penampilan andalannya. Cecilia tersenyum, puas melihat seluruh dugaannya tepat sasaran.
“Ya, cepat atau lambat kalian akan mengakuinya,” tukas Cecilia santai sebelum melangkah pergi meninggalkan Alice dan Elizabeth.
Alice tidak mencegah kepergian Cecilia. Dia mematung. Napasnya yang memburu mulai turun tempo kembali teratur. Tubuhnya jatuh terkulai, kembali duduk di kursi. Mata hijaunya melirik Elizabeth yang terlelap di kereta bayi. Lantas dengan segala tarikan napas panjang, Alice mengumpat pelan.
“Dasar wanita ular sialan.”
TO BE CONTINUED